PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI)
PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI)
Pada tanggal 19 Desember 1948
Belanda melakukan serangan mendadak di lapangan terbang Maguwo dengan
mengkhianati Persetujuan Renville. Gerakan ke Yogya dimulai pukul 12.00 pada
waktu pertempuran di Maguwo masih berlangsung, Belanda menembaki beberapa
bangunan penting dalam kota Yogya. Yang menjadi sasaran utama ialah Markas
Besar Komando Djawa (MBKD), Markas Besar AURI, dan gedung-gedung disekitar
Istana Presiden (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 43).
Belanda yakin dengan ditangkapnya
Bung Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-pemimpin yang lainnya
yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia tidak ada
lagi (Prawiranegara, 1986: 241). Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian
Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya beberapa jam
sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja sengaja melakukan hal itu
supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara Indonesia sehingga
dapat dengan mudah dilumpuhkan.
Dalam suasana pertempuran pada
tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet RI masih sempat mengadakan sidang kilat
istimewa di Istana Negara Yogyakarta. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa
pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu
memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat
itu sudah ada di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera
jika dalam keadaan mendesak pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya
lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A.
Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk pemerintahan di luar
negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia.
Adapun susunan dari PDRI sebagai
berikut:
-Ketua, merangkap Menteri
Pertahanan dan Penerangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
-Wakil ketua, merangkap menteri
kehakiman, Mr. Soesanto Tirtoprodjo. Setelah terdengar kabar bahwa sdr. Supeno
gugur karena dibunuh Belanda, maka Beliau merangkap juga Menteri Pembangunan
dan Pemuda.
-Menteri Luar Negeri, Mr. A. A.
Maramis.
-Menteri Dalam Negeri merangkap
Menteri Kesehatan, dr. Soekiman.
-Menteri Keuangan, Mr. Loekman
Hakim.
-Menteri Kemakmuran (termasuk
pmr), I. Kasimo.
-Menteri Agama, Masjkoer.
-Menteri Pendidikan , Pengajaran
dan Kebudayaan, Mr. TM. Hasan.
-Menteri Perhubungan, Ir.
Indratjaja.
-Menteri Pekerjaan Umum Ir.
Sitompoel.
-Menteri Perburuhan dan Sosial,
Mr. ST. Mohd. Rasjid.
Sehari setelah PDRI didirikan,
Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua PDRI menyampaikan pidato radio yang
ditujukan kepada semua stasiun radio. Pidato tersebut dapat ditangkap oleh
stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi
pidato itu antara lain: mengemukakan serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah
berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden, Perdana Menteri dan beberapa
pembesar lain. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimin yang
tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa.
Negara Republik Indonesia tidak
tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat
berharga bagi bangsa kita. Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau
selama-lamanya, rakyat Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru,
hilang pemerintahan ini akan timbul yang baru lagi. Pemerintahan PDRI dibentuk
karena ada kemungkinan besar bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat
menjalankan tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh angkatan perang Republik
Indonesia kami serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan
apa saja mereka dapat dibasmi.
Adapun peran PDRI dalam menjaga
eksistensi bangsa dan Negara Indonesia adalah dengan melaksanakan beberapa
tindakan, antara lain :
-Menjalankan perang gerilya
selama mungkin dengan perhitungan bahwa dengan semakin lamanya perng gerilnya
maka secara ekonomi Belanda akan terjepit dan payah sebab sumber mereka akan
habis dan mereka akan terpaksa melanjutkan perundingan.
-Dengan perhitungan diatas maka
pemerintahan PDRI menginginkan jauh dari Bukit tinggi dengan mencari lokasi
paling tenteram yaitu di wilayah selatan jauh dari Bukit Tinggi. Karena jika
mereka tetap di Bukit Tinggi maka gampang ditemukan oleh Belanda dengan akibat
pemerintah tidak bisa menjalankan tugas secara leluasa karena harus
terus-terusan berurusan dengan Belanda.
-Para tokoh sipil dijadikan
sebagai pejabat yang memiliki wewenang militer karena pada saat itu adalah saat
gerilya, dimana saat gerilya adalah saat dimana terkaburnya batas-batas militer
dan sipil yang menjadikan sesuatu itu sebelumnya ingin diperjelas dalam usaha
meletakan struktur dan tradisi baru repulik. Ditangan para tokoh sipil militer
atau yang disebut gubernur militer inilah terpusat kekuasaan sipil dan militer
untuk sementara waktu.
-Para gubernur lama diangkat
sebagai komisaris yang dimana fungsinya sebagai penghubung masyarakat dan
pemerintah pusat PDRI agar tetap ada komunikasi antara rakyat dan pemerintah.
-Melancarkan ofensif diplomasi
untuk mendapatkan simpati sebanyak-banyaknya agar mendapat dukungan dari dunia
Internasional
-Mengadakan koordinasi
perjuangan, dan bahkan juga mengadakan reorganisasi pemerintahan daerah
(terutama di Sumatra), tetapi juga menyusun organisasi pemerintahan perang.
Dalam hal yang terakhir ini menunjukan betapa kepekaan terhadap rakyat dan
tradisi serta adat setempat telah memungkinkan PDRI mengadakan mobilisasi daya
dan dana secara optimal.
Pada tangal 10 Juli 1949,
Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin disambut oleh Soekarno setibanya
di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa PDRI tidak berada di belakang
Roem-Royen, tapi berada di belakang rakyat, berjuang dengan rakyat dan untuk
rakyat (Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1949). Pada tanggal 13 Juli 1949, kabinet
Hatta bersidang. Hatta melakukan perombakan kabinet. Kabinet yang baru
terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet ini, Sjafruddin diangkat
sebagai Wakil Perdana Menteri (Noer, 2000: 207).
Comments
Post a Comment