DALIL NAQLI TENTANG PEDULI TERHADAP JENAZAH
DALIL NAQLI TENTANG PEDULI TERHADAP JENAZAH
a. Mengucapkan Kalimat Istirja
(inna lillah wa inna ilaihi raji’un)
‘Yaitu orang-orang yang apabila
mereka ditimpa oleh sesuatu musibah. Mereka berkata ; Sesungguhnya kami adalah
kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali. Mereka adalah orang-orang
yang diberikan sanjungan dan rahmat dari Tuhan mereka (di dunia dan akhirat)
dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS al-Baqarah 156-157)
b. Menutupkan Mata Jenazah
Dari Umu Salamah, ia berkata :
Rasulullah saw melayat jenazah Abu Salamah dalam keadaan matanya terbuka, lalu
Rasulullah saw memejamkannya dan bersabda, “Sesungguhnya ruh apabila dicabut
diikuti oleh mata.” (HR. Ahmad 27078, Muslim 920, Abu Daud 3118, Ibnu Majah
1454, Al-Baihaqi 1039)
Dari Syadad bin Aus, ia berkata :
Rasulullah saw bersabda : “Apabila kalian menghadiri jenazah, maka pejamkanlah
matanya, kerena mata itu mengikuti ruh.” (HR Ahmad 17266, Ibnu Majah 1455,
Al-Hakim 1332)
c. Menutup Jenazah Dengan Kain
Dan Mengiblatkannya
Dari Aisyah, bahwasanya
Rasulullah saw ketika wafatnya ditutupi dengan kain hibarah. (HR Mutafaq Alaih)
Dari Salma ibunya Abu Rafi’,
bahwasanya Fatimah putri Rasulullah saw ketika wafatnya dihadapkan ke kiblat
dan berlunjur ke sebelah kanannya. (HR. Ahmad, Nailul Authar 4/47)
Dibaringkannya jenazah hendaklah
ke sebelah kanan dengan wajahnya dihadapkan ke arah kiblat. Caranya bisa
diganjal dengan bantal kecil.
d. Memberitahukan Atau
Mengumumkan Kematian Jenazah
Dari Hudzaifah, bahwasanya ia
berkata ; Apabila aku mati, maka janganlah kalian mengabarkannya pada
seorangpun, karena sesungguhnya aku khawatir akan termasuk kepada an-na’yu,
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw melarang an-na’yu itu. (HR Ahmad,
Ibnu Majah Dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw,
beliau bersabda ; Jauhilah an-na’yu karena sesungguhnya an-na’yu itu amal
jahiliyah. (HR Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw mengumumkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, maka beliau
membawa mereka ke mushala (tempat terbuka untuk shalat), lalu mengimami mereka
dan bertakbir empat kali takbir. (HR al-jama’ah)
Berdasarkan keterangan tersebut,
mengumumkan atau memberitahukan kematian seseorang agar dapat bersombong diri
dengan banyaknya yang melayat dan turut berduka cita adalah haram. Sedangkan
memberitahukan kematian seseorang dengan tujuan terlaksananya hukum-hukum
pengurusan jenazah yang disyariatkan adalah wajib kifayah.
e. Menyegerakan Pengurusan
Jenazah
Dari Ali, sesungguhnya Rasulullah
saw bersabda : Tiga perkara wahai Ali yang tidak boleh ditunda-tunda ; shalat
apabila tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, janda apabila sudah ada
yang menanggungnya. (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Hiban)
Sesungguhnya tidak layak bagi
jasad seorang muslim untuk tertahan di tengah keluarganya. (HR Abu Daud dan
al-Baihaqi)
f. Membayar Utang Dan Menunaikan
Wasiat Sebelum Dibagikan Warisnya
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,
beliau bersabda ; jiwa seorang mukmin itu terikat dengan utangnya sehingga
dibayarkan. (HR Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar, utang itu ada dua
macam, barangsiapa yang mati dan ia berniat membayar utangnya, maka akulah
(nabi) walinya. Dan barangsiapa mati dan tidak berniat membayar utangnya, maka
itulah orang yang diambil kebaikan-kebaikannya, pada hari yang tidak ada dinar
ataupun dirham (akhirat). (HR Thabrani)
Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS an-Nisa 11)
MEMANDIKAN JENAZAH
a. Hukum Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah hukumnya wajib
kifayah (fardu kifayah), artinya wajib dilaksanakan cukup oleh sebagian kaum
muslimin dan mustahil dapat dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.
b. Fadhilah Memandikan Jenazah
Dari Siti Aisyah ia berkata :
Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang memandikan jenazah lalu ia
menunaikan amanat (melakukan syariat yang benar) dan ia tidak menyebarkan apa
yang ada (aib) pada si jenazah ketika memandikannya, maka ia keluar (bersih)
dari dosa-dosanya seperti pada hari dilahirkan oleh ibunya. Beliau berkata :
alangkah bagusnya (yang memandikan itu) kerabatnya jika bisa, apabila dia tidak
bisa maka boleh siapa saja yang bisa dengan teliti dan bisa menjaga amanat.”
(HR. Ahmad)
c. Orang Yang Layak Memandikan
Jenazah
Orang yang layak memandikan
jenazah adalah muslim atau muslimah yang baligh, mahram atau kerabat, dan orang
yang memiliki ilmu tentang cara memandikan jenazah yang sesuai dengan syariat
dan mengerti adab-adabnya.
Dari Siti Aisyah ia berkata,
Rasulullah saw bersabda : “Kalau kamu mati sebelumku, aku yang akan
memandikanmu, mengkafanimu, menshalatimu, dan menguburkanmu.” (HR Ahmad, Ibnu
Majah, Ad Daraquthni)
Berdasarkan keterangan tersebut,
lebih baik yang memandikan jenazah itu adalah istrinya, suaminya, anak-anaknya,
atau kerabat dekatnya, apabila mereka semua mampu untuk melakukannya. Namun
apabila tidak sanggup, serahkanlah kepada ahlinya yang teliti dan bisa menjaga
amanat.
Dari Ibnu Umar, ia berkata,
Rasulullah saw bersabda : Hendaklah yang memandikan jenazah itu orang yang
amanat.’ (HR Ibnu Majah)
d. Adab Dan Cara Memandikan
Jenazah
o Dimulai dari bagian anggota
badan sebelah kanan dan anggota wudunya
Dari Umu Athiyah r.a ia berkata,
ketika kami memandikan jenazah Putri Nabi saw (Jaenab), beliau berkata kepada
kami : “Mulailah oleh kalian dari bagian kanannya dan anggota wudunya.” (HR
Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah)
o Tidak boleh berlaku kasar pada
jenazah
Dari Aisyah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda ; Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang
yang masih hidup. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah)
o Tidak berbicara yang buruk
apalagi tentang jenazah
Dari Aisyah, ia berkata ; Nabi
saw bersabda ; Janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah mati, karena
mereka sudah sampai kepada apa yang mereka kerjakan terdahulu. (HR Bukhari,
An-Nasai. Al-Hakim)
Dari Umu Salamah, ia berakta :
Rasulullah saw bersabda ; Apabila kalian melawat orang yang sakit atau mati,
maka ucapkanlah yang baik. Karena malaikat mengaminkan apa yang kalian
aucapkan. (HR Tirmidzi 3/307)
o Memintal rambut jenazah
perempuan yang panjang
Dari Umu Athiyah, ia berkata ;
Rasulullah saw bersabda ; Mandikanlah ia (jenazah Jaenab) dengan bilangan yang
ganjil, 3x, 5x, 7x, atau lebih dari itu jika kalian pandang perlu. Dan Umu
Athiyah berkata, kami memintal rambutnya sebanyak tiga pintalan dan kami
menempatkannya di belakang (punggungnya). (Mutafaq Alaih)
e. Mandi Setelah Memandikan
Jenazah
Barangsiapa memandikan jenazah
maka mandilah, dan barangsiapa mengusung jenazah maka berwudulah. (HR Abu Daud,
At-Tirmidzi, Ibnu Hiban, Ahmad)
Tidak terdapat kewajiban mandi
atas kalian apabila menadikan jenazah, karena sesungguhnya mayit itu bukan
najis. Maka cukup bagi kalian mencuci tangan kalian. (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Dari Ibnu Umar, kami memandikan
mayit, di antara kami ada yang mandi dan ada pula yang tidak mandi. (HR
Ad-Daraquthni)
Jadi, mandi setelah memandikan
jenazah hukumnya sunat, demikian pula berwudu setelah mengusung jenazah. Tetapi
bagi yang tidak mandi, paling tidak mencuci tangan.
MENGAPANI JENAZAH
Mengafani jenazah adalah ibadah.
Artinya harus berdasarkan aturan yang disyariatkan. Setelah selesai pemandian
jenazah, maka wajib hukumnya mengafani jenazah, dan tentu saja wajib kifayah
karena tidak bisa dilakukan bersama-sama oleh semua orang.
Dari Khabab bin Al-Arat, bahwa
Mus’ab bin Umair terbunuh dalam perang uhud. Dia tidak meninggalkan apa-apa
kecuali sepotong baju. Bila kami membungkus kepalanya, terlihat kakinya, dan
bila kakinya terbungkus, kepalanya terlihat. Kemudian Rasulullah saw memerintah
kami agar menutupi kepalanya (dengan baju itu), serta memerintah (kami)
menutupi kakinya dengan rumput hijau yang harum baunya (idkhir). (HR.
Al-Jamaah, kecuali Ibnu Majah)
Dengan keterangan ini, jelas
bahwa mengafani jenazah itu hukumnya wajib. Sehingga apabila tidak ada
(darurat), apapun dapat digunakan, seperti rumput dan yang lainnya.
a. Sifat Dan Jenis Kain
Kain kafan sebaiknya berwarna
putih, tetapi tidak dilarang menggunakan kain-kain yang berwarna selain itu.
Kemudian tidak mewah dan tidak merendahkan dalam kain kafan, termasuk tidak
berlebihan dan tidak kurang (sempit) dalam ukuran.
Dari Ibnu Abas, ia berkata :
Rasulullah saw bersabda : “Pakailah pakaianmu yang putih, sebab itu sebaik-baik
pakaianmu. Dan kafanilah jenazah kalian dengan kain itu.” (HR Tirmidzi 994,
An-Nasai 4/34)
Dari Ali, ia berkata ; Janganlah
kamu berlbihan tentang kain kafan, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
saw bersabda ; Janganlah kalian saling berlebih-lebihan dalam kain kafan,
karena itu pakaian yang akan cepat rusak. (HR Abu Daud)
b. Adab Ketika Mengafani Jenazah
Pada dasarnya mengafani jenazah
sama dengan memandikannya, yaitu dalam hal berlaku halus, santun, tidak kasar,
dan tidak menyakiti. Baik dalam perbuatan ataupun dalam perkataan, harus
amanah, serta berilmu tentang mengafani jenazah.
Dari Abu Qatadah, ia berkata :
Rasulullah saw bersabda : “Jika kamu diserahi mengurus jenazah saudaramu, maka
hendaklah memilih kafan yang paling baik.” (HR. Ibnu Majah 1487, At-Tirmidzi
995)
c. Ukuran Kafan Untuk Jenazah
Laki-Laki Dan Perempuan
Pada dasarnya kain kafan untuk
laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni tiga lembar. Namun untuk perempuan
diperbolehkan hanya dengan dua lembar kain, tetapi ditambah dengan tiga macam
pembungkus lainnya, yaitu khimar (kerudung), izar (sarung), dir’un (baju
kurung).
Dari Laila binti Qanif
Ats-Tsaqafiyah, ia berkata ; saya adalah di antara orang yang turut memandikan
Umu Kultsum, putri Rasulullah saw di saat wafatnya. Maka yang pertama
disodorkan oleh Rasulullah saw kepada kami adalah kain sarung, baju kurung,
kerudung, kemudian selimut, lalu dikafani dengan pakaian lain. Lalu ia (Umu
Laila) berkata, sedangkan Rasulullah saw duduk di dekat pintu membawa kain
kafan dan menyodorkan kepada kami lembar demi lembar. (HR Ahmad, Abu Daud)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ini
menunjukkan bahwa pembicaraan yang pertama adalah bahwasanya perempuan itu
dikafani dengan lima potongan pakaian dan kain.(Fathul Bari 3/375)
Kata-kata Umu Athiyah yang
berujar, maka kami mengafaninya dengan lima pakaian dan kain, serta kami
mengerudunginya, sebagaimana kami mengerudungi yang masih hidup (ibid 3/375)
Keterangan tentang lima potong
pakaian dan kain bagi jenazah perempuan ini tentulah tidak menunjukkan wajib.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua cara yang telah diterangkan di
atas, yaitu penggunaan tiga lembar atau lima lembar berupa kain panjang dan
lebar, dua lembar ditambah dengan kerudung, baju kurung serta semacam sarung
(maksi), keduanya dapat dilakukan (jawazul amrain). Adapun kain kafan untuk
jenazah laki-laki cukup hanya dengan tiga lembar kain yang layak dan memadai,
baik panjang maupun lebarnya.
MAZHAB JENAZAH
Semua ulama madzab sepakat
mengenai disunnahkannya memperbanyak mengingat kematian, dan disukai bagi orang
yang berharta atau memiliki sesuatu yang perlu diwasiatkan, supaya
mewasiatkannya ketika masih sehat. Terlebih lagi ketika sakit. Merekapun
sepakat bahwa apabila kematian seseorang telah diyakini, hendaknya diarahkan
mukanya ke arah kiblat.
HUKUM MAYAT
Menurut pendapat MALIKI yang
masyhur, SYAFI-I dan HANBALI: anak Adam tidaklah menjadi najis karena
kematiannya.
HANAFI berpendapat: anak Adam menjadi najis karena kematiannya.
Oleh karena itu setelah dimandikan barulah ia menjadi suci. Ini juga salah satu
qaul SYAFI-I dan satu riwayat dari HANBALI.
IHTIDHAR
Ihtidar adalah menghadapkan ke
Kiblat.
Para ulama mazhab berbeda pendapat
tentang cara-cara menghadapkannya ke Kiblat.
SYAFI-I: Menelantangkan mayat dan
menjadikan kedua telapak kakinya menghadap ke Kiblat yang sekiranya kalau ia
duduk ia langsung menghadapi Kiblat.
MALIKI, HANBALI dan HANAFI:
Meletakkan sisi kanan tubuh mayat dan menghadapkannya ke Kiblat, sebagaimana
yang dilakukan ketika menguburkan mayat.
Mereka (ulama mazhab) juga
berbeda pendapat tentang pengertian menghadapkan ke Kiblat, tapi mereka sepakat
tentang wajibnya menghadapkannya ke Kiblat.
BIAYA JENAZAH
Para imam madzab berpendapat
bahwa biaya perawatan jenazah diambil dari harta peninggalannnya dan harus
didahulukan atas utangnya.
Diriwayatkan dari Thawus bahwa ia
berpendapat: jika hartanya banyak, maka diambilkan dari hartanya. Sedangkan
jika hartanya sedikit, maka diambilkan dari sepertiganya.
MEMANDIKAN MAYAT
Empat imam madzab sepakat bahwa
memandikan jenazah hukumnya fardlu kifayah.
HANAFI dan MALIKI: memandikannya
dalam keadaan telanjang lebih utama asalkan tertutup auratnya.
SYAFI-I dan HANBALI: yang lebih
utama adalah dalam keadaan memakai gamis. Lebih utama lagi menurut SYAFI-I:
memandikan langsung di bawah langit (tanpa atap). Tetapi ada yang berpendapat
bahwa yang lebih utama adalah memandikannya di bawah atap.
Memandikannya dengan air dingin
adalah lebih utama (daripada dengan air hangat) kecuali pada hari yang sangat
dingin jika pada tubuhnya terdapat banyak kotoran.
HANAFI berpendapat: lebih
diutamakan memandikan jenazah dengan air hangat.
Empat imam sepakat tentang
bolehnya memandikan jenazah suami oleh istri. Akan tetapi apakah suami boleh
memandikan jenazah istrinya?
HANAFI berpendapat: tidak boleh.
MADZHAB LAIN: boleh.
Apabila seorang perempuan
meninggal dan tidak ada orang lain selain laki-laki bukan muhrimnya, atau
sebaliknya:
HANAFI, MALIKI dan pendapat yang
paling shahih dari SYAFI-I: hendaknya keduanya ditayamumkan.
HANBALI diperoleh dua riwayat,
salah satunya: ditayamumkan.
Orang yang memandikannya harus
melapisi kedua tangannya dengan sarung tangan. Ini adalah pendapat lain dari SYAFI-I.
Al-Awza’i berpendapat: dimakamkan
tanpa dimandikan dan tidak ditayamumkan.
Menurut tiga imam madzab, orang
Islam boleh memandikan kerabatnya yang kafir.
MALIKI: tidak boleh.
Dimustahabkan memandikan jenazah
itu, mewudlukannya, menyikat gigi-giginya, memasukkan jari-jarinya ke dalam
lubang hidung serta telinganya, dan membersihkan keduanya.
HANAFI: hal demikian mustahab.
Jiga janggutnya tebal, hendaknya
disisir dengan sisir yang bergigi jarang dan perlahan-lahan.
HANAFI: tidak perlu dilakukan hal
itu.
Jika jenazah yang dimandikan
adalah perempuan, hendaknya dijalin rambutnya menjadi tiga jalinan dan
diletakkan ke belakang.
HANAFI: dibiarkan saja seperti
keadaannya semula tanpa dijalin.
MAYAT WANITA HAMIL
Perempuan hamil apabila
meninggal, sedangkan dalam perutnya ada janin yang masih hidup, maka ia harus
dibedah perutnya. Demikian pendapat HANAFI dan SYAFI-I.
HANBALI berpendapat: tidak boleh
dibedah.
Dari MALIKI diperoleh dua
keterangan yaitu seperti kedua pendapat di atas.
JENAZAH ANAK KECIL
Para imam madzab sepakat bahwa
anak yang meninggal karena keguguran, apabila umurnya belum sampai empat bulan,
tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan jika ia lahir sesudah umur
empat bulan, maka:
HANAFI: jika terdapat petunjuk
atas kehidupannya seperti bersin, bergerak dan menghisap, hendaknya dimandikan
dan dishalatkan.
MALIKI juga demikian namun ia
mensyaratkan dalam bergerak harus nyata dan lama sehingga meyakinkan kalau ia
lahir dalam keadaan hidup.
SYAFI-I: hendaknya dimandikan.
Apakah dishalatkan juga? Dalam
hal ini ada dua pendapat: dalam qaul jadid SYAFI-I, adalah tidak dishalatkan
selama tidak tampak tanda-tanda kehidupan, seperti bergerak.
HANBALI: dimandikan dan
dishalatkan.
Mereka sepakat bahwa bayi yang
dilahirkan kemudian menangis, maka disamakan hukumnya dengan orang dewasa.
Diriwayatkan dari Sa’id bin
Jubair bahwa ia tidak menshalatkan jenazah anak kecil kecuali jika sudah
baligh.
MEMANDIKAN MAYAT
Menurut pendapat SYAFI-I yang
shahih, niat bagi orang yang memandikan mayat tidak wajib, demikian juga
menurut HANAFI.
MALIKI: wajib.
Apabila sesuatu keluar dari tubuh
mayat sesudah ia dimandikan, wajib dihilangkan saja demikian menurut pendapat
HANAFI dan MALIKI. Juga demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab
SYAFI-I.
HANBALI: wajib dimandikan kembali
jika benda itu keluar dari kemaluan.
Apakah dibolehkan mencabut bulu
ketiaknya, mencukur bulu kemaluannya, atau mencukur rambut? Dalam masalah ini
pendapat HANAFI dan MALIKI: hal demikian tidak dimakruhkan.
HANBALI: tidak apa-apa.
SYAFI-I ada dua pendapat: dalam
qaul jadid: tidak apa-apa jika jenazah itu bukan orang yang sedang berihram
haji. Sedangkan dalam qaul qadim: makruh, dan ini yang dipilih.
JENAZAH YANG SYAHID
Empat imam madzab sepakat bahwa
orang yang mati syahid, yakni orang yang mati dalam pertempuran melawan orang
kafir, tidak dimandikan. Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia dishalatkan
atau tidak?
Menurut HANAFI dan HANBALI dalam
suatu riwayat: dishalatkan. MALIKI, SYAFI-I dan HANBALI dalam riwayat lain:
tidak dishalatkan karena sudah tidak memerlukan penolong lagi.
Para imam madzab sepakat bahwa
perempuan mati dalam keadaan nifas harus dimandikan dan dishalatkan.
Menurut pendapat TIGA IMAM, orang
yang terinjak-injak binatang dalam suatu pertempuran, terjatuh dari kuda, atau
terkena senjata sendiri, kemudian mati di medan pertempuran melawan orang
musyrik, maka ia dimandikan dan dishalatkan.
SYAFI-I berpendapat: tidak
dimandikan dan dishalatkan.
Empat imam sepakat bahwa wajib
hukumnya memandikan mayat hingga bersih, disunnahkan mengganjilkan bilangannya,
dengan air hendaknya dicampur dengan daun bidara serta pada tahab terakhir
dengan kapur barus.
HANAFI dan HANBALI berpendapat:
dimustahabkan setiap kali membasuh, airnya dicampur dengan daun bidara.
MALIKI dan SYAFI-I berpendapat:
tidak dimustahabkan, kecuali satu kali saja.
MENGKAFANI MAYAT
Menurut kesepakatan empat imam
madzab, mengkafani mayat wajib hukumnya, serta harus didahulukan keperluan ini
daripada membayar utang dan membagi harta warisan. Sekurang-kurangnya kafan itu
sehelai kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayat.
SYAFI-I, MALIKI dan HANBALI:
mustahab mengkafani mayat laki-laki dengan tiga lapis kain.
HANAFI: boleh dengan sarung,
selendang dan gamis.
Disunnahkan kain kafan berwarna
putih. Sedangkan untuk mayat perempuan dimustahabkan rangkap lima, yaitu baju
kurung, kain sarung, selimut, kerudung dan lapis kelima dipergunakan untuk
mengikat dua pahanya. Demikian menurut pendapat SYAFI-I dan HANBALI.
HANAFI: itulah yang lebih utama,
jika hanya tiga lapis maka kerudung diletakkan di atas gamis di bawah selimut
badan.
MALIKI: tidak ada batasan bagi
kain kafan itu. Tetapi yang wajib adalah menutup aurat.
Menurut SYAFI-I dan HANBALI,
makruh mengkafani mayat perempuan dengan kain kumkuma (sejenis batik) dan sutera.
HANAFI: tidak makruh.
Jika istri mempunyai harta, maka
ia dikafani dengan kain hasil pembelian hartanya. Demikian menurut HANAFI,
MALIKI dan HANBALI.
Sedangkan jika ia tidak mempunyai
harta, menurut MALIKI, hal ini menjadi kewajiban suaminya.
Muhammad berpendapat: diambilkan
dari baitul mal, sebagaimana jika suami melarat maka diambilkan dari baitul
mal. Pendapat ini disepakati oleh para ulama.
HANBALI berpendapat: suami tidak
wajib membiayai kafan istrinya.
SYAFI-I: kain kafan diambilkan
dari harta peninggalannya. Jika peninggalannya tidak ada, menjadi tanggungan
orang yang wajib memberikan nafkah, seperti kerabat dan suami. Atau, kalau
mayat itu adalah budak maka ditanggung oleh tuannya. Demikian juga halnya
suami, menurut pendapat yang shahih. Yang benar, menurut para ulama ahli tahqiq
pengikut SYAFI-I, kafan istri adalah tanggungan suami.
Orang yang meninggal ketika
sedang ihram tidak boleh diberi wangi-wangian, tidak boleh dikafani dengan
pakaian yanag berjahit dan tidak ditutup kepalanya. Demikian menurut
kesepakatan para imam madzab.
Diriwayatkan dari HANAFI bahwa
ihramnya batal lantaran kematiannya. Oleh karena itu, ia boleh diperlakukan
sebagai mayat pada umumnya.
SHALAT JENAZAH
Tidak dimakruhkan shalat jenazah
dikerjakan pada tiap-tiap waktu. Demikian menurut pendapat SYAFI-I.
HANAFI dan HANBALI berpendapat:
makruh dikerjakan pada tiga waktu yang dimakruhkan.
MALIKI: makruh dikerjakan ketika
matahari terbit dan ketika matahari terbenam.
Menurut kesepakatan empat imam
madzab, shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid, menurut pendapat
SYAFI-I dan HANBALI tidak dimakruhkan.
HANAFI dan MALIKI: makruh.
Dimakruhkan meratapi dan
memanggil-manggil mayat. Menurut HANAFI tidak makruh.
IMAM SHALAT JENAZAH
Empat imam madzab berbeda
pendapat tentang orang yang berhak mengimami shalat jenazah.
HANAFI, MALIKI dan HANBALI dan
pendapat SYAFI-I dalam qaul qadim: penguasa lebih berhak, kemudian walinya.
HANAFI: yang lebih utama bagi
walinya apabila penguasa tidak datang, adalah mengajukan seorang imam di kala
hidupnya.
SYAFI-I dalam qaul jadid: yang
kuat, walinya lebih berhak dari penguasa.
Adapun jika mayat pernah
berwasiat kepada seseorang untuk menshalatkannya maka tidak ada yang lebih berhak
di antara para walinya. Demikian menurut pendapat TIGA IMAM.
HANBALI: orang yang diberi wasiat
itu didahulukan atas tiap-tiap wali.
MALIKI: anak didahulukan atas
ayah, saudara lebih utama daripada kakek, dan anak laki-laki lebih utama
daripada suami walaupun ayah si anak sendiri.
HANAFI: suami tidak mempunyai
kekuasaan apa pun, dan makruh mendahulukan anak atas bapaknya.
Comments
Post a Comment