KEDUDUKAN WANITA MENURUT ISLAM
KEDUDUKAN WANITA MENURUT ISLAM
Seiring dengan pesatnya gerakan
feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum agama, terutama
hukum Islam. Hukum Islam oleh kaum feminis dipandang sebagai salah satu basis
yang menjadi akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Gugatan tersebut
pada gilirannya dialami juga oleh al-Qur’ân sebagai sumber hukum tertinggi dari
hukum Islam. Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab
antara pria dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini.
Sebagai peluang buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan
anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”,
“kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang
tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam.[1] Dikesankan bahwa
perempuan-perempuan muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan
tinggal di rumah adalah perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang.
Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas)
kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan
penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan perempuan muslimah itu tak
lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan
kasur. Oleh karena itu agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang
publik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa modern dewasa ini.
Karena gencarnya arus feminisme
tersebut, para pemikir muslim kontemporer kemudian menelaah kembali hukum
Islam. Dari penelaahan tersebut akhirnya tersimpulkan bahwa yang salah bukanlah
al-Qur’ânnya, akan tetapi penafsiran atasnya lah yang keliru. Mereka pun lalu
berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan
perempuan. Dari situlah kemudian muncul berbagai macam produk penafsiran baru
yang sangat beragam. Produk-produk tafsir baru ini memang rata-rata sangat
emansipatoris, humanis dan populis. Namun sayangnya, penafsiran yang mereka
lakukan sering kali tidak ditopang oleh metode dan kaidah penafsiran yang benar
sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Atau dengan bahasa yang lebih
ekstrem, mereka seringkali menyeret maksud al-Qur’ân dari maksudnya yang
sebenarnya hanya demi tujuan agar al-Qur’ân bisa tampil populer di era
emansipasi ini dan tidak terkesan ketinggalan jaman.[3]
Akibatnya, bagaimana sebenarnya
al-Qur’ân berbicara tentang kedudukan perempuan pun menjadi kabur. Oleh karena itulah maka perlu kiranya
menggali kembali dari ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang perempuan
tanpa melupakan kondisi yang ada saat ini dengan mempertimbangkan secara
seimbang dan proporsional tiga hal yang sangat penting dalam penafsiran, yaitu
teks, konteks (kondisi sosio-kultural pada saat turunnya al-Qur’ân dan masa
kini) serta kontekstualisasi.[4]
Al-Qur’ân sendiri sebenarnya sangat
banyak dalam membicarakan perempuan. Perempuan dalam al-Qur’ân diekspresikan
dengan kata al-Nisa’, al-Zaujah, al-Umm, al-Bint, al-Untsâ, kata sifat yang
disandarkan pada bentuk mu’annats dan berbagai kata ganti (pronoun) yang
menunjuk jenis kelamin perempuan. Khusus mengenai kata al-Nisâ’, kata ini
adalah bentuk jamak dan kata al-Mar’ah yang dalam al-Qur’ân berarti manusia
yang berjenis kelamin perempuan (QS al-Nisâ’ [4]: 7) dan istri-istri (QS
al-Baqarah [2]: 222). Kata al-Nisâ’ dengan berbagai bentuknya disebutkan dalam
al-Qur’ân sebanyak 59 kali. Sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân sebenarnya sangat
peduli dengan makhluk bernama perempuan ini. [5] Lalu bagaimana sebenarnya
al-Qur’ân berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam konteks saat ini?
Asal Kejadian Perempuan
Berbicara tentang kedudukan
perempuan dalam al-Qur’ân, perlu terlebih dulu mengetahui asal kejadian makhluk
bernama perempuan dan hikmah dibalik itu menurut pandangan al-Qur’ân. Hal ini
menjadi penting karena penafsiran yang salah atasnya biasanya menjadi pemicu
awal anggapan yang rendah terhadap perempuan.
Ayat yang berbicara tentang awal
kejadian/penciptaan perempuan adalah firman Allâh dalam surat al-Nisâ’ ayat 1:
“Hai sekalian manusia bertaqwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan
darinya Allâh menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allâh memperkembangkan
lelaki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Ni’â’ [4]: 1)
Tokoh tafsir bi al-Ra’yi, yaitu
Imam Zamakhsyari mengartikan kata “nafs” dengan Adam.[6] Begitu juga tokoh
tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu Ibnu Katsîr dan al-Qurthubi. Para pakar tafsir lain
yang mengartikan kata nafs dengan Adam di antaranya adalah Jalaluddin
al-Suyuthi, Ibn ‘Abbas, al-Biqa’i, Abu Al-Su’ud, al-Baidhawiy, dan
lain-lain.[7] Memang banyak sekali para mufassirin klasik yang berpendapat
demikian sehingga tidaklah berlebihan kiranya apabila al-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad 6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa
seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.[8] Bahkan
lebih tegas lagi, al-Razy berani mengatakan, seluruh orang Islam sepakat bahwa
yang dimaksud oleh kata nafs di sini adalah Adam.
Tentunya pernyataan al-Tabarsi
dan al-Razi tersebut adalah berdasarkan pengamatan mereka terhadap ulama tafsir
yang hidup sebelum, atau paling tidak sezaman dengan masing-masing keduanya.
Meskipun banyak juga mufassir modern yang masih mengikuti pendapat ulama
klasik, seperti Wahbah al-Zuhailiy, Muhammad ‘Ali Al-Shabuniy, dan Sa’id Hawwa,
namun penilaian keduanya tidak relevan lagi apabila kita berlakukan saat ini,
karena ternyata banyak juga para pemikir Islam modern yang tidak berpendapat
seperti itu.[9]
Al-Thabaththabâ’i dalam tafsirnya
menulis, “Perempuan (Hawa) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat
tersebut sedikit pun tidak mendukung faham sementara mufassir yang beranggapan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.” Begitu juga pendapat Rasyid
Ridho dalam tafsir al-Manarnya dan rekannya al-Qasimi. Mereka mengartikan kata
nafs tidak sebagai Adam, tapi mengartikannya dengan jenis. Artinya, Adam dan Hawa
diciptakan dari jenis yang sama, bukannya Hawa diciptakan dari Adam.[10]
Ide penafsiran kata nafs dengan
Adam menurut Rasyid Ridho adalah akibat adanya pengaruh dari apa yang termaktub
dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam
tertidur lelap, maka diambil oleh Allâh sebilah tulang rusuknya, lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging, maka dari tulang yang telah
dikeluarkan dari Adam tersebut, dibuat Tuhan seorang perempuan. Selanjutnya dia
mengatakan, seandainya tidak tercantum kisah kejadian perempuan dalam
Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang mengatakan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam
benak seorang Muslim.[11]
Pendapat penciptaan perempuan
dari tulang rusuk ada agaknya bersumber dari sebuah hadits Nabi,
“Saling berpesanlah untuk berbuat
baik pada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok.”(HR. Tirmidzi dll.).
Ulama-ulama klasik memahami
hadits tersebut secara harfiah sehingga timbul pemahaman seperti itu. Sedangkan
para ulama kontemporer banyak yang memahami secara metafora, bahkan ada yang
menolak keshahihan hadits tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat
bahwa hadits tesebut berisi peringatan untuk kaum laki-laki agar senantiasa
bersikap hati-hati, bijaksana dan tidak kasar dalam menghadapi perempuan karena
mereka mempunyai sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan
laki-laki. Kaum laki-laki tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan
perempuan yang kadang membuat mereka kesal, atau bahkan emosional tersebut.
Kalaupun mereka berusaha, maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Sebenarnya dalam masalah ini
lebih cenderung pada pendapat jumhur ulama. Alasannya adalah, Rasyid Ridho
tidak bisa membuktikan secara empiris pengaruh Perjanjian Lama terhadap
penafsiran para ulama klasik. Pernyataan Rasyid Ridho bahwa penafsiran
terciptanya perempuan dari diri Adam merupakan pengaruh dari “Israiliyyat” (Perjanjian
Lama) adalah baru sebatas hipotesa. Pada kenyataannya, tidak satu pun kitab
tafsir yang berpendapat demikian menjelaskan bahwa pengartian yang seperti itu
bersumber pada cerita ahli kitab atau Perjanjian Lama. Sehingga kalau ternyata
sama, menurut hemat penulis, persamaan itu adalah merupakan suatu kebetulan
saja.
Seandainya pun dugaan adanya
pengaruh Isarailiyyat memang ternyata benar, hal itu tidak menjadi masalah dan
tidak menyebabkan penafsiran tersebut tidak layak diikuti. Dalam Ilmu Tafsir,
Israiliyyat dibenarkan untuk diadopsi selama tidak bertentangan dengan
nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Pada kenyataannya tak ada satu pun ayat
al-Qur’ân yang bertentangan dengan pemahaman terciptanya perempuan dari Adam,
justru ada hadits yang mendukungnya apabila dilihat dzôhiril lafdzi-nya. Perempuan memang diciptakan dari tulang
rusuk Adam. Namun yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai penafsiran
tersebut mempunyai implikasi anggapan rendah terhadap makhluk bernama
perempuan. Karena yang berkembang selama ini, pandangan tersebut seringkali
dijadikan legitimasi pandangan minus terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa
perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki perempuan tidak pernah ada
dan dia diciptakan adalah semata-mata untuk melayani laki-laki.
Faidah diciptakannya perempuan
pertama (Hawa) dari laki-laki (Adam) adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allâh
yang mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari yang hidup dengan tanpa melalui
proses reproduksi sebagaimana Dia mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari
benda mati. Dengan demikian, Adam diciptakan dari debu, Isa dari perempuan
tanpa laki-laki, sedangkan Hawa diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan.
Allâh berkuasa atas segala sesuatu.
Adapun hikmah dari disebutkannya
hal itu dalam surat al-Nisâ’ ayat 1 adalah agar manusia merasa mempunyai
persamaan satu sama lain. Manusia berasal dari nasab yang satu, bapak yang
satu, yaitu Adam, sehingga sudah seharusnyalah mereka hidup bersaudara, saling
tolong-menolong dan mengasihi, bukannya berseteru dan menindas satu sama lain.
Dengan demikian, anggapan rendah
terhadap perempuan yang didasarkan pada al-Nisâ’ ayat 1 adalah tidak tepat sama
sekali. Diciptakannya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan
legitimasi lebih tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena
al-Qur’ân berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki dan perempuan. Dalam
surat Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari
sebagian yang lain.”
Maksudnya adalah, laki-laki
berasal dari laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan berasal dari
laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada
kelebihan satu sama lain dalam penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan
selalu saling membutuhkan, terutama dalam proses reproduksi untuk
mempertahankan eksistensinya mereka. Atas dasar persamaan keduanya dalam
kapasitasnya sebagai hamba Allâh itulah Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun
permpuan).” (QS Ali’Imrân [3]: 195).
Maksud dari ayat-ayat semacam ini
tidak lain adalah untuk mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior
dan kaum perempuan inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam
posisi yang seimbang karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat
kemanusiaannya. Tidak ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh
suku, ras, golongan, agama dan jenis kelamin mereka.
Menurut Islam, nilai kemuliaan
manusia semata-mata hanya terletak pada ketaqwaannya, sebagaimana firman Allâh,
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dai
lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah
yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurât [49]: 13).
Kedudukan Perempuan Sebelum Islam
Panjang sudah zaman yang dilalui
umat manusia yang berdiam di bumi Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ini. Sekian waktu
mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allâh memang menjadikan manusia
sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para
malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah
ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Manusia pun membangun kehidupan
dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat
sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allâh yang bernama perempuan.
Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum perempuan dalam
kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan
‘ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah
terhadap perempuan ini diabadikan dalam Al-Qur’ânul:
وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا
وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ
سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ
أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ
يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ
سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila
salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan,
menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah?
Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl [16]:
58-59).
وَإِذَا
الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan
apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah
ia dibunuh?” (QS al-Takwîr [81]: 8-9)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr
rahimahullâhu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh
orang-orang jahiliyyah karena mereka tidak suka dengan anak perempuan. Apabila
anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup
dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris
walaupun si perempuan sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi
salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya
meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa
pun perempuan yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan
hak-hak para istrinya.[12]
Ini kenyataan di kalangan bangsa
Arab sebelum diutusnya Rasulullah, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada
bangs-bangsa lain. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya
dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan perempuan
tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di
pasaran. Perempuan di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan,
tidak pula diberi hak waris.[13]
Bagi bangsa Yahudi, perempuan
adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allâh
hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si
perempuan berhak memperjualbelikan putrinya. Perempuan juga dihinakan oleh para
pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini
berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekedar tubuh
tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir
mereka menyatakan perempuan itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab
neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa.[14] Dalam tradisi Yahudi perempuan
dianggap sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir
dari surga. Anehnya, anggapan semacam ini masih banyak orang yang
mempercayainya dengan berujar, walaupun terusirnya manusia dari surga adalah
takdir, akan tetapi seandainya tidak ada Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam
makan buah khuldi, niscaya manusia sampai saat ini tetap berada di surga. Di
Hindustan, perempuan dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan
api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang
jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.[15]
Anggapan ini jelas sangat keliru,
karena menurut al-Qur’ân, godaan Iblis tidak hanya ditujukan pada perempuan
(Hawa) yang kemudian menyebabkan laki-laki (Adam) tergelincir bersamanya. Akan
tetapi godaan dan rayuan Iblis itu ditujukan pada keduanya. Hal ini bisa kita
lihat misalnya dalm firman Allâh: “Maka Setan membisikkan pikiran jahat pada
keduanya.” (QS al-A’râf [7]: 20).
Juga firman Allâh, “Janganlah
kalian (Adam dan Hawa) dekati pohon ini” (QS al-Baqarah [2]: 35). Dan di ayat
yang lain, “Lalu keduanya digelincirkan oleh Setan dari surga itu.”(QS
Al-Baqarah [2]: 36).
Ayat-ayat al-Qur’ân yang
membicarakan kisah ini tidak ada yang menggunakan kata ganti perempuan kedua
tunggal, akan tetapi menggunakan kata ganti (dhamir) tatsniyyah yang berarti menunjuk
pada Adam dan Hawa sekaligus, bukan hanya Hawa. Bahkan, dalam ayat yang
bercerita tentang kisah ini dengan bentuk kata ganti tunggal, maka ayat
tersebut justru menunjuk pada kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai
pemimpin terhadap istrinya, seperti firman Allâh: “Kemudian setan membisikkan
pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan
kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tak pernah punah?” (QS Thâha [20]: 20).
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân yang
seperti itu tadi jelas sangat bertentangan dengan anggapan perempuan sebagai
sumber petaka. Karena menurut Al-Qur’ân, keduanya sama-sama digoda oleh
syaitan, sama-sama tergelincir dan bersama-sama mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka.
Sekali lagi, walaupun anggapan seperti ini masih dipercayai banyak
orang, termasuk orang-orang Islam sendiri, anggapan tersebut adalah merupakan
upaya untuk mendiskreditkan perempuan dan sangat bertentangan dengan nash-nash
al-Qur’ân. Al-Qur’ân tidak pernah menganggapnya sebagai sumber bencana dan
petaka, namun justru berusaha meluruskan pandangan keliru yang terkait dengan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan.[16]
Kodrat Kedudukan Perempuan
Islam datang dengan cahayanya
yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap perempuan pun terangkat. Islam
menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang perempuan layaknya seorang lelaki,
di mana Allâh berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…”
(QS al-Hujurât [49]: 13).
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
“Wahai
manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian
dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya.
Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak.” (QS al-Nisâ` [4]: 1).
Sebagaimana perempuan berserikat
dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan.
Allâh berfirman:
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa
yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia
dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang
baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih
baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl [16]: 97).
Dan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman:
لِيُعَذِّبَ
اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Agar
Allâh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun
perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun
perempuan. Dan agar Allâh mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari
kalangan laki-laki maupun perempuan…” (QS al-Ahzâb [33]: 73).
Allâh mengharamkan perempuan
dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ
لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ
كَرْهًا
“Wahai
orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para perempuan secara
paksa.” (QS al-Nisâ`[4]: 19)
Bahkan perempuan dijadikan
sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ
نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ
أَوْ كَثُرَ
“Bagi
para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabat-kerabatnya. Dan bagi para perempuan ada hak bagian dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS al-Nisâ` [4]: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allâh
membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus
berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allâh
wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya. Firman
Allâh:[17]
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan
bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS al-Nisâ` [4]:
19).
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ
menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak perempuan yang harus
diberikan secara sempurna kecuali bila si perempuan merelakan dengan kelapangan
hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ
عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Dan
berikanlah mahar kepada para perempuan yang kalian nikahi sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian
dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
sebagai sesuatu yang baik.” (QS al-Nisâ` [4]: 4).
Kedudukan Perempuan dalam
Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan pun dijadikan sebagai
penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas
anak-anaknya. Nabi SAW kabarkan hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Perempuan
adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan
ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diatas telah dijelaskan bahwa
al-Qur’ân menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan pria dalam
derajat kemanusiaan. Namun, berdasar pada kesadaran akan adanya
perbedaan-perbedaan keduanya baik yang
menyangkut masalah fisik maupun psikis, Islam kemudian membedakan keduanya
dalam berapa persoalan, terutama yang menyangkut fungsi dan peran
masing-masing. Pembedaan ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu dalam
kehidupan keluarga dan kehidupan publik. Ayat yang sering kali dijadikan dasar
untuk memandang kedudukan masing-masing laki-laki dan perempuan adalah Firman
Allâh pada surat al-Nisâ’ [4]: 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian harta mereka”
Semua ulama sepakat bahwa ayat
ini punya daya berlaku dalam konteks keluarga. Perbedaan di antara mereka baru
muncul ketika ayat ini dibawa untuk dijadikan legitimasi pembedaan laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan publik. Akan tetapi, kesepakatan mereka dalam
mengakui berlakunya ayat ini dalam konteks keluarga tidak kemudian berarti
mereka seragam juga dalam menafsirkannya. Para ahli tafsir mengajukan penjelasan
yang sangat beraneka ragam terhadap ayat
tersebut.
Ibnu Jarîr Al-Thabâri menjelaskan
maksud “qowwâmun” adalah penanggung jawab untuk mendidik dan membimbing istri
agar mentaati kewajibannya kepada Allâh dan suami. Ibnu Abbas mengartikan kata
“qowwâmun” sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan.
Dalam tafsir al-kasysyâf, al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kaum laki-laki
berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagai mana
penguasa pada rakyatnya.[18]
Apabila keanekaragaman
penafrsiran tersebut kita cermati (baik yang dilakukan oleh mufassirin klasik
maupun modern), maka akan kita dapatkan benang merah berupa kelebihan laki-laki
atas perempuan dan posisi laki-laki yang berada di atas perempuan dalam kehidupan
rumah tangga.
Kelebihan laki-laki atas
perempuan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya karena sifat hakikinya
dan hukum syara’ yang menetapkan demikian. Sifat hakiki bersumber pada dua hal,
yaitu pengetahuan dan kemampuan. Tidak diragukan lagi bahwa akal dan ilmu
laki-laki lebih banyak dan kemampuan laki-laki untuk menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang berat lebih
sempurna. Karena dua hal inilah laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan
dalam penalaran tekad yang kuat, kekuatan menulis dan keberanian.
Karena laki-laki lebih potensial
dari perempuan, maka dari laki-laki lah lahir para nabi, ulama, dan imam.
Mereka berperan dalam jihad, adzan, khotbah, persaksian dalam hudûd dan qishâs.
Mereka Juga menerima bagian lebih dalam waris, menjadi wali dalam nikah,
menentukan talak, rujuk dan lain sebagainya.[19]
Kelebihan laki-laki atas
perempuan karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi, laki-laki sejak
penciptaannya sudah diberi kelebihan kekuatan dan kemampuan. Akibat kelebihan
sejak penciptaannya, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan
pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi sehingga laki-laki mampu
berusaha, berinovasi dan kebebasan bergerak. Adapun perempuan dilahirkan sejak
penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (hamil), melahirkan dan mendidik
anak. Sebab jika perempuan dapat menjalankan fungsinya seperti laki-laki
sebagaimana pandangan pertama diatas, fitrah mereka tetap menghalanginya.[20]
Agaknya apa yang diungkapkan oleh
para ulama tadi masih dapat kita rasakan relevansinya saat ini. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa para pemimpin, ilmuwan dan tokoh-tokoh masyarakat
masih didominasi oleh kaum pria meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari
pria. Bahkan di negara-negara seperti Amerika dan Perancis di mana pria-perempuan
diberi kesempatan yang sama dalam belajar maupun mengaktualisasikan dirinya pun
demikian adanya. Oleh karena itu, anggapan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan
dari perempuan hanya karena akibat dari konstruksi budaya yang memang masih
mengkondisikan demikian menjadi tidak tepat.
Memang harus juga diakui bahwa
ternyata ada beberapa perempuan yang punya kelebihan dari pria. Akan tetapi hal
itu sangat bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisir untuk kemudian
ditarik darinya suatu hukum. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan
berdasarkan pada lazimnya kenyataan yang terjadi dengan menempatkan kedudukan
laki-laki lebih tinggi dari perempuan dalam rumah tangga seperti dalam ayat
tadi. Ketentuan ayat 34 surat al-Nisâ diperkuat oleh firman Allâh: “Akan
tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya”.
Karena perbedaan itulah maka
al-Qur’ân memberi hak dan kewajiban masing-masing secara berbeda. Namun yang
perlu ditekankan, pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan wujud ketidakadilan,
tetapi justru agar tercapai keseimbangan dan keharmonisan dalam menjalani
bahtera rumah tangga. Dalam membedakan hak dan kewajibannya,[21] Islam tidak
memihak pada pihak laki-laki dengan menekan pihak perempuan sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’ân: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Sebagai yang dipimpin, perempuan
wajib menaati pihak yang memimpinnya, yaitu laki-laki. Dia wajib patuh dalam
segala hal selama bukan perintah yang sifatnya menyuruh terhadap kemaksiatan.
Dia juga harus hormat, patuh, dan tunduk pada suaminya sebagaimana yang
tercermin dari haditst nabi, seandainya aku memerintahkan seorang sujud pada
orang lain, niscaya aku memerintahkan istri sujud pada suaminya (HR Tirmidzi dll).
Laki-laki sebagai yang memimpin dan harus dipatuhi, dia tidak boleh menindas
istrinya dan berbuat semena-mena, tetapi harus bersikap baik kepadanya. Allâh
berfirman: “Dan gaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”
Dalam kehidupan rumah tangga,
Islam sangat melindungi perempuan, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam
haditst nabi: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap
istri dan anak perempuan” (HR Baihaqi dari Abi Hurairah). Bahkan dengan tegas
Nabi menyatakan bahwa suami yang semena-mena terhadap istrinya akan dibalas
oleh Allâh dengan siksa neraka. Nabi
shallallâhu ‘alahi wa sallam, bersabda, “Ketahuilah, aku kabarkan kepada kalian
tentang ahli neraka, yaitu laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, suka
menyakiti Istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak melakukan hubungan seks”.
Dalam masalah hak, perempuan juga
sangat dimanjakan dan diperhatikan kesejahteraannya oleh al-Qur’ân. Dalam surat
al-Baqarah [2] ayat 123 Allâh berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya.”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan
bahwa seorang ibu mempunyai hak-hak pribadi yang tidak berkaitan dengan
statusnya sebagai istri.
Demikianlah, al-Qur’ân telah
menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta menentukan
hak dan kewajiban kepada masing-masing secara adil, proporsional dan seimbang
meski tidak sama. Al-Qur’ân juga ternyata lebih dini dan lebih dulu dalam
menghormati kedudukan perempuan bila dibandingkan dengan hukum-hukum lain di
berbagai negara, terutama Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dimuat ketentuan bahwa seorang perempuan
yang telah mempunyai suami tidak boleh melakukan perjanjian tanpa izin
suaminya.
Ketentuan ini sempat berlaku
untuk waktu yang lama sampai pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.03/1963. SEMA tersebut memfatwakan agar semua ketentuan KUHPer tentang
kedudukan perempuan tidak diberlakukan lagi. Bandingkanlah dengan al-Qur’ân
yang telah memberikan hak ini pada perempuan semenjak beberapa abad yang lalu
dimana sama sekali belum ada yang namanya gerakan emansipasi perempuan.[22]
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Publik
Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah
menempatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti
pada kehidupan rumah tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan
secara tajam, dalam kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah
begitu berbeda. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’,
dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama.
Sebagaimana laki-laki, perempuan
berhak untuk mendapatkan hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi
laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi
perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ
[4]: 32).
Perempuan juga mempunyai
kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat
dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat
Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.
Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya
memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan
kewajiban) dalam masyarakat pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru
terjadi ketika pembicaraan mengenai hak
dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan bagaimana caranya masing-masing
untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya
Al-Qur’ân menetapkan
peraturan-peraturan yang membuat laki-laki lebih leluasa bergerak dan
berekspresi dibanding perempuan. Pada saat berinteraksi dengan publik,
perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33]
ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah
terdahulu”.
Ayat ini sering kali dijadikan
dasar pendapat pada ulama yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan adalah pada
wilayah domestik (keluarga) dan bukannya di wilayah publik (berinteraksi secara
langsung dengan masyarakat umum). Al-Qurthubi
yang dikenal sebagai pakar tafsir
bidang hukum menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan agar
perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali dalam
keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn
Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika
ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
Untuk konteks saat ini, pendapat
yang kiranya paling relevan adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la
al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh saja keluar rumah jika ada keperluan
sepanjang memperhatikan kesucian diri dan memelihara rasa malu. Sayyid Quthb
menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang oleh Islam untuk bekerja hanya saja
Islam tidak senang (mendorong) hal tersebut.
Berdasarkan ayat di atas dan
beberapa ayat lain yang berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat,
gerak perempuan menjadi lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau
mengikuti pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di
depan publik adalah aurat, peran perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas
sangat terbatasi.
Selain itu, masalah kepemimpinan
perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan
dengan masalah ini, ulama terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:
Mereka yang tidak memperbolehkan
peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang
mereka kemukakan adalah surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) antar sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Walaupun ayat ini diturunkan
untuk konteks keluarga, namun mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah
publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan:
kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin
laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah
tanggung jawab yang lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan haditst,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”
Dalam menarik hukumnya, mereka
tidak begitu mempertimbangkan asbabun nuzul ayat maupun asbabul wurud hadits di
atas, karena mereka memakai kaidah ushul fiqh, “Penarikan hukum berdasarkan
pada umumnya lafaz, bukan khususnya sebab”
Pendapat ini adalah pendapat para
ulama seperti al-Qurthubî, al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta
ulama-ulama salaf dan sampai saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.
Mereka yang memperbolehkan
perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah
mereka adalah surat al-Taubah [9] ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah
sesuatu kewajiban yang mencakup berbagai
cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik
masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa’id Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba
bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan
menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah
al-Kubrô).
Mereka yang membolehkan perempuan
memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan
mampu menjaga kehormatan. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Said
‘Aqil al-Munawar, Quraisy Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir
Islam Liberal.
Agaknya untuk saat ini pendapat
yang paling kuat adalah pendapat yang
kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang jabatan-jabatan publik
tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya fakta di lapangan
menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang mempunyai kelebihan dalam
bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu, bukti sejarah juga
menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan seorang perempuan untuk
menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn Hazm. Khusus untuk jabatan
kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya. Alasannya bukan hanya kerena
hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh analisis dari sudut pandang
hukum dan psikologis.
Memang benar bahwa hampir di
setiap negara modern saat ini kepala negara bukanlah penentu segalanya dan
satu-satunya pembuat keputusan kenegaraan (decision maker). Kekuasaan dalam
suatu negara telah dibagi-bagi menurut azas pemisahan kekuasaan (separation of
power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Yang perlu diingat,
keadaan seperti ini hanya berlangsung pada saat negara dalam keadaan normal.
Akan tetapi, apabila negara berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan hal
ini sangat mungkin terjadi kapanpun, maka berlakulah hukum darurat negara
(staatsnood recht) yang membuat kepala negara akan meningkat perannya secara
drastis. Pada saat itulah, kepala negara sebagai orang nomor satu di negara
bersangkutan akan memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan keselamatan
negara. Apalagi di negara seperti Indonesia di mana Kepala Negaranya secara
otomatis menjabat juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pasal 10
Amandemen Keempat UUD 1945), peran Kepala Negara jelas sangat menentukan dalam
menangani keadaan. Penanganan keadaan dalam kondisi yang seperti ini menuntut
adanya kepala negara yang berjiwa besar, punya ketegasan, keberanian dan
kondisi psikologis yang mantap serta stabil sehingga mampu berpikir jernih,
cepat dan tepat serta akurat. Secara psikologis, perempuan tidak akan mampu
menyelesaikan tugas berat itu dengan baik melihat kondisinya yang halus, lemah
dan labil.
Begitulah, al-Qur’ân pada
dasarnya memberikan hak dan kewajiban pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai
anggota masyarakat sama dengan apa yang
diberikan kepada laki-laki. Akan tetapi,
karena perbedaan kondisi mereka, maka cara mewujudkannya ditentukan berbeda
oleh Al-Qur’ân.
Oleh karena itu, perempuan tidak
boleh untuk menarik diri, acuh dan tidak mau berinteraksi dalam kehidupan
publik dengan alasan dirinya terikat oleh aturan-aturan. Dia tetap punya
kedudukan sama dengan laki-laki meski cara aktualisasinya berbeda. Perempuan
juga tetap wajib peduli, memikirkan dan respek dengan permasalahan sosial di
sekitarnya. Hadits Nabi mengatakan: “Barang siapa yang tidak memperhatikan
kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Haditst nabi ini tertuju untuk
umum, laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya harus mau terlibat
urusan-urusan yang publik. Selain itu, Al-Qur’ân juga mengajak agar umatnya
selalu bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu, melalui pujian Tuhan pada
mereka: “Urusan mereka selalu diputuskan dengan musyawarah” (QS al-Syura [42]:
38).
Bukankah ayat ini ditujukan tidak
hanya untuk golongan laki-laki saja, tetapi perempuan juga termasuk? Oleh
karena itulah, perempuan jelas punya hak dan memang harus ikut memikirkan
urusan-urusan publik.
Ikhtitâm
Al-Qur’ân dalam masalah derajat
kemanusiaan telah mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan
laki-laki. Kedudukan, hak dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun
karena keduanya diciptakan oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang
berbeda, al-Qur’ân kemudian membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing,
baik dalam wilayah domestik maupun publik.
Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja sama, saling
melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan
hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah
ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan
dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu dibanding yang lainnya.
Bukankah Rasûlullâh sendiri dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dengan menyebut kaum perempuan
sebagai Syaqâ’iq al-Rijâl (saudara sekandung kaum laki-laki).
Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang perempuan.
Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan sesuai tabiatnya
dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila masih ada perasaan
iri antara satu sama lain. Allâh berfirman dalam surat al-Nisâ’ [4]: 32, “Dan
janganlah kamu iri hari terhadap apa yang dikaruniakan Allâh kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian kamu lebih banyak dari sebagian mereka.
(karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi
perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.
Comments
Post a Comment