Makalah tentang indahnya membangun mahligai rumah tangga




KATA PENGANTAR          3
BAB I PENDAHULUAN    4
A.    Latar Belakang          4
B.     Rumusan Masalah  4
C.    Tujuan Pembahasan               4
BAB II  PEMBAHASAN    5
A.            Pengertian Pernikahan  5
B.            Ketentuan Pernikahan dalam Islam         5
1.            Hukum Nikah :  5
2.            Rukun Nikah dan Syarat Nikah : 6
C.            Hikmah Pernikahan dalam Islam                9
D.            Pernikahan dalam UUPRI             10
E.            Hak dan Kewajiban Suami-Istri   13
BAB III PENUTUP              15
DAFTAR PUSAKA              16


KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “INDAHNYA MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH TANGGA”.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.




Team Penulis
 

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
1.      Definisi pernikahan
2.      Hikmah/manfaat pernikahan
3.      Tujuan Pernikah dalam islam
4.      Hukum nikah
5.      Bagaimana bimbingan memilih jodoh menurut islam

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui makna dari pernikahan itu
2.      Untuk memahami hikmah, hukum-hukum, dan tujuan pernikahan
3.      Agar bisa memilih pasangan hidup dengan tepat menurut pandangan islam

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.     Pengertian Pernikahan

v  Pengertian Nikah Menurut Bahasa :
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan Kawin / perkawinan, Nikah menurut bahasa mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan atau bersenggama (wath’i).
v  Pengertian Nikah Menurut Istilah
Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam – macam, maka ada beberapa ketentuan meliputi hukum, rukun dan syarat nikah yang dapat dibagi menjadi,
a.       Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan – keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.      Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan. Sabda Nabi Muhammad SAW. :“Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesungguhnya nikah itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
c.       Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat. Firman Allah SWT :“Hendaklah menahan diri orang – orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33).

d.      Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia – nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.       Mubah, bagi orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

Rukun Nikah dan Syarat Nikah adalah 2 bagian yang saling terkait.
Rukun nikah ada 5 macam, di sertai dengan syarat-sayratnya yaitu :

a.       Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1)     Beragama Islam
2)     Benar – benar pria
3)     Tidak dipaksa
4)     Tidak sedang beristri empat
5)     Bukan mahram calon istri
6)     Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7)     Usia sekurang – kurangnya 19 Tahun

b.      Calon istri
Calon istri harus memiliki syarat – syarat sebagai berikut :
1)     Beragama Islam
2)     Benar – benar perempuan
3)     Tidak dipaksa
4)     Halal bagi calon suami / Tidak Sedang Bersuami
5)     Tidak sedang dalam masa iddah
6)     Bukan mahram calon suami
7)     Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
8)     Usia sekurang – kurangnya 16 Tahun

c.       Wali
Wali Nikah harus memenuhi syarat – syarat sebagi berikut :
1)     Beragama Islam
2)     Baligh (dewasa)
3)     Berakal Sehat
4)     Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5)     Adil (tidak fasik)
6)     Mempunyai hak untuk menjadi wali
7)     Laki – laki

“Janganlah perempuan mengawinkan perempuan yang lain dan janganlah pula perempuan mengawinkan dirinya sendiri, karena perempuan yang berzina ialah yang mengawinkan dirinya sendiri”. ( Riwayat ibn majah dan Daruqquthni ).
Yang berhak menjadi wali bukan sembarang orang, menurut Syafi’I, orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
1)     Bapak
2)     Kakek dari jalur Bapak
3)     Saudara laki-laki kandung
4)     Saudara laki-laki tunggal bapak
5)     Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6)     Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7)     Paman dari jalur bapak
8)     Sepupu laki-laki anak paman
9)     Hakim, bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab. Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.

وعن سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.

Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.Wali dapat di pindah oleh hakim bila jika terjadi pertentangan antar wali. Jika tidak adanya wali, ketidak adaannya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.
v  Jenis-jenis wali nikah :
1)     Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
2)     Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
3)     Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
4)     Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu.

v  Dua orang saksi
Dua orang saksi nikah harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1)     Islam
2)     Baligh (dewasa)
3)     Berakal Sehat
4)     Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5)     Adil (tidak fasik)
6)     Mengerti maksud akad nikah
7)     Laki – laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :
Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)

v  Ijab dan Qabul (Sighat)
Ijab yaitu suatu suatu pernyataan berupa penyerahan diri seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
Qabul yaitu suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya.
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):”Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai” ATAU “Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku“.
Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal “SAH” atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirinBersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai “Pembatalan Wudhu”.Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

1.      Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa.
Dengan perkawinan orang dapat memenuhi tuntutan nafsu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman Allah SWT :
“Dan diantara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptkan istri – istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya.” (Ar Rum/30:21)

2.      Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiat.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan – pebuatan maksiad.

3.      Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu, kemudian dijadikan baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki – laki dan perempuan.Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai – nilai kemanusiaan.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan definisi perkawinan sebagai berikut :
 “Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38)
Apabila definisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya :
1.      Ikatan lahir bathin.
2.      Antara seorang Pria seorang wanita.
3.      Sebagai suami-istri.
4.      Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5.      Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Didalam Lima Unsur diatas penulis akan mencoba memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga akan jelas pemahamannya :
1.       Ikatan lahir batin.
Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan batin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.


2.       Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, yaitu hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Dan dalam unsur kedua ini terkandung Asas monogami.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi juga mempunyai unsur batin atau rohani yang mempunyai peranan sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Pasal 2:
a.       Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
b.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 :
a.       Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
b.      Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 :
a.       Dalam hal Seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di Daerah tempat tinggalnya.
b.      Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri lebih dari seorang apabila :
1)     Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Isteri.
2)     Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)     Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1)     Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai
2)     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3)     Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)     Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5)     Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6)     Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainya.
Pasal 7 :
1)     Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun
2)     Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3)     Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1)     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
2)     Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)     Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4)     Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5)     Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6)     Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.

Berikut ini adalah beberapa hak dan kewajiban pasangan suami isteri yang baik :

1.      Kewajiban Suami :
a)     Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.
b)     Membantu peran istri dalam mengurus anak
c)      Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga
d)     Siaga / Siap antar jaga ketika istri sedang mengandung / hamil.
e)     Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang-wenang
f)       Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.

2.      Hak Suami :
a)     Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan sebagainya.
b)     Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri
c)      Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga

3.      Kewajiban Isteri :
a)     Mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung jawab.
b)     Menghormati serta mentaati suami dalam batasan wajar.
c)      Menjaga kehormatan keluarga.
d)     Menjaga dan mengatur pemberian suami (nafkah suami) untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
e)     Mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.

4.      Hak Istri :
a)     Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari suami.
b)     Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
c)      Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga / kdrt.
d)     Mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian suami agar terhindar dari hal-hal buruk.

3.       Kewajiban Suami dan Istri :
a)     Saling mencintai, menghormati, setia dan saling bantu lahir dan batin satu sama lain.
b)     Memiliki tempat tinggal tetap yang ditentukan kedua belah pihak.
c)      Menegakkan rumah tangga.
d)     Melakukan musyawarah dalam menyelesaikan problema rumah tangga tanpa emosi.
e)     Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dengan ikhlas.
f)       Menghormati keluarga dari kedua belah pihak baik yang tua maupun yang muda.
g)     Saling setia dan pengertian.
h)     Tidak menyebarkan rahasia / aib keluarga.

4.       Hak Suami dan Istri :
1)     Mendapat kedudukan hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam keluarga dan masyarakat.
2)     Berhak melakukan perbuatan hukum.
3)     Berhak diakui sebagai suami isteri dan telah menikah jika menikah dengan sah sesuai hukum yang berlaku.
4)     Berhak memiliki keturunan langsung / anak kandung dari hubungan suami isteri.
5)     Berhak membentuk keluarga dan mengurus kartu keluarga.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
1.      Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
2.      Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a)     Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
b)     Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c)      Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d)     Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
3.      Tujuan pernikahan :
a)     Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b)     Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c)      Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d)     Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e)     Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
B.      Saran
Dari beberapa uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya.


DAFTAR PUSAKA



Comments

Popular posts from this blog

SKENARIO PENERIMAAN TAMU DENGAN PERJANJIAN

DALIL NAQLI TENTANG PEDULI TERHADAP JENAZAH

Naskah Drama Siti Nurbaya dalam Bahasa Minang