Daftar Usaha Kuliner yang Sukses
Rangga Umara (Lele – Lela)
Bagi beberapa orang, memutuskan
untuk berhenti dari sebuah perusahaan saat posisinya sudah nyaman mungkin
adalah sebuah hal yang menakutkan. Bagaimana tidak, sulitnya mencari kerja
ditambah dengan iklim industri dan bisnis yang tak menentu di negeri ini jelas
membuat orang sebisa mungkin akan coba bertahan di sebuah perusahaan. Kalau pun
ingin berhenti, ia akan mencoba sebisa mungkin
mendapatkan penggantinya, baru ia berani resign.
Dan inilah cerita umum yang masih
banyak terjadi pada kebanyakan pekerja di Indonesia. Namun bagi Rangga Umara,
keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah nyaman justru merupakan
sebuah harapan dan kesempatan besar untuk memulai hidup lebih baik lagi.
Sesaat sebelum keputusan berhenti
itu, Rangga sudah mempersiapkan beberapa hal untuk membuka usaha makanan.
Memang kabar berita tentang PHK dari perusahaan sudah membuat dirinya mau tidak
mau harus siap sedia. Meski belum pasti bahwa ia akan kena PHK, namun keadaan
perusahaan yang tidak sehat membuatnya nekat untuk berhenti dari posisi
manager.
Rumah makan Lele Lala adalah
bisnis yang kemudian digeluti oleh Rangga Umara setelah berhenti dari
perusahaan. Kini Rumah makan Lele Lela telah menjadi kuliner ternama di
Indonesia yang juga mulai mengibarkan benderanya di luar negeri. Dengan omzet
yang kini mencapai milyaran rupiah, bagaimana sebenarnya Rangga Umara merintis
dan menjalankan Lele Lela? Berikut Ulasannya.
Kisah Rangga Umara Merintis
Bisnis Kuliner Lele Lela
Kesuksesan Lele Lela sekarang
tidak dibangun hanya dalam waktu semalaman oleh Rangga Umara. Jatuh bangun
telah mewarnai perjalanan Rangga membangun Rumah Makan Lele Lela. Saat merintis
Lele Lela, Rangga memulainya dengan modal 3 juta rupiah. Modal itu pun ia
kumpulkan dengan susah payah dari hasil menjual jam tangan, handphone, parfum,
dan alat penggetar perut yang ada di rumah. Dengan menggandeng temannya yang
pintar meracik bumbu, Rangga memulai Lele Lela tahun 2007 dari pinggir jalan di
daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Nama Lele Lela sendiri sudah
dipakainya sejak gerai pertama didirikan. Kata Lela dipakai Rangga dengan
maksud agar nama ini selalu memberikannya sebuah harapan dan doa, sebab kata
ini memiliki akronim ‘lebih laku atau lebih laris’. Ide nya membuka kuliner
lele bermula dari pengamatannya dari warung pecel lele kaki lima yang memiliki
kualitas yang kurang baik. Dari sinilah Rangga ingin mengangkat kuliner lele
agar lebih berkelas.
Rangga Umara Bergerak Lebih
Professional
Dari gerai pertamanya di Pondok
Bambu, jualannya tidak terlalu menguntungkan. Bahkan di bulan-bulan ketiga dan
kelima keuntungannya malah terus merosot bahkan minus hingga membuat dirinya
harus berhutang. Alih-alih mendapatkan untung, Rangga bersama istri dan satu
anaknya justru diharuskan pergi dari kontrakan karena Rangga sudah tidak bisa
lagi membayar konrakan.
Namun keadaan yang sulit ini tak
membuat dirinya putus asa, sarjana Informatika dari salah satu Perguruan Tinggi
Swasta di Bandung ini lalu memutuskan untuk membuat Lele Lela lebih
professional. Maka, dengan uang seadanya, Rangga kemudian menyewa tempat pada
sebuah warung sepi di kawasan yang lebih strategis.
Dengan sistem kerjasama dengan
sistem setoran satu juta per bulan, Rangga memulai Lele LeIa dengan konsep yang
lebih modern dan menarik. Hasilnya sangat memuaskan, dalam satu bulan
pertamanya di tempat baru ini, Lele Lela mampu langsung meraup untung 3 juta
rupiah per bulan dan angkanya terus bergerak naik seiring pertambahan gerai
Lele Lela.
Sukses dan Menulis Buku
Kini, pria kelahiran tahun 1979
itu telah memiliki lebih dari 42 cabang Lele Lela se-Indonesia dan satu cabang
di malaysia dengan omset yang diperkirakan telah mencapai Rp 4,8 milyar per
bulan. Lele Lela juga membuka kemitraan dengan beberapa aturan yang sudah
ditentukan.
Dari kesuksesan ini, Rangga Umara
membuka rahasianya yang ternyata dimulai dari tulisan-tulisannya tentang
obsesi, ambisi, dan impian yang ingin diraihnya dulu. Untuk berbagi ilmu, maka
kemudian Rangga kembali menyusun dan merangkai tulisan-tulisan tadi menjadi sebuah
buku yang diberi judul dream book. Melalui buku yang inspiratif ini Rangga
ingin mengumpulkan semangat dan menarik energi positif dari siapapun yang ingin
berhasil mencapai impiannya masing-masing.
Agus Pramono (Ayam Bakar Mas Mono)
Menjadi office boy, tukang
gorengan dan sales adalah sederet pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab
dipanggil Mas Mono ini. Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak
disangka meledak di pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang
dengan omset puluhan juta per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta
rupiah.
Cukup sulit membayangkan masa
lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang milyarder. Betapa tidak,
belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup sebagai OB disebuah
perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya menjadi pengasong
gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan berjalan kaki. “Ya,
itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya di desa meninggal.
Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras bagi saya. Dari
situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria kelahiran
Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
Putus kerja tapi hidup harus
terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti hidup dengan menjaja
gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu sampai akhirnya
menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh lahan, karena jual
gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari, saya beralih ke
ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai berjualan 5 ekor
ayam perhari.
Wangi kepulan asap dari ayam
bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke hari, pelanggannya
makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu menghabiskan 80 ekor ayam
per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah terindah. Saya serasa
punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi. Alhamdulillah saya dikasih
lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu seterusnya hingga mampu
menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380 potong. Dengan kondisi
tempat masih di kaki lima itu sebuah pencapaian yang luar biasa!” Ungkapnya.
Bencana Penggusuran
Naas bagi Mas Mono, disaat
bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana penggusuran pun melanda. Ia
dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu saya benar-benar
kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama, bisnis penjualan saya
tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana dengan nasib 6
karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-tanya lokasi ke
setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan menunjukkan
tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang bernama Novieta
ini.
Di Tebet, kebingungan pun belum
juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru, lokasi yang tidak strategis. Pria
penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi bisnisnya. Dengan lokasi yang
mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar pelanggan kembali ramai.
Tak jarang iapun mengajak bekas
pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi barunya. Hasilnya, pelan tapi
pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya, pelanggan pun terus berjejalan.
“Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya bisa menyewa tempat yang
lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan hingga makan pun harus antre,
saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak terlalu jauh,” ujar suami
dari Nunung ini.
Rupanya ujian belum selesai juga
menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan bisnisnya itu, flu burung
menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan merajalelanya flu burung, spontan
penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya terus belajar untuk syukur
nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini telah mematenkan
brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.
20 Cabang, Ribuan Ekor per Hari
Setelah hampir 10 tahun berlalu,
akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang didirikannya kini sudah
beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar dibeberapa wilayah di Jabodetabek
seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat, Cileduk, dan daerah lainnya.
Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa menghabiskan sekitar 150-200 ekor
ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi tradisional modern. Bahkan saya
bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini market leader di dunia kuliner,”
harapnya.
Mengenai omset, jangan ditanya.
Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga 8 jutaan. Sukses
dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya seperti bakso,
catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya mengambil segmen
semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi siapapun. Sehari ya
bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup murah, hanya 13 ribuan
per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400 karyawan ini.
Bahkan bisnis ayam bakar yang
dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam waktu singkat, iapun
berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke berbagai daerah bahkan
menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya fokuskan untuk menggempur
Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi ke berbagai wilayah.
Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual ayam sejenis
melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual franchise-nya
seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.
Santoni (Bumbu Desa)
Setelah sukes mendirikan resto
Kampung Sampireun, Arief Wangsadita tergerak untuk mendirikan restoran dengan
menu makanan Sunda. Alasannya, cita rasa makanan Sunda bisa diterima masyarakat
Indonesia. Maka, pada 2004 pun berdiri gerai pertama Restoran Bumbu Desa di
Bandung. Sejak itu, pertumbuhannya terus melaju, hingga ekspansi ke Malaysia
dan siap-siap membuka outlet di Melbourne (Australia) dan Vancouver (Kanada).
Bagaimana lika-liku Arief Wangsadita mendirikan Bumbu Desa? Semua dituturkan
Arief kepada Mochamad Januar Rizki:
Bagaimana latar belakang
berdirinya Bumbu Desa pada 18 September 2004?
Latar belakangnya, saya melihat
banyak makanan Sunda belum dikonsumsi secara komersial. Sifatnya masih sekadar
di meja-meja keluarga. Padahal, banyak menu makanan Sunda yang sudah ada sejak
dulu masih dikonsumsi hingga generasi muda sekarang. Karena belum
dikomersialkan secara masif, sehingga ada kesempatan restoran Sunda ini yang
menyediakan makanan lokal dan banyak orang suka untuk dikomesialkan.
Ini berawal dari pendapat
subjektif saya. Masakan Sunda memiliki taste yang bisa diterima di Indonesia.
Selain itu, gestur atau gaya bahasa tubuh orang Sunda juga dinilai memiliki
kelebihan sopan santun, misalnya saat menjamu tamu yang masuk ada salam dalam
bahasa Sunda wilejeung sumping.
Saya bukan orang yang
berpengalaman di bidang bisnis kuliner, saya dulu bergerak di bidang bisnis
perhotelan. Sebelum Bumbu Desa, saya membuat Kampung Sampireun. Pada saat awal
Bumbu Desa ini berdiri adalah hasil pemikiran kolektif dari orang-orang yang
berada di lingkar saya, seperti istri hingga ibu. Saya bertindak sebagai
pengambil keputusan. Kami juga menggunakan advisor dari konsultan. Pusat
pertama berdiri berada di Jalan Riau, Gerai Laswi, Bandung pada tahun 2004.
Produk-produk budaya sunda
keseharian tersebut saya kombinasikan, dari gaya bicara hingga masakan. Kami
juga memadukan budaya pedesaan, seperti petani dan sawah dalam restoran dalam
bentuk gambar-gambar. Kebetulan pada tahun 2004, saat Bumbu Desa berdiri,
hal-hal seperti ini masih dianggap baru. Dan, saya pikir Bumbu Desa dengan menu
makanan Sundanya mampu diterima di mana pun.
Jadi yang membedakan Bumbu Desa
dengan lainnya, kami mem-packaging restoran dengan cara menampilkan budaya
Sundaya tidak sekadar makanan saja tapi juga uncontemporer seperti tempat yang
bersih. Tahun-tahun awal perkembangan Bumbu Desa pesat sekali, kami buka cabang
di Surabaya pada 2005. Di Surabaya kami mampu bersaing dengan restoran-
restoran oriental atau chinesse food yang juga lagi booming. Kami sampai
sekarang masih eksis di sana.
Bumbu Desa (tegak)
Siapa target pasar yang dibidik?
Berapa rata-rata harga per menu? Rata-rata pengunjunga per harinya?
Sasarannya Bumbu Desa rata-rata
yang datang adalah kelas menengah. Tapi orang yang banyak duit pun juga datang.
Untuk harga per menu sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Rata-rata pengunjug
per outlet-nya bervariasi ada yang 100 orang per hari hingga 400 orang. Untuk
cabang-cabang di Malaysia, biasanya bisa mencapai 100 ribu. Selain pengunjung,
pelanggan kami juga banyak dari katering. Hampir sama jumlahnya.
Untuk menggerakkan bisnis
kuliner, diperlukan tenaga yang ahli seperti juru masak hingga pramusaji.
Bagaimana awal-awal Anda memenuhi kebutuhan SDM tersebut?
Kami SDM kebanyakan dari
daerah-daerah sekitar Parahyangan timur, Garut, Tasik, Ciamis. Kami mendapatkan
ahli-ahli masak bukan dari lulusan pendidikan formal. Tapi dari pembantu-
pembantu rumah dari desa. Cara kerja mereka masih cara kerja rumah tangga.
Dikasih meja enggak bisa kerja seperti itu, tetapi mereka kerja sambil duduk di
lantai.
Kami memilih juru masak dari desa
karena bicara kuliner semua asal muasalnya dari desa. Tujuannya, saya ingin
desa itu punya arti buat kita. Jadi, berasal dari desa bukan sekadar dari
genetika tapi juga makanannya. Ini juga yang membuat saya menamakan restoran
ini Bumbu Desa. Kini karyawan Bumbu Desa mencapai hampir 5 ribu orang dari
awalnya hanya 67 orang. Sedangkan Chef sendiri total ada seribu orang termasuk
yang sudah keluar dari awalnya hanya delapan orang. Kini satu outlet ada
sekitar 12 orang chef.
Bagaimana perkembagan Bumbu Desa
dari awal berdiri hingga sekarang ini?
Tahun pertama, kami hanya punya
dua outlet, Laswi dan Pasir Kaliki. Lalu tahun kedua, kami menambah sekitar 15
outlet. Untuk Jakarta ada 17 outlet. Untuk luar negeri, kami memiliki cabang di
Malaysia sebanyak 6 outlet. Saat ini jumlah keseluruhan outlet kami ada 78
outlet. Pada tahun 2014 ini kami berencana membuka cabang di Vancouver, Kanada
dan Melbourne, Australia. Mudah-mudahan tahun ini mulai running. Sudah ada yang
menawarkan untuk membuka di London, Paris dan New York. Investornya juga sudah
ada. Namun tempatnya kurang bagus sesuai dengan yang saya inginkan. Kami masih
mencari lokasi yang bagus. Kami harus jelas dulu lokasinya di sana di mana.
Kami tidak mau karena lokasinya. Selain sebagai portofolio Bumbu Desa, kami
tidak ingin asal-asalan membawa nama Indonesia di luar negeri.
Untuk pertumbuhan omzet, Bumbu
Desa dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Pertumbuhan per tahun kurang
lebih mencapai 30 persen tiap tahun. Pertumbuhan cukup signifikan pada tahun
2010. Tahun itu merupakan booming-nya bisnis kuliner. Bumbu Desa saat itu
membuka 12 cabang.
Saya juga pernah diajak oleh
Dirut suatu BUMN untuk presentasi di depan karyawannya yang mau pensiun,
seratus orang yang hadir ingin investasi di Bumbu Desa. Bisa dibayangkan untuk
franchise fee-nya saja sekitar Rp 400 – Rp 500 juta. Kalikan saja 50 orang.
Saya bisa mendapat Rp 40 miliar. Tapi bukan itu yang saya mau. Karena tidak
semua orang yang mau mengelola langsung.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku tiap harinya, Bumbu Desa melakukan pembinaan kepada penyuplai. Seperti
para suplier ayam, ikan. Kami juga melakukan kerja sama dengan yayasan rumah
yatim yang anak-anaknya bisa melakukan praktik kerja di Bumbu Desa.
Bagaimana mengelola agar bisnis resto
ini bisa berkesinambungan?
Untuk pengertian berwirausaha
adalah tindakan yang komprehensif dari beberapa hal. Paling utama adalah relationship
dengan karyawan. Saya sampaikan kepada karyawan, Bumbu Desa seperti sekolah
atau universitas. Jadi, jika para karyawan sudah punya kemampuan dan ingin
keluar dari Bumbu Desa, mereka harus lebih tinggi jabatannya ketika bekerja di
Bumbu Desa. Menurut saya, itu bukan berarti karyawan tidak memiliki loyalitas
tetapi membantu langkah mereka untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik.
Kami dalam membuka frandchise
tidak sembarangan, tapi kami pilih orang-orang yang konsern, fokus dan pegang
sendiri. Yang penting bagi kami adalah relationship bukan sekadar uang. Saudara
bertambah tapi tidak ada konflik.
Saya enggak takut dicontoh oleh
siapa pun. Semua resep saya berikan kepada yang lainnya. Tidak ada yang kami
simpan kepada partner. Bumbu desa juga bisa dikatakan satu-satunya restoran
yang tidak punya link dengan sebuah alat IT, terhadap cashier dengan kantor
pusat untuk mengontrol penjualan outlet lain. Dulu hampir digunakan, tapi
menurut saya tidak perlu. Yang saya inginkan menjalankan bisnis berlandaskan
kejujuran. Daripada untuk IT, saya lebih suka pelatihan-pelatihan untuk para
karyawan. Itu yang lebih saya suka. Saya tidak takut rugi, karena saya percaya
100 persen kepada para partner. Sampai saat ini belum ada konflik.
Untuk bahan baku bagaimana pemenuhan
kebutuhan bahan baku?
Ibaratnya Bumbu Desa adalah inti
plasma. Pemasok bahan baku adalah plasma-plasmanya. Jadi semua hasil produksi
dipasok ke kami. Ada juga yang tidak bisa seperti itu, seperti beras.
Selama 10 tahun berjalan,
bagaimana kendala yang dialami?
Untuk pemenuhan SDM relatif
lancar, namun perkembangan bisnis kuliner semakin kencang. Pilihan-pilihan
kuliner semakin beragam. Dari situ, kami harus berkompetisi terus. Oleh karena
itu, kami harus berinovasi.
Bagaimana alasan Bumbu Desa sendiri
dalam pemilihan lokasi baru?
Untuk luar negeri, tidak mesti
banyak penduduk Indonesia di negara tersebut. Namun berdasarkan kota tersebut
adalah megapolitan. Misalnya, Vancouver saat ini merupakan kota yang majemuk
maka itu kami juga buka di sana. Untuk wilayah Indonesia, kami juga berencana
membuka di wilayah timur Indonesia seperti, Mataram, Ambon, Flores dan Labuhan
Bajo. Kami memilih karena lokasi tersebut bisa diterima masyarakat dan
startegis.
Sukyanti Nugroho (Es Teler 77)
Bicara soal jajanan es, mungkin
Sukyatno Nugroho patut dianggap sebagai penjual jajanan es paling sukses di
Indonesia. Bagaimana tidak, melalui waralaba Es Teler 77 miliknya ia sukses
menjadi salah satu pengusaha sukses di Indonesia.
Memang tidak banyak yang mengenal
mengenal sosok dari Sukyatno Nugroho ini. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa
Tengah, 3 Agustus 1948 ini sewaktu kecil dikenal tidak terlalu cerdas di
sekolah.
Ia malah pernah dua kali tidak
naik kelas saat bersekolah. Bahkan teman-temannya menggap ia bodoh. Masa sekolahnya
pun ia selesaikan hanya sampai jenjang SMP saja.
Karena tidak terlalu suka
bersekolah, ayahnya Hoo Ie Kheng kemudian mengirim Sukyatno Nugroho ke rumah
pamannya di Jakarta. Tinggal bersama dengan pamannya, Sukyatno diajari
berdagang. Segala macam profesi pernah dijalani oleh Sukyatno agar bisa
bertahan hidup di ibukota.
Mulai dari berjualan sisir,
kancing baju hingga alat elektronik. Selama menjadi salesman, disitulah ia
bertemu dengan istrinya yaitu Yenny Setia Widjaja yang ketika itu juga berdagang
alat elektronik. Pernikahannya ia langsungkan pada tanggal 28 seotember 1971.
Ia juga pernah menjadi calo surat
izin mengemudi, tengkulak jual beli tanah hingga menjadi pemborong pembangunan
perumahan. Sewaktu menjadi pemborong, ia kena sial. Rumah yang ia bangun atas
pesanan dari departemen pemerintahan hampir selesai, sialnya ia hampir
dikeroyok orang sebab tanah dari bangunan yang ia dirikan masih dalam tahap
sengketa.
Akhirnya ia menanggung kerugian
dan berhutang banyak, jatuh miskin bahkan ia tidak sanggup untuk membayar biaya
sekolah anaknya. Dari situ, ia kemudian mencoba membuka usaha salon
kecil-kecilan.
Namun tak lama kemudian, Sukyatno
Nugroho mulai mencoba berbisnis jajanan es teler yang kemudian mengubah
nasibnya kelak. Berbekal modal usaha 1 juta rupiah dan resep es teler dari ibu
mertuanya, Murniati Widjaja hasil memenangkan lomba majalah Gadis, Sukyatno
mencoba peruntungannya di bisnis kuliner ini.
Es Teler diciptkan oleh oleh
Tukiman Darmowijono. Es Teler terdiri dari minuman es yang berisi campuran
alpukat, kelapa muda, nangka dan santan kelapa ditambah sirup sebagai
pemanisnya. Sukyatno memberi nama jajanan es telernya dengan nama Es Teler 77.
Angka 77 bagi Sukyatno adalah angka keberuntungan.
Sukyatno mulai menjual dagangan
es telernya pada tanggal 7 juli 1982. Dagangannya ia gelar di emperan pusat
perbelanjaan Duta Merlin, Harmoni di wilayah Jakarta pusat dari pagi hingga
malam hari.
Selama beberapa tahun ia
menjajakan es nya di pinggir jalan dan berpindah-pindah tempat, tak jarang ia juga
kena razia penertiban petugas.
Lambat laun, usaha es telernya
mulai menunjukan peningkatan penjualan. Sehingga ia kemudian nekat
mewaralabakan es teler 77 dagangannya pada tahun 1987.
Sukyatno sebenarnya tidak terlalu
mengerti mengenai sistem waralaba, mulai dari bagi hasil hingga posisinya
sebagai pemilik usaha. Ia hanya mengetahui mengenai waralaba dari artikel
berbahasa Inggris yang ia baca. Meskipun ia hanya tamatan SMP saja, namun ia
sedikit mengerti bagan dan skema dari sistem waralaba seperti KFC maupun
McDonald yang ketika itu baru masuk di Indonesia.
Dari pedagang es di emperan jalan
hingga menjadi jajanan es kaum elit. Itulah yang membuat Sukyatno yakin akan
pilihannya mewaralabakan es teler 77 miliknya. Awal mula ia mewaralabakan es
telernya, ia selalu selalu mengalami kerugian tiap hari, naum itulah Sukyatno,
pantang menyerah akan usahanya.
Biografi dan Profil Sukyatno
Nugroho - Kisah Inspiratif Pemlilik Waralaba Es Teler 77
Dari tahun ke tahun semenjak ia
mewaralabakan es telernya, gerai usahanya terus bertambah mulai dari Solo
hingga Semarang dan kemudian mencapai ratusan gerai Es Teler 77.
Ia pun mematok harga es telernya
lebih mahal dan memindahkan gerainya ke dalam pusat perbelanjaan seperti di
mall maupun plaza.
Ia kemudian berani membuka gerai
di gedung Wisma BNI yang megah di wilayah Sudirman, Jakarta. Tempat-tempat yang
prestisius itulah yang membuat image dari Es Teler 77 dikenal luas di
masyarakat. Ia juga terkadang membuat berbagai kegiatan sosial yang menurutnya
‘heboh’, sehingga turut menaikkan pamor es teler 77 miliknya.
Sejak saat itu waralaba Es Teler
77 nya mulai menjamur di berbagai kota besar di Indonesia bahkan ia juga
memiliki cabang di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, hingga Australia
dengan jumlah karyawan sebanyak 3000 orang.
Bisnisnya yang sukses besar
membuat Sukyatno Nugroho sangat terkenal. Sejak itu ia mulai menjadi pembicara
mengenai bisnis waralaba di berbagai Universitas. Usahanya tersebut ia serahkan
kepada anak-anaknya. Ia lebih memilih untuk bekerja di belakang layar saja.
Sukyatno Widjojo wafat pada
tanggal 11 desember 2007. Ia kemudian menyerahkan usaha waralabanya yang sudah
berjumlah 300 outlet di Indonesia dan empat negara lain di luar negeri kepada
anak-anaknya. Banyak masyarakat menyampaikan bela sungkawa bahkan dari presiden
Abdurrahman Wahid kala itu.
Riezka Rahmatiana, Pemilik CV. Ezka Giga Pratama (Pisang Ijo JustMine):
Melangkah dari paling bawah
Meski ditentang orang tuanya, di
olok-olok rekan kuliahnya, bahkan sempat ditipu rekan bisnisnya. Riezka
Rahmatiana pantang menyerah dan terus berusaha, inovasi dan kemitraan menjadi
kunci suksesnya untuk mengembangkan bisnis “Saya bermimpi bangsa ini bangkit
bersama sehingga kemiskinan tak ada lagi.” Katanya.
SIAPA BILANG BISNIS harus dimulai
dengan modal besar? Riezka Rahmatiana, 23 tahun, telah membuktikannya. Ia
memulai usahanya hanya dengan mengandalkan uang jajannya sebagai modal awal,
sekitar Rp 150.000. “Saya memulainya dari paling bawah, dengan berjualan pulsa
elektronik,” ujar gadis berdarah India kelahiran Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat, 21 Maret 1986 ini.
Target pasarnya adalah
rekan-rekan kuliahnya sendiri. Ternyata peminat pulsanya begitu banyak. “Tak
sampai dua jam, deposit pulsa saya sudah habis,” katanya. Hasil penjualan ini langsung
diputarkannya untuk membeli deposit kembali, sehingga lama kelamaan jumlah
depositnya ternus bertambah. Bahkan ia bisa membuka outlet pulsa elektronik,
fisik, dan kartu perdana yang diberinya nama Ezka Cell, di Jl. Raflesia H7,
Perumahan Antapani, Bandung.
Kali ini target pasarnya adalah
orang-orang yang satu komplek perumahan dengannya. Lagi-lagi hasilnya
mengejutkan, omzetnya d‘alam sebulan bisa mencapai Rp 9.600.000. Sadar akan
besarnya potensi bisnis pulsa ini Riezka pun berani mengibarkan bendera usaha.
Pada 26 Maret 2007 ia mendirikan bendera CV Ezka Giga Pratama, perusahaan yang
bergerak dalam bidang perdagangan dan jasa. Dari berdagang pulsa ia ‘naik
pangkat’ dipercaya menjadi master pulsa yangmengelola server pulsa elektronik
yang membawahi sejumlah agen dan outlet-outlet kecil.
Pelan tapi pasti bisnisnya terus
merayap naik. Satu per satu bidang usaha dirambahnya. Karena tempat usaha
pulsanya yang berada di komplek ramai didatangi konsumen salah seorang rekan
bisnisnya mengajak bekerja sama di bidang laundry & dry clean dengan pola
bagi hasil. Pada awalnya ia sempat ragu apakah jasa ini dibutuhkan, mengingat
umumnya tiap rumah telah memiliki pembantu rumah tangga. Namun setelah
mengamati sejumlah gerai laundry & dry clean di kompleks perumahan lainnya,
ia memberanikan diri masuk ke sektor ini. Maka, tahun itu, Riezka membuka
gerai Prima Laundry. Di luar dugaan, “Di bulan pertama saya bisa mendapat
bagian bersih Rp 2 juta,” katanya.
Dari berdagang pulsa ia ‘naik
pangkat’ dipercaya menjadi master pulsa yang mengelola serves pulsa elektronik
yang membawahi sejumlah agen dan outlet-outlet kecil.
Pada tahun berikutnya, Maret
2008, Riezka kembali melebarkan usahanya dengan mencoba merambah ke usaha
makanan dan minuman. Menurut buku-buku yang dibacanya, margin keuntungan di
usaha makanan dan minuman bisa mencapai 50% lebih. Maka ia pun menyewa ruang
di Food Court & Cafe di daerah Cihampelas, Bandung, dan membuka kafe
D’Green House. Di sins ia menyajikan aneka macam makanan dan minuman. Sayang,
usaha ini kandas karena omzet sangat minim.
MENGEMBANGKAN PRODUK DENGAN
INOVASI
Rizka tahu jika ingin sukses ia
harus bisa menampilkan produk yang berbeda dengan yang dijual orang lain, harga
yang sesuai dengan segmen yang dibidik, serta memilih lokasi yang tepat, serta
melakukan promosi untuk memperkenalkan produknya. Dengan kata lain, ia harus
menerapkan empat bauran pemasaran (4P) yang disebutkan Philip Kottler: Product,
Price, Place, dan Promotion.
BIODATA
RIEZKA RAHMATIANA
Mataram, 26 Maret 1986
Email: riezkarahmatiana@gmail.com
PENDIDIKAN:
2004 –Sekarang Mahasiswa Fakultas
Komunikasi, Universitas Padjajaran Bandung
NAMA USAHA:
CV. Ezka Giga Pratama
(JustMine Pisang Ijo, Ezka Cell
& Laundry) Alamat: Ruko MTC Blok C-6
Telp: 0818 642699, 022 92300888
PENGHARGAAN:
2008 Finalis Wirausaha Muda
Mandiri kategod Mahasiswa Diploma dan Sarjana
LAIN-LAIN
2007 News Editor PT Radio Garuda
Bandung
2007 Distributor of Tiens Group
2005 Announcer Radio Mora FM
“Saya melakukan inovasi produk
dan mencari lokasi baru,” katanya. Kali ini ia menyajikan menu tradisional,
yaitu tahu Sumedang dan sop urat, resep favorit ibunya. Untuk itu ia menyewa
gerai di Jl. Cihanjuang, Bandung, yang dinamainya Dapur Kuring, yang
berasosiasi dengan masakan tradisional rumahan. Untuk modal awal Riezka cukup
mempersiapkan bahan baku dan peralatan, senilai sekitar Rp. 6 juta. Tempatnya
disewa dengan pola bagi hasil, 25% untuk pemilik tempat dan 75% untuk Riezka.
Kali ini Dewi Fortuna
menghampirinya. Tahu Sumedang dan sop urat laris manis disukai pelanggan dan
pesanan. Apalagi sop uratnya, yang bisa dikatakan tak memiliki pesaing.
Lokasinya yang di kawasan wisata membuat peminatnya bukan hanya dari kawasan
Bandung dan sekitarnya, namun juga dari luar kota, seperti Jakarta, Bogor,
Purwakarta. Para pelanggan yang puas ini pun menjadi evangelist yang dengan
sukarela mempromosikan gerai makannya.
Agar semakin memikat perhatian
konsumen, Riezka sengapi meletakkan tempat menggoreng tahunya di luar ruangan
sehingga konsumen dapat melihat cars pembuatannya. Aromanya yang hariiiii mampu
membujuk konsumen mampir ke gerai Dapur Kuring. “Alhadulillah, penggemarnya
terus bertambah,” katanya.
FOKUS DI BISNIS MAKANAN DAN
MINUMAN
Tampaknya Riezka sangat serius
menekuni bisnis makanan dan minuman (food & beverage). Namun untuk bisa
tampil bersaing dengan banyak sekali pemain di sektor ini, pelaku industri ini
harus tel. us-menerus menggelar inovasi dan meluncurkan produk baru, serta
mengemasnya secara menarik. Dan itulah yang dilakukan mahasiswa Jurusan Komunikasi
Pemasaran Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung ini.
Awal 2009 ini, misalnya, ia
meluncurkan produk baru Pisang Ijo “JustMine”. Produk ini dikembangkannya dari
makanan tradisional khas Makassar terbuat dari bahan dasar pisang raja yang
dibalut dengan tepung beras, dan diberi warna hijau alami dari daun suji. Di
tangan Riezka, pisang ijo ini diberi cita rasa baru dengan berbagai varian
rasa, yaitu fla cokelat, vanila, stoberi, durian dan rasa orisinal pisangijo
khas Makassar. Lagi-lagi produk jajan pasar kreasi baru Riezka ini disukai para
pencinta kuliner. “Sebelum dipasarkan, saya memberikan sampel produk Pisang
Ijo kepada teman-teman, rekan bisnis, dan keluarga. Ketika di awal mereka
mengatakan rasanya kurang enak, Riezka dan timnya mencoba lagi sampai semua
mengangguk puas. “Syukur akhirnya kami bisa menghasilkan produk yang optimal
dan disukai banyak orang,” katanya.
MENGEMBANGKAN USAHA LEWAT
KEMITRAAN
Sambutan konsumen yang sangat
bagus membuat permintaan kerja sama dan waralaba berdatangan. Riezka pun
menyambut ajakan ini. “Jika bisa membantu orang lain sambil sekaligus
mengembangkan usaha sendiri, kenapa tidak?” pikirnya. Untuk franchise, ia
menawarkan satu paket booth lengkap Justmine Pisang Ijo seharga Rp 6,5 juta.
Paket ini meliputi sistem penjualan dengan SOP (standard operating procedure)
agar kualitas produknya tetap dijaga, training karyawan, dan perlengkapan
penjualan. “Tapi untuk periode promosi sampai bulan Juli, saya jual hanya
dengan harga Rp 5,5 juta,” katanya.
Melihat gaga bisnisnya, ada
beberapa hal yang menarik pada pengusaha belia ini. Riezka memulai bisnisnya
dengan modal yang relatif kecil, dengan menjual produk yang banyak dibutuhkan
orang sehingga risiko kegagalan lebih kecil.
Hal kedua, setiap kali mengembangkan
bisnisnya, Riezka selalu menerapkan sistem kemitraan. la membuka diri untuk
menggandeng mitra bisnis untuk bersama-sama memadukan kekuatan guna
mengembangkan usaha. Riezka mengaku sangat ingin menularkan semangat
berwirausaha kepada semua orang sejak dini. “Saya bermimpi bangsit ini bangkit
bersama sehingga kemiskinan tak ada lagi,” katanya.
Dengan strategi kemitraan ini,
Riezka juga bisa memiliki waktu lebih banyak. Faktanya, sambil terus
mengembangkan usahanya, ia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang baik.
“IPK saya tidak pernah kurang dari 3,” ujarnya sambil tersenyum. Orang tuanya
yang dulu menentang usahanya, kini berbalik mendukung dan menyemangatinya.
Dengan kejelian membaca peluang
pasar dan mengembangkan inovasi produk, Rizka mampu mengembangkan bisnisnya
dengan relatif cepat. Dalam tempo tak sampai dua tahun, Ezka Giga Pratama yang
didirikannya dengan modal awal sangat minimal ini kini telah memiliki aset
sekitar Rp 500 juta – ibaratnya dari kilobyte menjadi giga. Berkat sistem franchise
dan jaringan kemitraan yang dibangunnya, jangkauan usahanya juga terus membesar
dan beranak-pinak.
JATUH BANGUN MENGHADAPI TANTANGAN
Jika kini terlihat perjalanan
usaha Riezka berlangsung begitu mulus dan pesat, jangan menyangka ia tak pernah
menghadapi rintangan. Tantangan pertama justru berasal dari lingkar dalam
keluarganya sendiri. Orangtua Riezka menentang keinginan anak pertama mereka
ini untuk mengembangkan potensi sebagai wirausaha dan memintanya agar fokus
kepada kuliahnya.
Namun si sulung bersikukuh pada
pendiriannya. Ia ingin menjadi pengusaha, sehingga memiliki keleluasaan
mengelola waktu dan pendapatan sendiri. “Saya ingin mempunyai kebebasan waktu,
tidak terikat dengan pekerjaan atau bos di kantor,” katanya.
Maka sambil kuliah, pada 2006-2007,
Riezka mencoba berusaha dengan menjadi distributor dari Tiens Group,
perusahaan multilevel marketing produk makanan kesehatan. Dengan tekun ia
menawarkan dagangannya kepada teman-teman kuliahnya. Hasilnya? “Lebih banyak
penolakan dan ejekan ketimbang dibeli,” ujarnya.
Pada tahun 2007 Riezka pernah
ditipu mitra bisnisnya sendiri, yang membawa kabur barang dagangan bernilai
puluhan juta yang diambilnya dari Riezka.
Tantangan rupanya tak cukup
sampai di situ. Pada tahun 2007 Riezka pernah ditipu mitra bisnisnya sendiri,
yang membawa kabur barang dagangan bernilai puluhan juta yang diambilnya dari
Riezka. “Untuk menutup kewajiban pembayaran seluruh tabungan saya ludes. Bahkan
saya masih harus berutang kesana-kemari,” katanya. Hingga kini, mitra bisnisnya
raib dan tak mempertanggungjawabkan kewajibannya. Sementara Riezka kehilangan
kepercayaan dari teman-temannya, bahkan mengalami hinaan yang menyakitkan,
dari downline-nya.
Toh mantan penyiar Radio Mora FM
(2005) dan redaktur berita Radio Garuda (2007), keduanya di Bandung, ini
pantang menyerah. Ia kembali bangkit dan siap melata dari anak tangga terbawah,
dengan menjajakan pulsa tadi. Lalu sedikit demi sedikit mengumpulkan modal
untuk berbisnis kembali. Hasilnya, Riezka kini bisa menegakkan kepada dan
membuktikan bahwa jika ada kemauan, selalu ada jalan mencapai keberhasilan. Ia
juga telah membuktikan, jika dilakukan bersama-sama, tak ada kata tidak bisa.
Victor Giovan Raihan: Pengusaha Sukses Kembangkan Bisnis Minuman Sejak
Usia Remaja
Menjadi seorang pengusaha sukses
tidak memandang usia seseorang. Sukses
berbisnis adalah milik semua orang yang mempunyai tekad, seberapapun usia
mereka. Dan sebagai contoh, berikut ini ialah kisah sukses berwirausaha dari
seorang dengan usia yang masih sangat belia.
Victor Giovan Raihan, seorang
pengusaha remaja yang berhasil menjalankan sebuah bisnis sejak usia 18 tahun.
Potret pengusaha yang patut ditiru dan kita jadikan contoh. Victor Giovan
Raihan pemuda asal Malang ini berhasil menjalankan bisnis yang ia mulai sejak
ia remaja.
Banyak liku – liku bisnisnya
sampai ia berhasil mendapatkan kesuksesan. Simak kisah suksesnya berikut ini.
Victor Giovan Raihan Membangun
Bisnis Sejak Usia Remaja
Victor Giovan Raihan yang kala
itu masih berusia remaja yaitu 18 tahun iseng membuat racikan minuman dari teh
dan susu fermentasi. Siapa sangka racikan minuman yang dibuat Victor Giovan
Raihan banyak disukai oleh teman – temannya.
Dengan respon dari pasar yang
sangat baik, otak bisnis nya mulai bekerja dari sini. Selang beberapa
waktu kemudian Raihan memutuskan untuk
lebih serius dan fokus mengelola teh racikannya. Mulai dari meracik, menata
outlet sampai memberi brand pada bisnis minuman cepat sajinya.
Melihat Potensi Bisnis Minuman
Cepat Saji
Raihan sendiri sebenarnya memiliki
beberapa macam bisnis minuman cepat saji. Namun yang menjadi andalannya saat
ini adalah paket minuman cepat saji yang ia beri nama “Teh Kempot”. Kenapa ia
memutuskan terjun berbisnis dengan mengambil pasar minuman cepat saji,
menurutnya prospek bisnis minuman cepat sajai ke depan akan semakin besar.
Hal ini menurutnya karena
masyarakat saat ini semakin hari semakin menunjukkan keinginan untuk serba
cepat dan instan. Nah, salah satu yang yang bisa mendukung mobilitas masyarakat
tersebut adalah minuman cepat saji. Karena minuman model seperti ini selain
praktis juga bisa didapatkan di mana saja.
Dalam meracik ramuan teh cepat
saji ini, Raihan mengandalkan racikannya sendiri. Ia membeli daun teh setengah
matang dari pemasok langganannya, kemudian ia kelola sendiri dan kemudian ia
mix dengan yoghurt atau susu fermentasi. Ada banyak pilihan rasa yang
ditawarkan dari minuman racikan Raihan, ada rasa strowberi, rasa cokelat, juga
ada rasa lemon.
Kesuksesan Bisnis Minuman Victor
Giovan Raihan
Dengan modal awal 3 juta rupiah,
terhitung saat ini bisnis yang dikelola Victor Giovan sangat sukses dan
berkembang dengan pesat. Saat ini menurut Victor, per outlet dari teh cepat
sajinya mampu menghasilkan antara 2 juta sampai 3 juta per bulan.
Kini, anak sulung dari dua
bersaudara ini mampu mengembangkan bisnis nya dengan mempunyai 10 gerai yang ia
tangani secara langsung dan 17 outlet yang dikelola oleh para rekan bisnisnya.
Rekan bisnis nya tersebar di berbagai sudut di Kota Malang dan ada beberapa
juga di Palembang dan Jakarta. Untuk bisa menjadi rekan bisnisnya, Victor
mematok harga 3,5 juta rupiah dengan mendapatkan satu paket gerobak dan 100 cup
gelas kemasan beserta alat masaknya sekalian.
Untuk saat ini, kapasitas
produksinya bisa menghabiskan 20 kg daun teh kering yang bisa dibuat menjadi 70
gelas dan 4 kg gula per harinya per outlet. Ke depan ia ingin melebarkan sayap
bisnis nya dengan membuk mitra baru di kota – kota besar seperti di Surabaya
atau juga di Sidoarjo. Segelas teh yang ia jual dihargai 2.000 sampai 2.500
rupiah per kemasan 250 ml.
Perkembangan Bisnis Victor Giovan
Raihan
Saat ini Victor Raihan berhasil
memberi lapangan kerja untuk 50 orang karyawan. Sebenarnya selain teh yoghurt,
Victor juga mengelola bisnis bakso. Menurut nya, keuntungan yang berhasil ia
dapatkan dari teh kemas ini mencapai 350 persen. Sebuah bisnis yang sangat
menjanjikan menurutnya jika dibandingkan dengan bisnis bakso yang “hanya”
mendapatkan keuntungan mencapai 100 persen.
Sebuah kisah yang sangat
menginspirasi yang patut kita jadikan contoh. Jangan terpaku pada usia untuk
memulai sebuah usaha atau bisnis, segera realisasikan rencana dan ide Anda
dalam berbisnis. Jangan khawatirkan apapun, yang penting semuanya dikonsepkan
dengan baik dan dituangkan dalam master plan bisnis yang sistematis.
Reza Nurhilman, Sang Presiden Keripik Pedas Maicih
Tak pernah terbayangkan oleh Reza
Nurhilman jika perkenalannya dengan seorang nenek tiga tahun lalu menjadi awal
kesuksesannya berbisnis. Pemuda 23 tahun ini menceritakan bagaimana ia bisa menemukan
resep keripik singkong "setan" Maicih, yang kini menjadi perbincangan
hangat di dunia maya dan tenar di kalangan anak muda Bandung.
Sekitar 2008, Reza diajak oleh
seorang temannya ke daerah Cimahi dan mencicipi keripik buatan si nenek yang
enggan ia sebutkan namanya. "Saya cicipin keripiknya dan memang
enak," kata Reza atau biasa disebut Axl, Presiden Keripik Maicih, saat
berbincang dengan Tempo di salah satu kafe di Bandung.
Saat itu bungsu dari tiga
bersaudara ini masih bekerja serabutan. Sesekali ia mengikuti pelatihan
motivasi sumber daya manusia. Ia belum terpikir akan menggeluti bisnis itu.
Baru pada Juni tahun 2009, Axl kembali mengunjungi rumah nenek itu. Ia melihat
si nenek hanya membuat keripik pada saat-saat tertentu dan pemasarannya amat
terbatas. Terlintas dalam pikirannya untuk membangun usaha menjual keripik.
"Saya menanyakan resep
keripik buatannya dan nenek tidak keberatan saya juga membuat keripik dengan
resep sama," ia menjelaskan.
Dengan bermodal Rp 15 juta, Axl
mulai memproduksi keripik yang diberi merek Maicih sebanyak 50 bungkus per
hari. Ia membuat perbedaan tingkat kepedasan dari level 1 hingga level 5.
"Saya mulai ngider memasarkan keripik dengan memberikan sampel ke teman,
saudara, memanfaatkan Twitter dan Facebook," katanya.
Pada 11 Februari 2010, di Paris
Van Java Mall, Bandung, digelar acara trademark market. Kesempatan ini
digunakan Axl untuk meluaskan pasar keripik Maicih. Ia merasa terbantu oleh
berlangsungnya acara itu. Pasarnya bertambah. "Artis dan para pejabat jadi
tahu dan penasaran dengan keripik Maicih," katanya.
Nama Maicih, kata mahasiswa
Manajemen Universitas Maranatha Bandung ini, diambil dari istilah dompet kecil
yang suka dipakai ibu-ibu. Nama ini juga mengundang rasa penasaran konsumen
karena terdengar nyeleneh. Pemasarannya dibantu oleh teman-temannya di sekolah
menengah atas dan saudaranya. Walhasil, peminat keripik Maicih mulai banyak.
"Awalnya karena penasaran dengan nama Maicih-nya," ucapnya.
Dalam sebulan, respons atas
keripik itu mulai bermunculan. Kebanyakan mengomentari penyedap rasa yang amat
dominan. "Saya langsung memperbaikinya karena enggak mau kehilangan
pelanggan," ujarnya. Axl juga mulai mengenal selera pelanggan. "Lebih
banyak yang suka keripik dengan kepedasan dari level 3 sampai 5," katanya.
"Ada juga yang level 10, sangat pedas, tapi itu limited edition, gak
diproduksi setiap hari."
Dalam menjalankan usahanya, Axl
menerapkan prinsip totalitas, loyalitas, dan sinergi. Ia berharap kepercayaan
pelanggan terjaga dan kekompakan tim pemasaran tetap berlangsung. Loyalitas
terhadap keripik Maicih ini mendorong mereka membentuk satu komunitas yang
bernama Icihers. Komunitas ini kebanyakan perempuan. Mereka amat aktif
menyebarkan informasi tentang keripik Maicih.
Axl mengucapkan rasa terima kasihnya
kepada kolega, saudara, dan para Icihers yang telah loyal memasarkan
keripiknya. "Sehingga semakin banyak orang yang 'tericih-icih' (istilah
ketagihan keripik Maicih)," ujarnya.
Namun bukan berarti perjalanan
bisnis Axl selalu berjalan mulus. Pada November tahun 2010, keripik Maicih
tidak diproduksi akibat kurangnya alat penggorengan yang masih memakai tungku.
"Pelanggan makin banyak tapi kapasitas penggorengan kurang," kata
dia. Selama sebulan ia harus memperbaiki tunggu itu.
Saat ini dalam sehari ia bisa
memproduksi 2.000 bungkus. "Selalu habis," ujar Axl. Ia berencana
akan menambah jumlah produksi mencapai 10 ribu bungkus per hari. Axl, yang
berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu, tak menyangka usahanya bakal
sesukses ini. Saat ini omzet penjualan keripik Maicih dalam sehari mencapai Rp
22 juta dan dalam sebulan bisa mencapai 7 milyar. Harga keripik dibanderol
antara Rp 11 ribu dan Rp 15 ribu untuk luar Bandung.
Pelanggan di luar Bandung juga
bisa memesan Maicih melalui sistem online di ngiderngiler.com. Dalam waktu
dekat, Axl juga akan membuat wardrobe Maicih berupa kaus dan merchandise.
"Saya ingin Maicih menjadi ciri khas Jajanan Bandung," kata dia.
RIZKA WAHYU ROMADHONA,- Pemilik LAPIS BOGOR SANGKURIANG
Oleh karena sudah diniatkan ingin
memiliki usaha, tak ada rasa kapok dalam diri Rizka untuk berbisnis lagi.
Pilihannya berbisnis kue didasarkan pada kenyataan bahwa Bogor, tempat
tinggalnya selama ini, dikenal sebagai kota pariwisata. Tiap akhir pekan selalu
macet oleh wisatawan. Dari situ Rizka berfikir, jika ia bisa menjaring 10
persen saja dari wisatawan itu untuk membeli produknya, hasilnya sudah sangat
lumayan. Ia pun sengaja memilih talas sebagai bahan dasarnya, karena kota Bogor
juga identik dengan talas. Maka tak ada salahnya untuk memanfaatkannya. Dengan
pengolahan yang baik, talas pun bisa dijadikan makanan yang modern. Terlebih
selama ini belum ada yang mengolah talas menjadi kue lapis, hanya sebatas
keripik dan gorengan saja.
Sebetulnya, Rizka yang merupakan
alumni Tehnik Elektro ITS Surabaya ini tidak terlalu pandai membuat kue. Satu-satunya kue yang mampu ia buat hanyalah
kue lapis Bogor ini. Itu pun setelah terlebih dahulu belajar dari ibunya yang
kebetulan memang suka membuat kue rumahan. Setelah itu, ia memodifikasinya
sendiri. Sekitar sebulan lamanya ia belajar, seminggu bisa sampai tiga kali ia
terus mencoba-coba membuat kue modifikasi dari talas.
Pertama kali ia membuat kue,
hasilnya bantat. Terkadang juga terlalu manis. Awalnya hanya kerabat dekat yang
diminta untuk mencicipi. Ia pun selalu memperbaiki kuenya berdasarkan saran
dari para kerabatnya itu. Setelah itu, gantian para tetangganya yang diminta
untuk mencicipi. Ternyata menurut mereka hasilnya enak, bahkan mereka juga
mulai memesan. Sejak itulah, Rizka dan suaminya mulai serius berjualan kue
lapis talas Bogor.
Rizka memulai bisnisnya ini
dengan modal yang sangat terbatas, hanya Rp 500 ribu, yang merupakan sisa dari
bisnis baksonya. Uang itu ia belikan bahan baku dan alat pengukus. Ia
menggunakan tepung talas yang dibelinya dari toko langganan di pasar yang
harganya sangat murah. Oleh karena dikerjakan sendiri bersama suaminya, awalnya
produksi dimulai dari pukul 06.00 hingga pukul 04.00 keesokan harinya.
Setelah mendapat pesanan dari
para tetangganya, Rizka lalu mulai menawarkan kuenya ke teman-teman kampus,
keluarga lain, kelompok pengajian, dan komunitas lain, seperti komunitas
entrepreneur. Lalu ia juga mencoba masuk ke instansi pemerintah. Ketika
berhasil masuk ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ia mendapat respons yang
sangat baik, bahkan ditawari menjadi mitra binaan. Dari situ ia sering diajak
pameran dan mendapat berbagai pelatihan.
Rizka pun juga mencoba masuk ke
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, karena di kemasan kue lapisnya tercantum
slogan “Visit Bogor”. Ternyata respons-nya juga positif. Ia lalu dikenalkan ke
Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota dan Kabupaten Bogor, yang
langsung memfasilitasi penjualan produknya. Ketika PHRI mengadakan sebuah
acara, ia selalu diundang untuk ikut meramaikan. Misalnya, ketika ada diklat di
sebuah hotel selama tiga hari, ia diundang di hari terakhir untuk berjualan
dengan sistem bagi hasil.
Semula Rizka hanya menawarkan
satu varian kue lapis, yakni lapis Bogor talas. Tapi saat ini sudah ada lapis
Bogor keju, lapis Bogor brownies talas, dan lapis Bogor green tea. Dalam proses
produksinya pun saat ini ia juga berusaha meminimalisir sentuhan tangan. Jadi
hampir semua proses menggunakan mesin, termasuk mengolah krim lapisannya.
Saat ia mengikuti berbagai pameran
untuk menjual produknya, respons yang diterima dari masyarakat juga sangat
positif. Awalnya, ia hanya menggunakan kemasan plastik mika warna cokelat yang
ditempeli stiker. Namun setelah mengikuti beberapa pelatihan, ia baru menyadari
bahwa kemasan yang menarik juga sangat penting. Akhirnya, ia pun mulai
mengganti kemasannya dengan menggunakan boks. Hasilnya, orang jadi makin
tertarik dan lonjakan penjualannya pun semakin lumayan.
Awalnya, per hari hanya dua boks
yang terjual, lalu perlahan mulai meningkat hingga mencapai 50-100 boks per
hari. Rizka pun mulai berani membuka outlet di Jalan Baru (Jalan Soleh
Iskandar), Bogor di Desember 2011. Empat bulan kemudian, ia membuka outlet lagi
di Jalan Pajajaran dan di Puncak pada Desember 2012. Sekarang ia juga sudah
punya pabrik sendiri di daerah Tanah Baru, Bogor. Kini kue yang bisa terjual
sudah di atas 2000 boks per harinya, dengan harga Rp 25-30 ribu per boks.
Rizka tentu saja tak bisa
melupakan peran media yang membuat usahanya bisa berkembang dengan pesat seperti
saat ini. Tadinya, outlet yang teletak di Jalan Baru dibagi menjadi dua
ruangan. Satu untuk produksi, dan satunya lagi berfungsi sebagai toko. Namun
lama kelamaan tempatnya sudah tak mencukupi lagi karena jumlah pembeli dan
produksi makin banyak. Saat membuka outlet di Jalan Pajajaran, akhirnya
produksi sempat dipindahkan ke sana dengan memanfaatkan ruang di lantai
basement yang kebetulan tersedia. Dan lagi-lagi, tempatnya tidak mencukupi.
Akhirnya ia pun membangun pabrik khusus di daerah Tanah Baru. Meski hanya
seluas 400 m2, namun sanggup memenuhi kebutuhan produksinya.
Ciri khas lapis Bogor buatannya
adalah tentu saja dari bahannya yang menggunakan talas, teskturnya juga sangat
lembut, dan rasanya tak terlalu manis. Biasanya kue lapis Bogor buatannya
sering dijadikan oleh-oleh, arisan, rapat, atau untuk dikonsumsi sendiri.
Dalam menjalankan usaha, tentu
saja ada beberapa kendala yang kerap ditemui Rizka. Mulai dari saat memulai
usaha dengan kendala modal yang terbatas, maka untuk penjualannya pun juga
masih sangat terbatas, karena tak langsung bisa membuka outlet. Bersama
suaminya ia pun harus bergerilya dari satu kantor ke kantor lain untuk
memasarkan kuenya. Kendala lain yang terjadi saat ini terletak pada sumber daya
manusia dan ketersediaan mesin pengukus. Mesin yang dimilikinya saat awal
merintis usaha sudah tidak memadai lagi jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan
produksi sekarang.
Rizka pun segera mengatasinya
dengan menambah 15 mesin tambahan lagi dengan kapasitas 96 loyang per mesin
untuk sekali pengukusan. Sekarang ini, kue yang diproduksinya memang cepat
sekali habis, meskipun dalam sehari, beberapa kali dikirim dari pabrik. Dua
minggu sebelum lebaran, pembeli bisa antre sejak pukul 06.00 sampai sepanjang
200 meter, meskipun outlet baru dibuka pukul 07.00. Agar pembeli tetap tertib,
Rizka pun sekarang menerapkan sistem nomor antrian.
Semula Rizka memang tidak pernah
membatasi orang yang ingin membeli kue di outletnya. Namun ia mendapatkan
kenyataan banyak orang yang sekali beli sekaligus dalam jumlah banyak, yang
membuat kuenya langsung habis dalam waktu satu jam sejak dikirim dari pabrik.
Sehingga banyak pembeli berikutnya yang tidak kebagian, terutama wisatawan yang
datang dari luar kota di akhir pekan. Tentu saja hal ini sangat mengecewakan mereka.
Ternyata, pun orang yang membeli
dalam jumlah banyak itu lalu menjualnya kembali dengan mobil di tempat parkir
depan outletnya. Maka oleh karena itu, sejak September 2012 ia membatasi jumlah
pembelian, maksimal hanya lima boks per orang. Ini juga sekaligus untuk
mengurangi orang yang menjual lagi kue lapisnya, sehingga lebih banyak orang
yang kebagian.
Orang-orang yang menjual kuenya
lagi di luar, tentu saja dapat memberikan pengaruh yang kurang baik untuk
usahanya. Mereka tentu saja akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi,
sehingga orang lain pun jadi malas beli. Selain itu, kue yang dijual di luar
juga tidak bisa dijamin kualitasnya, karena bisa saja terkena debu atau sudah
berumur beberapa hari. Padahal kue lapis Bogor buatannya ini tidak menggunakan
pengawet, sehingga rentan terhadap panas. Jika biasanya masa kadaluarsanya
empat hari, bisa jadi akhirnya cuma dua hari karena dijual di tempat yang
terkena sinar matahari.
Soal masalah kadaluarsa, Rizka
mengaku pernah mendapatkan komplain dari pembeli. Ada pembeli yang setelah kue
dibawa ke luar dari tokonya dalam kondisi panas, lupa dikeluarkan dari dalam
mobil. Akhirnya, dalam dua hari saja kuenya langsung berjamur. Pernah juga ada
orang yang komplain terhadap kualitas kuenya, padahal ia membelinya di luar
outlet resmi.
Selain menjual langsung melalui
outlet, Rizka juga mempunyai strategi pemasaran lain yang ia gunakan untuk
meluaskan penjualan produknya. Yakni dengan memanfaatkan jejaring media sosial,
melalui akun Facebook Lapis Bogor dan Twitter @LapisBogor. Dulunya, ia juga
pernah memakai sistem layan antar. Pernah ada seorang ibu hamil di Bandung yang
ngidam ingin makan kue lapisnya. Akhirnya ia kirimkan. Namun sampai sana
ternyata kuenya berantakan. Sejak itu, layanan itu pun dihentikan, dan lebih
memilih fokus menjual di Bogor saja.
Rizka juga tidak ingin
mewaralabakan usahanya, meskipun banyak sekali yang menawarkan. Ia tetap ingin
mengelola sendiri usahanya. Saat ini karyawannya sudah sekitar 100 orang. Bila
dulu hanya ia dan suaminya yang mengelola, sekarang sang suami hanya mengurusi
operasional, sementara ia mengurusi manajemennya.
Usaha yang digeluti Rizka ini
juga telah membuahkan penghargaan, antara lain pada Wirausaha Muda Mandiri 2012
untuk regional Jabodetabek dan Wanita Wirausaha Mandiri 2013 dari sebuah
majalah wanita. Selain itu ia juga sering diminta pihak Istana Negara di Bogor
dan Cipanas untuk mengisi berbagai acara. Ketika ibu Ani Yudhoyono berulang
tahun beberapa waktu yang lalu, kuenya sempat dijadikan sebagai souvenir.
Selebritis pun banyak juga yang membeli kue di outletnya. Mereka umumnya tahu
dari media dan sosial media.
Rencana berikutnya, Rizka ingin
membuka outlet yang sekaligus menyatu dengan rumah makan. Di dalam rumah makan
itu nantinya akan diisi dengan iringan alunan musik tradisional Sunda. Ia aka
mengajak kerja sama dengan seorang budayawan Bogor untuk mewujudkan idenya ini.
Bila melihat ke belakang, Rizka
tentu saja tidak pernah membayangkan usahanya ini akan sukses cepat. Namun yang
jelas, dari usahanya yang berjalan bagus ini, rumahnya tidak jadi disegel oleh
pihak bank, walau sudah sempat dipasangi pengumuman ‘akan dijual’.
Rezha Noviana, Bandung Foodtruck
Tak hanya untuk urusan kuliner,
Bandung juga tersohor dengan beragam komunitasnya. Komunitas Foodtruck Bandung
menjadi salah satu komunitas yang menggabungkan kedua unsur tersebut.
Foodtruck sendiri dalam bahasa
Indonesia berarti dapur berjalan. Jika pada umumnya orang berjualan dilakukan
di tempat yang menetap, seperti restoran, kedai, kafe, maka tidak demikian
dengan yang dilakukan di komunitas ini. Para pengusaha kuliner di komunitas
menjalankan usahanya dengan menggunakan mobil telah dimodifikasi secara khusus
untuk aktivitas berjualan. Sehingga semua aktivitas mulai dari menjajakan
makanan hingga memasak dilakukan di dalam kendaraan.
Komunitas ini sendiri resmi
berdiri pada 3 Maret 2014. Komunitas menjadi wadah bagi para pengusaha kuliner
di Kota Bandung.
"Awalnya kami masih
melakukan aktivitas berjualan masing masing. Kami ketemu pas acara pertama
Braga Culinery Night January 2014 dan kami belum saling kenal. Dari situ
kemudian kami mulai sering ketemu dan mulai tercetus ide untuk mendirikan
komunitas Bandung Foodtruck hingga akhirnya berdiri 3 Maret 2014," ujar
Ketua Komunitas Bandung Foodtruck Rezha Noviana.
Awalnya anggota di komunitas
masih beberapa, karena memang pengusaha kuliner yang bergerak di bidang ini
masih jarang. Namun seiring berjalannya waktu ternyata banyak juga pengusaha
kuliner 'foodtruck' di Kota Bandung dan akhirnya bergabung. Saat ini tercatat
ada sekitar 30 anggota di komunitas ini.
Dalam menjalankan aktivitas
berdagangnya, orang-orang di komunitas selalu berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain alias nomaden. Barang tentu kendaraan roda empat mereka
dijadikan sebagai lapak-lapak berjualan.
Untuk menarik para pengunjung
mereka memodifikasi kendaran mereka seunik mungkin. Paduan warna warni yang
meriah menjadi ciri khas mereka. Namun uniknya masing masing memiliki
karakteristik khas masing masing.
Masing-masing anggota komunitas
menawarkan beraneka mulai dari makanan tradisonal hingga modern. Sebut saja
cireng, kue cubit, ketan, susu murni dan beragam produk lain.
Untuk mempermudah pembeli
mengetahui produk yang dijual, mobil-mobil mereka dilengkapi dengan papan nama
yang menjadi ciri khas. Nama-nama itu seperti Wildwings, Dim Sum Soe, Bobogi
drinks & dessert, Bakso Balap, Cuppa Joe Coffe, Breadpit Corner, Cireng
Galing Nyi Sinden dan lainnya.
Masing masing anggota punya ciri
khasnya masing-masing dan produk yang ditawarkan juga berbeda beda., kata
Rezha.
Komunitas Bandung Foodtruck
sering diundang ke berbagai acara tentunya untuk berdagang. Undangan tak hanya
datang dari Bandung tetapi juga hingga ke luar kota seperti Karawang, Cirebon,
Jakarta hingga ke Tegal.
"Jadi kalo ada acara kami
sering konvoi, jalan bareng. Justru serunya di situ kalau ada acara. Dan di
sini meski kami jualan, rasa kekeluargaannya itu terasa sekali," ucap
Rezha.
Untuk memudahkan para pecinta
kuliner menemukan keberadaan mereka, komunitas ini memiliki akun media sosial.
Masyarakat dapat melacak keberadaan mereka di akun media sosial. Untuk twitter
akun @BDGfoodtruck dan untuk instagram bdgfoodtruck.
Ferry Tristianto, Ownernya Floating Market, Tahu Lembang, dan Rumah
Strawberry
Salah satu cara untuk meraih
kesuksesan dalam berbisnis adalah harus bisa menciptakan pasar. Prinsip inilah
yang dipegang oleh Perry Tristianto dalam menjalani kariernya sebagai wirausaha
dan mengantarkannya menikmati kesuksesan sebagai pebisnis.
Mulanya, lelaki kelahiran 57
tahun silam ini tak pernah menyangka bisa menjadi pengusaha sukses. Hal ini
dikarenakan ia memulai karier sebagai karyawan di sebuah perusahaan rekaman.
Karier menjadi pengusaha ia pilih saat dirinya memutuskan mundur dari
perusahaan rekaman tersebut, pada tahun 1988. Padahal, saat itu Perry menjabat
sebagai Presiden Direktur Alpine Record.
Setelah tak memiliki pekerjaan,
Perry memilih berbisnis kaos dengan jaringan yang dimilikinya, antara lain
C-59. Ia kemudian menjual kaos-kaos tersebut di toko kaset se-Indonesia yang
telah mengenal dirinya. "Dulu belum ada kaos yang dijual di toko kaset.
Maka saya jual kaos disana. Hal
ini saya lakukan sebagai salah satu cara untuk menciptakan pasar. Karena, kita
akan sukses apabila bisa menciptakan pasar, bukan memasuki pasar," kata
dia. Tak hanya menjual kaos di toko kaset, Perry juga mencoba peruntungannya
dengan menjual kaos di parkiran Rindu Alam, Bogor sekitar 1988-1990.
Sebelum menjajakan produknya,
Perry terlebih dahulu melakukan riset kecil-kecilan, membaca selera pasar agar
produknya laris manis di pasaran. Saat itu, masyarakat Jakarta lebih banyak
menggandrungi musik Jazz, Perry pun memilih memproduksi kaos bernuansa Jazz.
Tak ayal, kaos produksi Perry pun digemari oleh masyarakat yang datang ke
lokasi wisata tersebut. Meski demikian, rasa malu juga pernah menghinggapi
Perry. Untuk menutupi rasa malu dalam berdagang, ia kerap mengajak pembantunya
saat berdagang di pinggir jalan. "Saya dulunya Presiden Direktur pasti ada
rasa malu. Namun, saya memiliki banyak strategi untuk mengatasi rasa
malu," ungkapnya. Tak hanya menjual kaos di pinggir jalan dan toko kaset,
ayah dua anak ini juga mengembangkan bisnis pakaian di luar kota, seperti
Bekasi, Depok, dan Cimone.
Ia memilih menyewa rumah di
Perumnas sebagai tempatnya berdagang. Kaos yang dijajakan Perry pun sangat
beragam, mulai dari baju kantor, baju tidur, hingga pakaian sehari-hari.
"Saya memiliki 14 tempat dan target pasar saya adalah masyarakat di
perumahan. Ini pasar yang menarik waktu itu karena masyarakat sekitar sangat
nyaman berbelanja di toko saya. Target pasar saya adalah mereka yang memakai
sandal jepit dan berbaju daster. Kalau saya buka di mall, ongkosnya mahal dan
kenyamanan mereka dalam berbelanja berkurang," papar dia. Hebatnya, dalam
menjalankan bisnis tersebut, Perry mengaku tak pernah mengeluarkan modal
banyak. Ia mendapatkan kepercayaan dari supplier. Oleh karena itu, yang paling
penting bagi dirinya adalah menjaga kepercayaan supplier. "Modal awal
usaha memang ada, sekitar Rp 2 juta.
Ibu saya yang pinjam dari
BCA," ungkap dia. Menyulap kawasan Dalam meraih kesuksesannya, pria lulusan
Stanford College, Singapura ini selalu berupaya membuka dan menciptakan pasar.
Ia tak pernah memasuki pasar. Pasalnya, keuntungan yang diperoleh dari
menciptakan pasar akan lebih besar ketimbang memasuki pasar. "Saya lebih
senang menciptakan pasar, karena harga sangat tergantung oleh kita sebagai
konseptor, sebagai pencipta.
Kalau memasuki pasar, maka kita
harus mengikuti harga yang berlaku di pasar," ucap Perry. Tak hanya itu,
ia juga bisa mengubah jalanan yang semula sepi menjadi jalanan ramai. Hal ini
dilakukannya demi untuk menciptakan pasar. "Jangan pernah berjualan di
tempat yang sama atau sudah ramai," ucap dia. Perry berhasil mengubah
jalan Sukajadi yang sepi menjadi ramai dengan jualan factory outlet. Setelah
jalan Sukajadi ramai, ia pindah ke jalan Dago.
Lalu, pindah lagi ke jalan Riau
pasca Dago ramai pengunjung. Ia juga sukses menyulap kawasan Geger Kalong
hingga Lembang di Bandung menjadi tempat yang ramai. Ia mampu mendirikan
Kampung Bakso, Rumah Sosis, Tahu Susu Lembang, Floating Market, dan Farm House.
"Padahal dulunya kalau bersantap kuliner di Bandung hanya ada di daerah
Dago ke atas," kata Perry. Perry mengungkapkan produksi tahu Susu Lembang
buatannya ini sukses digandrungi masyarakat karena produknya terbilang unik.
Perry hanya mencampurkan proses
pembuatan tahu dengan susu yang dihasilkan di Lembang. Harga jual tahu susu
juga lebih tinggi, sebesar Rp 2.500 per buah. Memerhatikan packaging Selain
Tahu Susu Lembang, Perry juga sukses memperkenalkan Tahu Mentega. Padahal,
proses pembuatannya sama dengan yang dilakukan saat membuat tahu sutera.
"Saya hanya mengganti nama produknya saja menjadi Tahu Mentega dari Tahu
Sutera.
Hasilnya, Tahu Mentega laris di
pasaran," cerita Perry. Bisnis Perry berhasil karena ia lebih banyak
menyasar wisatawan yang datang ke Bandung. Hal ini dilakukan karena spending
wisatawan jauh lebih besar ketimbang warga lokal. "Packaging dalam
berbisnis juga adalah hal yang penting. Seperti Rumah Sosis, misalnya.
Packaging-nya adalah rumah.
Sedangkan sosis adalah hal yang
sudah umum. Jeli dalam hal menciptakan pasar, menciptakan brand dan juga
menciptakan packaging yang menarik, ini yang saya lakukan sampai
sekarang," jelas Perrry. Selain itu, packaging yang sukses dilakukan Perry
adalah saat membuat House of Strawberry di Cihanjuang, Bandung.
Ia mengusung konsep memetik
strawberry sendiri dengan harga Rp 45 ribu per kilogram (kg). Padahal,
strawberry dijual di pasar seharga Rp 15 ribu per kg. Konsep yang diusung Perry
ini ternyata laris. Setiap akhir pekan, banyak keluarga yang meluangkan waktu
untuk memetik strawberry.
Reza Nurhilman, Kripik Maicih
Belasan tahun yang lalu, bisnis
di Indonesia dapat dikatakan sulit. Kebanyakan orang masih lebih memilih untuk menjadi pekerja daripada
memiliki bisnis sendiri. Hal tersebut karena kekhawatiran gulung tikar pada
usahanya. Jangankan anak muda, bahkan orang dewasa pun masih kesulitan
mengelola bisnisnya.
Belasan tahun yang lalu bisa
dikatakan peluang bisnis di Indonesia tidak sebaik sekarang. Hal inilah yang
menjadikan kebanyakan orang sekarang bersemangat untuk memilih berbisnis.
Banyak orang Indonesia, utamanya
anak muda yang lebih memilih bersaing dalam dunia bisnis daripada bekerja di
kantoran.
Perkembangan teknologi pun
menjadi sarana yang menggiurkan bagi penggila bisnis. Apalagi dengan adanya
media sosial yang dengan mudah mereka dapat mengiklankan produknya.
Dengan modal niat, kemauan, dan
juga kerja keras menjadikan bisnis orang-orang berkembang pesat. Seperti yang
kini dirasakan oleh Reza Nurhilman, pendiri Maicih yang merupakan perusahaan
keripik singkong pedas terbesar di Indonesia.
Perjalanan Reza Nurhilman Sebelum
Menjadi Presiden Maicih
Reza Nurhilman adalah anak bungsu
dari tiga bersaudara. Ia lahir pada tanggal 29 september 1987 di Bandung. Pria
yang akrab disapa dengan sebutan AXL ini dibesarkan oleh orang tua angkatnya di
Cimahi.
Reza menjadi seorang yang begitu
mandiri, pantang menyerah, dan pekerja keras dalam berbagai hal karena tak
diisi dengan figur ayah sejak ia masih anak-anak.
Masa-masa SMA merupakan masa yang
amat berharga bagi diri reza. Masa permulaan sapaan AXL melekat pada dirinya.
Sebutan AXL dari reza bermula
dari kecintaannya terhadap vokalis Gun ‘n Rose, yaitu Axl Rose. Ia mengenal
band tersebut dan kemudian bergabung dengan kelompok pencinta musik Gun ‘n
Rose.
Pada masa SMA hingga usai lulus,
Reza mengalami banyak perguncangan. Perguncangan yang ia alami bermula dari
tahun 2005 hingga 2009.
Reza yang tidak langsung
melanjutkan kuliah karena biaya yang kurang mencukupi, menjadikannya sosok yang
mandiri. Ia memutuskan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang guna melanjutkan
pendidikannya.
Reza berjuang begitu keras
mengumpulkan modal untuk memulai usaha. Beberapa diantaranya adalah menawarkan
berbagai macam produk-produk elektronik.
Ia menawarkan ke banyak orang
yang ia temui, utamanya teman-teman dan orang-orang yang ia kenal.
Inilah masa dimana ia memasuki
kerasnya pergaulan, hingga proses yang ia jalani menjadikan ia sebagai sosok
yang begitu luar biasa.
Reza berubah menjadi seorang yang
memiliki visi besar dalam hidupnya, ia pun mulai berani untuk memiliki impian
tinggi.
Asal Mula Nama dan Penemuan
Keripik Maicih
Awal mulanya, Reza diajak oleh
temannya ke Cimahi dan mencicipi keripik lada pedas yang dibuat oleh salah
seorang nenek. Saat mencicipinya, Reza merasakan sesuatu yang berbeda dari
keripik buatan nenek tersebut.
Ia menganggap keripik itu enak
dan kemudian mulai menyukainya. Namun sayangnya, keripik buatan nenek tersebut
tidak dipasarkan dan hanya diproduksi ketika ada momen tertentu saja.
Karena itu kemudian Reza
berinisiatif untuk membuatnya sendiri. Ia mulai menggeluti keripik yang dibuat
oleh nenek yang dikenalnya di Cimahi tersebut. Dengan optimis, ia menanyakan
resep kepada sang nenek.
Dan beruntungnya, sang nenek
pembuat keripik tidak keberatan untuk beragi resep keripik lada pedasnya pada
Reza.
Bahkan sang nenek membiarkan Reza
untuk memroduksi dan menjual keripik yang sama dengan resep yang diberinya.
Inilah awal mula keripik Maicih diproduksi oleh Reza.
Tidak ada arti yang begitu dalam
dari nama Maicih untuk keripik produksi pria yang kerap dipanggil dengan
sebutan AXL ini.
Nama keripik ini ada hubungannya
dengan nenek pembuatnya, karena nenek ini terkenal dengan ke-icihannya dengan
selalu memakai ciput di kepalanya.
Ia menamainya dengan Maicih
lantaran nama tersebut nyeleneh dan mudah untuk dilafalkan dan dihafalkan.
Perjalanan Keripik Maicih Reza
Nurhilman
Dengan awal modal 15 juta dari
hasil kerja keras yang ia kumpulkan, Reza AXL memulai usaha keripik lada
pedasnya. Pada tahun 2010, ia bekerjasama dengan produsen keripik pedas di
Cimahi.
Pria kelahiran Bandung ini mulai
memproduksi Maicih hingga sebanyak 50 bungkus per harinya.
Pada saat itu ia memproduksi
keripik singkong pedas dengan beberapa varian level kepedasan 1-5. Tak hanya
itu, ia juga memproduksi bakso goreng untuk ia jajakan.
Reza menjual dan memasarkan
keripik pedas dan bakso gorengnya ini dengan cara berkeliling. Selain itu, ia
juga memasarkannya dengan memanfaatkan akun sosial media dengan hashtag
#maicih.
Semakin lama, keripik singkong
pedas produksi Reza AXL ini semakin berkembang dan dikenal oleh masyarakat.
Bahkan keripik pedas kebanggaannya ini menjadi camilan wajib yang enak.
Dengan semakin banyaknya peminat
yang dimilikinya, akhirnya Reza menaikkan level dari 1-5 menjadi 1-10. Ternyata
cara reza ini berhasil meningkatkan kapasitas produksi keripik pedas Maicihnya
hingga 2000 bungkus per harinya.
Dengan usianya yang dapat
dikatakan masih muda pada saat itu, ia berhasil meraup untuk yang lumayan
banyak dari usahanya.
Keripik Maicih menghasilkan omset
800 hingga 900 juta per bulan. Jika diestimasikan, maka pendapatan Reza per
harinya adalah sebesar 30 juta rupiah per hari.
Pada bulan Juni tahun 2010,
perusahaan berbasis UKM (Usaha Kecil Menengah) didirikan dengan nama CV. 29
Synergi.
Perusahaan ini kemudian
berkembang dan dikenal masyarakat dengan merek dagang “Maicih” pada bulan
Februari tahun 2011. Pada saat itu diliput oleh salah satu acara di stasiun TV
di program Realita Bingkai Berita.
Senjata utama yang Reza dan tim
gunakan untuk pemasarannya adalah melalui akun twitter resmi dari perusahaannya
yang diberi nama @infomaicih.
Pada tahun 2011 pula Reza
Nurhilman mengubah CV menjadi PT sebagai payung hukumnya, dan diberi nama PT.
Maicih Inti Sinergi. Untuk menghindari pemalsuan produk Maicih, maka logo
Maicih pun dipatenkan hak ciptanya.
Strategi Pemasaran Keripik Maicih
Pemasaran Maicih yang begitu
cepat booming tidak terlepas dari strategi promosi penjualan yang dijalankan
oleh Reza Nurhilman. Ia memanfaatkan akun-akun media sosialnya seperti twitter
dan facebook untuk memasarkan dan meraup keuntungan dari produknya.
Dengan menggunakan jejaring
sosial ini ia memberitahu konsumen dimana lokasi keberadaan para jenderal
(agen) keripik pedasnya untuk menjajakan produknya.
Selain itu, ada pula cara unik
yang Reza lakukan untuk memasarkan keripik Maicihnya. Salah satu cara
kreatifnya yang membuat konsumen tertarik adalah dengan jargon khusus ketika
berkomunikasi melewati media sosial.
Khusus untuk pelanggan, mereka akan
disapa dengan sebutan ‘Cucu’ dan istilah bagi produsen keripiknya adalah
‘Emak’.
Reza AXL juga memberikan sebutan
bagi para agen penjualan atau reseller keripik pedasnya yaitu ‘Jenderal’. Para jenderal Maicih melakukan pemasaran
dengan cara direct selling.
Untuk penggemar keripik pedas
maicihnya, ia beri sebutan ‘Ichiers’. Untuk perusahaannya, ia beri sebutan
‘Republik Maicih’. Dan untuk menggambarkan bahwa pelanggan suka dan ketagihan
dengan keripiknya, adalah dengan sebutan ‘Tericih-icih’.
Keberhasilan dan Pencapaian Reza
Nurhilman
Kunci kesuksesan yang diraup oleh
Reza ALX terletak pada bagaimana ia dapat berfikir secara ‘Out of the Box’.
Hal ini terbukti dengan usaha
yang dijalaninya sekarang menjadi bahan perbincangan anak muda yang penasaran
akan rasa keripiknya.
Para jenderal Maicih dibebaskan
untuk berinovasi dalam pemasarannya. Sebelum dinobatkan menjadi jenderal,
ternyata ada ada wawancara yang harus dilewati
di Bandung.
Setelah itu jika lulus akan ada
materi seputar team work, character building, soft skill, dan sebagainya yang
dinamakan Axl Academy (Akademi Jenderal Maicih).
Dengan itu dapat dinilai bahwa
Reza tak hanya mementingkan penjualannya, tetapi juga kualitas sumber daya
manusianya.
Karena ada begitu banyak
kompetitor dengan varian level yang sama, Reza dan tim kemudian menciptakan
varian yang baru.
Selain itu, Republik Maicih juga
aktif menjadi pembicara dalam seminar dan juga workshop, menjadi narasumber di
berbagai media cetak maupun online, dan lain sebagainya.
Keberhasilan reza dengan keripik
kebanggaannya, membuahkan karya. Reza ALX menulis sebuah buku berjudul
‘Revolusi Pedas Sang Presiden Maicih’.
Buku tersebut ia dedikasikan
untuk orang-orang yang berambisi untuk sukses. Ia berharap dapat menginspirasi
anak Indonesia untuk berjuang dalam meraih impian.
Bapak Sjukur (alm.) dan Ny. Sumiwiludjeng, Pasangan Pendiri Brownies
Amkamu
Dari Coba-Coba, Hasilnya Luar
Biasa
Jika berpesiar ke Bandung, tak
lengkap rasanya jika tidak mencoba Brownies Kukus Amanda. Makanan legit nan
empuk itu ternyata hasil karya wanita Jombang, Sumiwiludjeng (69). Dijual
secara sederhana, malah membuat usaha keluarga ini, menggurita hingga memiliki
19 outlet dan empat pabrik dengan produksi lebih dari lima ribu bungkus per
hari.
SEBELUM mengenal Sumiwiludjeng,
banyak yang mengira nama Amanda diambil dari nama si empunya usaha. Padahal,
Amanda merupakan sebuah singkatan dari "Anak Mantu Damai". Itulah
harapan Sumiwiludjeng terhadap keempat anak lelakinya, Joko Ervianto, Andi
Darmansyah , Sugeng Cahyono, dan Rizka Kurniawan, yang dari kecil selalu hidup
rukun.
Agar memudahkan pembeli, nama
Amanda itu kemudian diembel-embeli dengan trademark brownies kukus. Disebut
brownies, karena bentuk fisiknya memang hampir sama dengan brownies. Warnanya
cokelat pekat dan bahan bakunya juga terbuat dari cokelat. Sedangkan kata kukus
ditambahkan karena proses pematangannya dengan dikukus, selain untuk
membedakannya dengan brownies biasa yang dipanggang (oven).
Beragam cerita unik meluncur dari
mulut Sumiwiludjeng ketika Jawa Pos memintanya menjabarkan pengalaman orang
yang sekilas nampak bersahaja ini dalam membangun bisnis.''Saya di sini
(Bandung, red) hanya ikut suami tugas,'' kata wanita kelahiran Jombang, Jawa
Timur, 1 Agustus 1940 itu saat ditemui di Kantor Pusat Brownies Amanda di
daerah Margahayu, Bandung Sabtu (13/2).
Pilihan tinggal di Kota Kembang
itu sebetulnya bukan murni kehendak Nyonya Sumi, panggilan akrab Sumiwiludjeng.
Namun, dia mengikuti penugasan sang suami, Syukur, yang kini sudah pensiun dari
pekerjaan sebagai pegawai PT Pos Indonesia yang kerap dipindah tugaskan.
Awalnya, sang kepala keluarga
tugas di Bogor selama tujuh tahun. ''Itu setelah setelah lulus Akademi Pos,
Telepon, dan Telegram (APTT) dan menikah pada 1964. Setelah itu pindah ke
Bandung, Magelang, dan saat akan pensiun kembali lagi dinas di Bandung,'' kata
anak pertama dari delapan bersaudara ini.
Di setiap kota yang ditinggali
wanita yang memiliki hobi berkebun itu, dia bersama keluarga selalu berusaha
membuka home industry yang memproduksi kue. ''Usaha kue ini saya dirikan
sebenarnya agar bekal ilmu yang saya peroleh dari sekolah jurusan tata boga
tidak sia-sia. Tetapi karena tinggalnya tidak pernah lama, maka (usaha) tak
bisa besar. Setiap mau besar, eh bapak dimutasi,'' kenang nenek enam cucu itu.
Sampai tahun 2.000, menjelang
masa pensiun, sang suami dipindah tugaskan ke Bandung lagi, keluarga pun
diboyong serta. ''Di situ saya kepikiran untuk mulai coba-coba membuka usaha
kue sambil mengisi masa pensiun. Untuk promosi, pada setiap pesanan kue kotak
saya selipkan sepotong brownies kukus dengan resep khusus temuan saya,'' jelas
penyuka rujak cingur ini.
Nyonya Sumi menjelaskan, jika
dimasak dengan dikukus, tekstur brownies menjadi lebih lembut dibanding dimasak
dengan cara yang lazim digunakan orang kebanyakan, yakni dipanggang (dioven).
''Awalnya saya hanya ingin menciptakan kue yang bisa dikonsumsi semua kalangan
dan seluruh tingkatan umur karena empuk dan enak. Ternyata responsnya luar
biasa,'' tutur ibu yang malah tak ingin keturunannya ada yang bernama Amanda
itu.
Saat itu, enam orang karyawan di
dapur rumahnya yang berukuran 3x6 meter sampai kuwalahan memenuhi pesanan yang
mengalir deras. Pada 2002, empat anak laki-lakinya menggagas ide untuk menyewa
lapak bekas warung nasi berukuran 5x6 meter di dekat rumah.
Di tempat baru, antrean pembeli
malah bertambah panjang, berjubel sampai menghambat laju angkot. Setiap hari,
tak kurang dari 500 kardus brownies terjual. Baru setahun kemudian, Nyonya Sumi
memberanikan diri membuka satu cabang dibuka di pusat kota Bandung. Itu untuk
memecah konsentrasi pembeli. Sejak itu, bisnis brownies Nyonya Sumi yang
sebelumnya hanya coba-coba itu malah terus merekah. Kini, ada 19 outlet di
seluruh Indonesia dan empat pabrik di Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Medan,
dengan karyawan 470 orang.
Pabrik-pabrik itu menyuplai
kebutuhan untuk outlet di kota-kota yang jarak tempuhnya sekitar empat jam dari
lokasi produksi. Sebab, brownies hanya bertahan empat hari.
Kini, cita-citanya Nyonya Sumi
saat memberi nama Amanda, agar anak mantunya tetap damai, pun menjadi
kenyataan. Kini, bersama suami, Nyonya Sumi menikmati masa tuanya dengan
bahagia.
Pak Buyung, Martabak San Fransisco
Martabak yang bisa jadi paling
terkenal di Nusantara ini adalah Martabak San Francisco. Martabak yang di klaim
oleh pemiliknya sebagai martabak asli kreasi dari Bandung. Hal itu tidak bisa
dibantah jika kita mengikuti rentang sejarah martabak ini dari awal hingga saat
sekarang. Konon memang awal mula terciptanya martabak itu berawal dari daerah
Jawa Tengah. Perlu dicatat, jenis martabak yang kita kenal ada 2 yaitu martabak
manis dan martabak telor. Untuk martabak telor boleh kita katakan bahwa makanan
ini merupakan kreasi makanan dari India, tidak demikian dengan martabak manis,
martabak jenis ini asli tercipta dari Nusantara. Beberapa catatan sejarah
berikut ini mungkin membantu menguatkan asumsi tadi.
Waktu kita tarik mundur ke
Bandung tahun 60-an. Tepatnya tahun 1965, Bapak Bong Kap Djun alias Pak Adjun
seorang perantau asli Bangka memulai usahanya dengan menjual martabak. Lokasi
pertama dia menjual martabak ini adalah di depan kantor PLN, Jl. Asia Afrika,
Bandung. Awal mulanya martabak ini disebut kue ekonomi. Disebut demikian karena
proses pembuatan dan hasilnya yang sangat sederhana, kue ini hanya berbentuk
bulat dengan ditaburi gula pasir dan kacang di atasnya. Penyajiannyapun sangat
sederhana, dengan dibungkus kertas koran saja. Dikarenakan sudah ada 3 orang
yang berjualan kue ekonomi, Pak Adjun berpindah lokasi berdagang ke Jl. Gatot Subroto,
Katapang Bandung dan memulai semua kreasinya di sini.Warna Nusantara
Terilhami oleh lagu Scott
McKenzie yang berjudul “San Francisco,” pada tahun 1967 kue ekonomi ini berubah
nama menjadi Martabak San Francisco. Dengan memakai nama ini si kue ekonomi
yang alakadarnya berubah menjadi kudapan yang mahal. Tentu saja berubah dari
rasa, penampilan hingga penyajiannya. Atas kreatifitas Pak Adjun yang memasukan
bahan-bahan seperti mentega, keju, coklat dan kacang, martabak ini benar-benar
berubah menjadi seperti martabak yang kita nikmati sekarang. Bahkan di tahun
80-an Martabak San Fransisco berhasil membuat kreasi martabak tipker alias
tipis kering. Jenis martabak ini berbentuk seperti yang kita kenal dengan
sebutan “crepes.” Alat memasaknya pun berubah dari menggunakan arang hingga
akhirnya membuat kompor dengan bahan bakar gas hasil inovasi sendiri.
Kompor-kompor jenis ini yang umumnya dipakai oleh penjual-penjual martabak
hingga sekarang. Kemasanpun berubah dengan menggunakan box kardus.
Untuk mengimbangi martabaknya
yang manis, pada tahun 1973 Pak Sugianto / Iyang menciptakan martabak asin yang
notabene merupakan pengembangan dari makanan india. Pengembangan ini dengan
berupa memasukan cincang daging kedalamnya. Karena pada waktu itu berjualan
pempek juga, kadang-kadang kuah pempek yang mudah basi itu ditawarkan ke
pelanggan-pelanggannya agar tidak mubazir. Ternyata si kuah pempek ini sangat
diminati oleh pelanggannya untuk dinikmati dengan martabak asin walaupun ciri
khas dari Martabak Asin San Francisco adalah saos dan acarnya. Nah disinilah
sejarah martabak telor dengan kuah model pempek berawal. Khusus untuk ini
sejarahnya bersambungan dengan munculnya istilah “Martabak Bangka.” Istilah ini
dimunculkan pertama kali oleh saudara-saudara Pak Adjun yang asli Bangka.
Seperti pada umumnya, Pak Adjun mempekerjakan sanak keluarganya untuk berusaha
martabak ini, ketika mereka sudah bisa berdikari akhirnya membuat usaha sendiri
dengan menamakan dirinya Martabak Bangka. Salah satu ciri khas martabak ini
adalah menggunakan kuah pempek sebagai pelengkap martabak asin. Bahkan
mantan-mantan karyawan Pak Adjun yang berasal dari Jawa kembali ke daerahnya
berjualan martabak dengan menggunakan istilah “Martabak Bandung / Martabak
Bangka”. Akhirnya menyebarlah si martabak ini ke mana-mana.Warna Nusantara
Pada tahun 1970 lokasi Martabak
San Fransisco berpindah ke Jl. Burangrang tepatnya Bakso Malang Enggal
sekarang. Tempat ini menjadi model pujasera modern saat ini. Pada waktu itu Pak
Adjun mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk membuka usaha di sana dalam
rangka mengisi kekosongan tempat. Tempat ini menjadi pujasera pertama di
Bandung bahkan di Indonesia. Dikarenakan hanya Martabak San Francisco yang
memiliki kreasi dan enak, maka usaha martabak ini semakin ramai. Hingga
akhirnya si martabak terkenal hingga ke luar kota dengan nama yang
berbeda-beda. Di Semarang martabak ini terkenal dengan nama Kue Bandung, di
Surabaya terkenal dengan nama martabak terang bulan.Warna Nusantara
Sempat berpindah tempat lagi ke
Jl. Karapitan, kemudian Jl. Lodaya tepatnya Ayam Goreng Soeharti hingga
akhirnya di awal 90-an Martabak San Francisco berlokasi di Jl. Burangrang No.
42, posisinya hingga sekarang. Hingga saat ini terus berkreasi dengan menu-menu
baru salah-satunya Martabak Green Tea, Martabak Cungky Bar, Martabak Tiramisu
dan lainnya. Untuk harga tentu saja sepadan dengan bahan-bahan yang digunakan.
Untuk bahan ini Pak Buyung, salah satu anak Pak Adjun yang meneruskan usahanya
selalu menggunakan bahan nomor 1. Seperti salah satu contohnya adalah gula yang
digunakan rendah kalori. Untuk dus yang digunakan pun adalah dus yang aman bagi
kesehatan bahkan si dus ini kuat dipanaskan di dalam microwave. Tinta yang ada
dalam dus juga terbuat dari bahan soya jadi kalaupun luntur, akan aman dikonsumsi.
Jadi jangan aneh jika hingga saat ini kita harus mengantri nomor jika ingin
membeli martabak ini.
Pada saat ini Martabak San
Francisco dikembangkan dengan konsep waralaba oleh Pak Buyung. Konsep waralaba
ini sudah dikembangkan dari tahun 2011 hingga saat ini sudah membuka tempat di
Depok, BSD, Bintaro, Cibubur, Kelapa Gading hingga Pakanbaru. Khusus untuk
waralaba ini memang dibuka khusus untuk daerah di luar Bandung. Selain itu ada
brand yang lebih ekonomis dengan nama “Kue Bandung Mr. Buyung.” Sudah berkonsep
lebih modern namun tetap Pak Buyung selalu ingat akan akar rumputnya dan
catatan sejarah dari martabak ini beliau abadikan di gerainya dan di box-box
kemasan martabak. Mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah.
Demikian cerita singkat tentang
martabak ini. Walaupun sebelumnya sudah ada, namun untuk martabak modern
seperti sekarang ini merupakan hasil inovasi dan berkembang di kota Bandung.
Bisa kita bilang juga bahwa Bapak Bong Kap Djun dengan Martabak San
Francisco-nya adalah Bapak Martabak Modern di Nusantara.
Asep Syafrudin, Sate Hadori
Asep Syafrudin (kanan) sedang
mengawasi karyawannya membuat sate. Asep sukses mengembangkan rumah Makan Sate
Hadori hingga dikenal luas masyarakat.
Mempertahankan manajemen
tradisional dan pemasaran dari mulut ke mulut menjadi kunci Asep Syafrudin
membesarkan usaha rumah makan sate milik keluarga.Ditangan Asep,rumah makan
Sate Hadori semakin berkembang dengan terus membuka cabang.
rumah makan Sate Hadori berdiri
sejak zaman Belanda di Kota Bandung, Jawa Barat. Sempat berpindah-pindah, rumah
makan ini kemudian menetap di kawasan Terminal Stasiun Hall. Hingga kini sate
ini terus digemari pencinta kuliner tanah Air, bahkan mancanegara. Meski sudah
terkenal, Asep tetap bekerja keras dalam mengelola bisnis ini. Menariknya, pria
yang kini dikenal sebagai Asep Hadori ini sempat enggan untuk menangani bisnis
makanan tersebut. “Begitu dapat ijazah,saya pamit kepada kedua orang tua untuk
melamar kerja di tempat lain,” tuturnya.
Berharap mendapat izin, ayahnya
justru mempertanyakan.“ Mengharapkan apa kerja di tempat lain? Di sini juga
kamu dapat uang dan ada nilai plusnya, yakni membahagiakan orang tua,”kata
sarjana hukum lulusan Universitas Islam Nusantara ini. Sejak itu,Asep bertekad
menekuni pekerjaan di rumah makan milik keluarganya.Dia kembali memotong
daging, menusuknya satu per satu, mengolah bumbu khas, membakar, hingga
menyajikan kepada pelanggan. Namun, lantaran banyaknya anggota keluarga,anak
keenam dari tujuh bersaudara ini lebih sering mendapat tugas di bagian
pemasaran.
Bukan promosi melalui billboard,
flyer,atau jejaring sosial yang sedang tren saat ini,Asep memilih menggunakan
cara tradisional untuk menambah pelanggan. “Hingga sekarang saya masih
menggunakan konsep mouth-to-mouth. Orang-orang yang saya kenal di mana pun saya
beri tahu tempat ini. Selain itu, tanpa diminta, para pelanggan juga
menyebarkan perihal Sate Hadori ini,” ujar suami dari Dewi Purnama ini.
Pemasaran dari mulut ke mulut ternyata efektif. Sate Hadori semakin kukuh
sebagai makanan favorit di tengah maraknya varian kuliner di Kota Bandung.
Selain pemasaran dan promosi
secara tradisional, ketenaran Sate Hadori tidak lepas dari ide perluasan
jaringan yang dikembangkan Asep. Dengan bantuan permodalan dari Bank BRI, Asep
membuka sejumlah cabang Sate Hadori di Kota Bandung.“Huruf R di tengah BRI itu
berarti rakyat, saya sangat tertarik bekerja sama dengan mereka agar ide
membuka cabang Hadori terlaksana,”katanya. Cabang Sate Hadori pun berdiri
antara lain di Jalan Sersan Bajuri, Ir H Juanda, Cihampelas, dan Cibiru.
“Memang awalnya cabang sulit
berkembang karena orang-orang masih memburu Sate Hadori di pusat, yakni di
Stasiun Bandung. Tapi dalam rentang satu hingga dua bulan, cabang mulai
kewalahan melayani permintaan,”kata dia. Menurut dia,setiap hari tak kurang
dari 2.000 tusuk sate dari daging domba, kambing, dan ayam segar diborong
pembeli. Asep mengakui harga per tusuk Rp2.700, lebih mahal dibandingkan sate
yang dijual di tempat lain,tetapi soal rasa dia menjamin kelezatannya.
Hadori mengatakan, selain
mendapatkan pinjaman modal, kemitraan dengan Bank BRI juga menjadikan dia dapat
membuka jaringan yang lebih luas. “Rencananya BRI akan mensponsori saya agar
membina usaha kecil menengah (UKM) se-Kota Bandung,”ujarnya. Ketua Kuliner Boga
Kota BandunginiberharapBRIdapat memberikan lebih banyak dukungan agar rencana
pengembangan cabang di tiap kota dapat terwujud. Asep mengakui permodalan dari
Bank BRI sangat menguntungkan, terlebih memperolehnya cukup mudah.
Dari kerja sama ini, rumah makan
Sate Hadori semakin dikenal luas masyarakat. Maida, 27,salah satu pelanggan
rumah makan Sate Hadori, mengakui kelezatan sate tersebut.“Bumbu kecap yang
ditaburi potongan cabai dan irisan bawang merah ternyata menggunakan saus
inggris,rasa mentolnya itu yang aku favoritkan.” Sate Hadori juga menjadi
jujugan sejumlah artis, pengusaha, dan pejabat negara. “Yang paling berkesan
saat band legendaris God Bless datang menikmati sate kami,” ungkap Asep. Dia
menyebutkan, penyanyi Rhoma Irama, Wali Kota Bandung Dada Rosada termasuk
pelanggan setianya.
“ Bahkan Wakil Gubernur Jawa
Barat Dede Yusuf kami dengar selalu mempromosikan di tiap pidatonya di daerah
lain,” kata ayah dua anak ini tersenyum bangga. Sate Hadori juga telah lama
menjadi jamuan tamu-tamu Istana Kepresidenan, Bogor, setiap 17
Agustus.Bahkan,Sate Hadori pernah menjadi jamuan utama bagi Presiden Amerika
Serikat Ronald Reagan. Tidak hanya di dalam negeri, kelezatan Sate Hadori juga
terdengar hingga ke luar negeri.Sate Hadori sejak lama menjadi daya tarik para
wisatawan asing,terutama asal Singapura dan Malaysia.
“Begitu turun dari Bandara Husein
Sastranegara, taksi-taksi sering diminta langsung mencari Sate Hadori dekat
Stasiun Bandung,” ujarnya. Asep bahkan pernah diundang Wali Kota Suwon,Korea
Selatan, pada 2011 lalu untuk tampil di festival makanan terenak se-Asia.
Menurut dia, Hadori disejajarkan dengan kebab Turki, sushi Jepang,dan makanan
lain asal Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
“Yang dipanggil dari Indonesia
bukanlah sate, tetapi Hadorinya,” kenang Asep. Di Negeri Ginseng itu, terjadi
antrean pengunjung hingga ratusan meter untuk dapat menikmati Sate Hadori.
“Sayangnya sepekan di sana banyak sekali yang komplain, bukan soal rasa, tapi
karena tidak kebagian merasakan,” kelakar dia. Menurut pengusaha sukses ini,
tidak ada yang istimewa dalam mengembangkan bisnis kuliner ini.Dia mengaku
hanya mempertahankan manajemen tradisional dan kekeluargaan meskipun
karyawannya kini berjumlah 70 orang.
“Meski memasuki era modern, kami
tidak punya kasir, tetapi kepuasan yang dirasakan tamu menjadikan mereka jujur
membayar,”paparnya. Selain kesederhanaan, dia juga menganut filosofi “tamu
adalah raja” di rumah makan Sate Hadori. “Maka tamu diperlakukan sangat
spesial,makanan yang diberikan adalah yang terbaik dan enak menurut kita. Kalau
tidak enak, tidak akan diberi,”tegas dia.
Asep optimistis bisnisnya terus
akan berkembang.“Dengan bantuan Bank BRI, saya merencanakan Sate Hadori dapat
dipasarkan di tiap kota di Indonesia,bahkan ke beberapa negara untuk membawa
Hadori go international,”pungkas pria yang telah menunaikan haji tiga kali ini.
(*/koran Sindo)
Lily Josana, Warung Kopi Purnama
BAGI penikmat kopi, jangan kecewa
jika jalan-jalan ke Bandung dan tidak menemukan kedai atau warung kopi seperti
di Aceh, Makasar, atau Ambon. Bandung memang bukan kota penghasil kopi meski
pun Bandung punya kopi yang legendaris, yaitu Kopi Aroma.
Akan tetapi jangan khawatir, ada
satu Warung Kopi sangat legendaris dan layak untuk dijadikan tempat singgah
jika jalan-jalan ke Bandung, namanya Warung Kopi Purnama (WKP). Lokasinya ada
di kawasan pusat Kota Bandung, tepatnya di Jalan Alkateri No. 22 Bandung.
Hampir setiap pagi atau sore hari
warung kopi ramai pengunjung. Saya sendiri kalau sedang berada di tengah kota,
baik sedang sendirian, bersama teman-teman atau keluarga sesekali berkunjung ke
sini, sekadar untuk menikmati segelas Kopi Susu dan Roti Bakar Srikayanya. Dua
menu itu sejak warung ini berdiri memang jadi menu yang paling dicari.
Meski pun warung kopi selalu
identik dengan orangtua, Warung Kopi Purnama tidak demikian, bisa dinikmati
oleh siapa pun termasuk anak-anak. Terakhir berkunjung ke sana, minggu lalu,
saat sedang ada aktivitas di seputar alun-alun Bandung.
Berdiri Sejak 1930
Hebat sekali, apa nggak capai
berdiri sejak tahun 1930 hingga tahun 2015? Seloroh hati saya setiap kali
memasuki pintu warung kopi purnama yang tidak pernah berubah, tetap
mempertahankan bangunan khas kolonial.
Letak Warung Kopi Purnama memang
berada di daerah pecinan lama di Bandung, tepatnya di distrik perekonomian yang
dibangun pada masa Belanda. Pertokoan di sana hampir semua mempertahankan
bangunan lama, kalau pun berubah mungkin sekadar mengganti warna cat atau
menambal tembok yang terkelupas.
Begitu masuk ruangan, saya
mencari tempat duduk di pojok supaya lebih nyaman menikmati kopi susunya. Ada
beberapa orang tua keturunan Tionghoa yang sepertinya sedang santai di pojok
lainnya. Aroma Tionghoa Melayu memang sangat kental di ruang depan. Lihat saja
jendela besar di samping kiri kanan pintu yang diberi teralis kayu mengingatkan
bangunan-bangunan khas melayu.
Kemudian lampu-lampu bulat yang
menggantung dari atap, meja, kursi, hingga lemari tempat memajang beberapa
cemilan, yang mengelilingi kasir pun terasa sekali aroma melayunya.
Pada dinding-dinding bergantung
foto-foto bangunan tempo dulu yang mengingatkan sejarah Kota Bandung. Beberapa
kliping liputan media yang difigura hingga beberapa kertasnya sudah memudar
dimakan usia.
Beberapa saat kemudian pramusaji
menyodorkan daftar menu yang sudah saya hafal betul harga-harganya. Sekarang
harganya naik sedikit, tetapi tidak apa-apa demi secangkir Kopi Susu Khas
Warung Kopi Purnama.
Saya memesan Kopi Susu dan Roti
Kukus Selai Nanas, sementara kedua anak saya memilih Jus Jambu, Cokelat Hangat,
dan masing-masing Roti Kukus Selai Cokelat. Sebagai penetral rasa manis, saya
pesan Teh Tubruk.
Kopi Bandung Rasa Medan
Warung Kopi Purnama kini dikelola
oleh pengusaha generasi ketiga, namanya Lily Josana yang mendapat warisan dari
ayahnya, Allen Josana. Warung awalnya didirikan kakek Lily, Young A Tong pada
tahun 1990. Saat pertama kali berdiri namanya Ching Sang Shu (Bahasa Khek) yang
artinya “Silahkan Mencoba”.
Pertama kali didirikan bukan di
Bandung, melainkan di Medan, Sumatra Utara. Pada tahun 1960-an, seiring dengan
kebijakan pemerintah pada saat itu, nama warung diganti menjadi Warung Kopi
Purnama.
Sempat pindah ke Jakarta selama
beberapa tahun, baru kemudian pindah ke Bandung, tepatnya di Jalan Oto
Iskandardinata, baru kemudian pindah pecinan lama, tepatnya di Jalan Alkateri
no. 22 Bandung hingga sekarang.
Berdasarkan pengalaman sang
Kakek, dahulu orang Medan kalau minum kopi pada pagi hari pasti ditemani roti,
maka Warung Kopi Purnama pun menyediakan roti kukus selain kopi sebagai menu
utama. Lambat laun, pengunjung warung ketagihan dengan Kopi Susu dan Roti Kukus
Selai Sirkaya. Jadilah, kedua menu tersebut primadona hingga sekarang.
Rasa kopi susunya memang sangat
berbeda, tidak seperti kopi susu pada umumnya yang kadang tidak nge-bland
antara kopi dan susunya. Begitu dicoba, sruputan awal rasa pahit dan sepat
kopinya cukup terasa. Sruputan berikutnya bikin kita melayang di udara.
Rahasia kenikmatan kopi susu di
warung kopi purnama, salah satunya karena kopinya yang digiling sendiri itu
langsung dibeli dari Medan. Warung membeli kopi pilihan pada penyedia kopi
langganan yang sama sejak warung berdiri.
Biji-biji kopi tersebut kemudian
disimpan terlebih dahulu untuk menciptakan aroma yang sangat kuat. Setelah itu
biji-biji kopi digiling dengan penggilingan yang sama, yang digunakan sejak
jaman dulu kala. Penggilingan dilakukan secara khusus di rumah kediaman Lily.
Cara menggiling yang berbeda menjadi rahasia warung hingga sekarang.
Lyli punya resep khusus dalam
menyeduh kopi supaya membuat peminumnya ketagihan. Setelah gelas yang berisi
bubuk kopi dituang air mendidih, dibiarkan beberapa saat hingga ampasnya
mengendap. Setelah ampasnya mengendap, air seduhan tersebut direbus kembali,
baru kemudian air rebusan tersebut disajikan.
Sementara rahasia kelezatan Roti
Selai Sirkayanya ada pada gula merah yang digunakan. Ini sudah menjadi resep
turun temurun. Selain itu, selai Sirkayanya tanpa bahan pengawet. Di kasir
dijual juga selai sirkaya yang bisa dibeli untuk oleh-oleh.
Selain Roti Selai Sirkaya, Roti
Gulung Telur Sosisnya juga menjadi salah satu favourite pengunjung warung yang
buka mulai pukul 06.30 hingga pukul 22.00 ini. Terkadang, pagi-pagi sekali
pelanggan sudah antre untuk sarapan di sini. Selain itu, masih banyak menu-menu
lain yang bisa dipilih pengunjung.
Oh iya, sekarang ini di bagian
belakang yang dahulu taman telah direnovasi dan dijadikan bangunan untuk
pengunjung bebas rokok. Pengunjung yang membawa keluarga bisa nyaman
makan-makan di sini. Belum lagi sekarang sudah ada wifi sehingga makin betah
nongkrong di sini.
Tak terasa, sore mulai menjelang,
saya segera menghabiskan sruputan terakhir kopi susu yang saya pesan. Rasanya,
tak ingin setetes pun tertinggal di cangkir, walau cangkirnya cangkir biasa,
sama seperti cangkir-cangkir di rumah, tidak seperti cangkir-cangkir yang
digunakan di café-café kopi modern yang mulai menjamur di Bandung. Selamat
minum kopi kawan!
Jodi Janitra, Bober Cafe
Kota Bandung memberikan daya
tarik tersendiri bagi mereka yang ingin mengembangkan usaha kafe.
Kuatnya daya tarik Bandung itu
dapat dilihat dari hadirnya beragam kafe dengan keunikan masing-masing, untuk
mengundang minat segmen pasar mereka yaitu anak muda.
Asosiasi Kafe dan Restoran, AKAR,
Kota Bandung pun mencatat hingga saat ini terdapat sekitar 2.000 usaha kafe dan
restoran hadir di kota yang menjadi surga belanja tersebut.
Sayangnya, tidak semua bisnis
kafe dapat bertahan di kota kembang ini.
Seperti dikatakan CEO Bober Cafe
Theo Faybriean, setiap bisnis atau usaha tentu memiliki faktor keberuntungan
yang berbeda-beda. Faktor daya tarik atau magnet menjadi hal yang tak bisa
diabaikan.
Bober Café, yang salah satu
cabangnya berada di Jalan Sumatera, Bandung, termasuk yang memiliki magnet
tersendiri.
Kafe ini nampak silih berganti
dikunjungi para anak muda, bahkan oleh mereka yang hanya duduk mengobrol dan
menikmati segelas kopi hangat.
Bober alias Bojong Koneng Bersatu
berawal dari suatu hangout places yang terletak di Jalan Riau 123, Bandung,
sejak 2004 lalu.
Di tempat ini, sahabat Theo yang
bernama Jodi Janitra (CFO Bober Cafe) menjadi perintis awal Bober dengan modal
pas-pasan.
Saat itu, ia mencoba menumpang
tempat pada keluarganya yang menjalankan bisnis kue kering.
Setahun berkembang, Bober Cafe
menjadi satu-satunya kafe di Bandung yang menyediakan dan menjadi pencetus
kepopuleran seesha smoking.
Namun, kesibukan Jodi membuat
Bober yang berkembang cukup pesat dalam waktu dua tahun sempat mengalami sales
drop.
Padahal, saat itu Bober telah
berhasil memiliki karyawan hingga 30 orang.
Pada momen itulah, kehadiran Theo
sebagai pemilik saham baru dan menjadi mitra berbisnis Jodi, bagaikan angin
segar bagi perjalanan Bober.
"Bermodalkan motivasi, jika
memang pohon bisnis ini bisa berbuah kembali maka akan kami syukuri. Namun jika
sebaliknya, nothing to lose," kata Theo saat ditemui Bisnis di Bober
Tropica.
Dibutuhkan waktu sekitar satu
tahun untuk mengembalikan nyawa Bober Cafe yang dinilainya sempat hilang.
Menurut Theo, apa yang
dilakukannya adalah hanya memotong daun-daun yang terserang hama pada pohon
bisnis yang ditanam sahabatnya tersebut.
Dia hanya mencoba meniupkan ruh
pada bisnis patungan tersebut dan melakukan sesuatu yang memang dibutuhkan
Bober secara khusus pada saat itu.
Teori berbisnis yang coba
diterapkan Theo sama seperti pebisnis lainnya yaitu Quality, Service, and
Cleanliness atau QSC.
Namun, menurut Theo, tiang
keberhasilan dari teori tersebut adalah konsistensi dalam pelaksanaan dan juga
faktor keberuntungan yang lebih senang disebutnya x-factor.
X-factor pada Bober Cafe adalah
para komunitas.
Profesi Theo yang saat itu
sebagai penyiar salah satu stasiun radio di Kota Bandung menjadi faktor
pendukung.
Profesi Theo saat itu membuat
dirinya mendapat perhatian dari banyak anak muda, khususnya para anggota
komunitas, untuk mampir ke Bober Cafe.
"Banyaknya pendengar pada
setiap program acara yang saya siarkan di radio menjadi suatu kemudahan untuk
mempromosikan Bober," ujar Theo.
Bober benar-benar menjadi tempat
hangout asik yang mewadahi kegiatan berbagai komunitas yang ada di Bandung
dengan segala fasilitas yang ada seperti panggung dan layar.
Grup band indi diberi kebebasan
untuk manggung di tempat tersebut dan menghibur pengunjung.
Begitu pula komunitas para
pencinta klub bola dengan ribuan pesertanya yang secara rutin biasa menggelar
acara nonton bareng.
Tak hanya itu, Bober juga menjadi
kafe yang mengantarkan program stand-up comedy booming dan membuat Kota Bandung
jadi barometer bangkitnya program tersebut.
Bekerja sama dengan Raditya
Dhika, Bober menghidupkan open mic stand-up comedy yang sebelumnya biasa di
lakukan di kafe daerah Kemang, Jakarta, puluhan tahun lalu.
"Saat awal-awal program ini
kami hadirkan kembali, tidak ada transaksi bisnis antara Bober dan Raditya
Dhika karena injeksi atas visi menghidupkan stand-up comedy ini murni dengan
hati alias bukan dengan uang,"
Keberhasilan Theo menjadikan
Bober sebagai wadah komunitas ini tidak percuma karena di awal masa
transformasinya, Bober berhasil mencatat peningkatan omzet hingga 3 kali lipat.
X-factor atas keberhasilan Bober
ini masih terus dipertahankan Theo sebagai resep pengembangan Bober yang tidak
dimiliki oleh kafe lainnya, bahkan hingga saat ini.
Pameran lukisan, NGADUIde
(Ngobrol Asik Dunia Usaha dan Ide), belajar menulis bersama Pidi Baiq,
Komunitas Jazz, termasuk open mic stand-up comedy, dan berbagai kegiatan dari
komunitas lainnya masih terus aktif digelar secara rutin di Bober.
Ngopi Doeloe Cafe
Ngopi doeloe adalah perusahaan
yang bergerak dibidang jual beli makanan dan minuman. Ngopi doeloe didirikan
pada tanggal 26 september 2006 yang pertamakali membuka usahanya yang beralamat
di jalan purnawarman no 6-8, latar belakang berdirinya café ngopi doeloe adalah
kebangkrutan yang di alami oleh pemilik perusahaan dimana usaha restoran yang
dimilikinya sepi pelanggan, dengan modal seadanya dan dengan jumlah karyawan
sebanyak empat orang karyawan pihak pemilik membuka awal usahanya dengan konsep
awalnya hanya menjual minuman yang berbahan dasar kopi dengan harga yang murah,
seiring berjalannya waktu dan makin banyak dikenal oleh banyak orang maka
banyak permintaan dari para pelanggan yang mengusulkan agar pihak manajemen
menjual beberapa makanan agar pada saat mereka berada di café tidak hanya
sekedar minum saja tetapi mereka juga bisa memesan makanan, dengan hanya
kapasitas tempat duduk sebanyak tigapuluh tempat duduk manajemen ngopi doeloe
mulai kewalahan dalam melayani pelanggan yang kian bertambah, maka dari itu
pihak ngopi doeloe mulai memikirkan untuk membuka cabang agar bisa lebih
mengembangkan usahanya.
Pada awal februari 2007 ngopi
doeloe membuka cabangnya yang ke dua yang terletak di jalan Hasanudin nomor 7,
pada saat pembukaan cabang ke dua manajemen ngopi doeloe mulai menjual makanan
dan minuman yang lebih beraneka ragam mulai dari makanan pembuka, makanan utama
sampai makanan penutup, semakin banyaknya pelanggan yang tau keberadaan ngopi
doeloe yang menjual makanan dan minuman yang murah maka cabang ke dua semakin
ramai di kunjungi dan pada akhirnya manajemen ngopi doeloe membuka cabang yang
ke tiga yang teerletak di jalan Teuku umar nomor 5, dengan banyaknya pelanggan
maka bertambah pula keuntungan perusahaan sehingga modal yang dimiliki
bertambah kuat da pada akhirnya ngopi doeloe yang pada saat ini dari tahun 2006
sampai 2012 telah memiliki sepuluh cabang perusahaan, dengan memiliki banyak
perusahaan tentunya banyak juga menyerap tenaga kerja yang kini jumlah
keseluruhan karyawannnya mencapai sekitar tiga ratus orang karyawan.
Berikut daftar cabang ngopi
doeloe café
1. Jl Purnawarman No 6-8
2. Jl Hasanudin No 5
3. Jl Teuku Umar No 7
4. Jl Burangrang No 27
5. Jl Ranggamalela No 8_10
6. Jl Dago No 57
7. Kings Shoping Center lantai 3
8. Jl Buah Batu No 146
9. Jl Transyogi cibubur
10. Jl halimun No 2
Ibu Murniati - Es Teller 77
SEJARAH
Siapa yang tak kenal dengan
produk es teller 77, ratusan gerainya sudah tersebar di seluruh nusantara.
Tidak puas dengan mempertahankan pasar dalam
negeri, kini produk es teller 77 merupakan salah satubisnis franchise
makanan yang berhasil merambah pasar internasional. Produknya sudah menjangkau
pasar luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia, serta masih akan
terus dikembangkan untuk membuka gerai berikutnya di India, Jeddah dan Arab
Saudi.
Pada tahun 1981, seorang Ibu
bernama Murniati Widjaja memenangkan lomba membuat Es Teler di Jakarta. Bermula
dari lomba inilah, timbul sebuah gagasan untuk membuka warung tenda sederhana
di pelataran teras sebuah pertokoan (Duta Merlin, sekarang Carrefour Harmony)
di kawasan Jakarta Pusat.
Warung sederhana dengan nama Es
Teler 77 ini merupakan usaha keluarga yang ditangani langsung oleh Ibu Murniati
sendiri bersama suaminya Trisno Budijanto, anak dan mantunya, Yenny Setia
Widjaja dan Sukyatno Nugroho.
Pada tahun 1987, Sukyatno Nugroho
mewaralabakan Es Teler 77 yang dengan ini merupakan usaha makanan cepat saji asli
Indonesia pertama yang menerapkan sistem waralaba.
Mengikuti perkembangan tren gaya
hidup, pada tahun 1994, seluruh gerai Es Teler 77 dipindahkan dari kios ke mal
dan plasa. Kehadiran Es Teler 77 di arena pusat perbelanjaan modern ini
memperluas wawasan kuliner Indonesia, di mana Es Teler 77 memperkenalkan konsep
makanan cepat saji (fastfood) yang menyajikan makanan dan minuman jajanan
populer Indonesia.
Setelah beberapa tahun kemudian
Ibu Murniati Widjaja dan keluarganya mendirikan badan usaha swasta bernama CV
ES TELER 77 yang kemudian menjadi dasar bisnis keluarga ini. Perusahaan ini
dipimpin oleh Bapak Trisno Budijanto dan dikelolah oleh putra-putrinya.
Perusahaan ini kemudian berkembang dengan membuka beberapa cabang ES TELER 77
lainnya di wilayah Jakarta. Meskipun demikian ES TELER 77 sebagai produk lokal
Indonesia seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh pihak pemilik
tempat atau manajemen gedung yang seringkali lebih mementingkan perusahaan
dengan merek-merek asing. Tetapi perusahaan ES TELER 77 tidak pernah menyerah.
Sebaliknya mereka lebih bersemangat lagi. Setiap kali mereka harus menutup
salah satu restorannya, mereka bertekad untuk membuka lima cabang baru ES TELER
77. Dengan komitmen ini timbul ide untuk menggunakan sistem waralaba atau
franchise untuk memperluas jaringan usaha ini.
Pada tahun 1987, cabang ES TELER
77 pertama yang dibuka oleh seorang franchise atau mitra kerja dibuka di Solo,
Jawa Tengah. Sejak itu banyak anggota masyarakat dari berbagai kalangan yang
tertarik untuk membuka ES TELER 77. Dengan menggunakan sistem franchise ini
banyak outlet-outlet baru ES TELER 77 yang dibuka di kota-kota seluruh
Indonesia. Sampai di Banda Aceh maupun Sampit pun ES TELER 77 sudah pernah
dibuka. Perkembangan ini tentunya tidak mudah tercapai dan banyak hal-hal yang
harus dipelajari oleh tim manajemen ES TELER 77. Untungnya, tim manajemen ES
TELER 77 yang dipimpin oleh Bapak Sukyatno Nugroho, mantu tertua Ibu Murniati,
siap untuk bekerja keras, terus memperbaiki dan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman
mereka sendiri. Sampai akhirnya, mereka sendiri pun jadi ahli dalam sistem
franchise ini.
Johny Andrean - J.Co
Seperti apa kisah sukses Johnny
Andrean? Mengapa kesuksesannya bisa mencakup tiga usaha besar J.CO Donuts &
Coffee, BreadTalk dan Johnny Andrean Salon? Kali ini Finansialku akan membahas
kisah sukses Johnny Andrean pendiri J.CO & Coffee Donuts, BreadTalk dan
Johnny Andrean Salon.
Merintis Bisnis Salon di
Perantauan
Johnny Andrean adalah seorang
pengusaha franchise ternama di Indonesia. Tiga perusahaan besar miliknya adalah
J.CO Donuts & Coffee, BreadTalk dan Johnny Andrean Salon. Ketiga bisnis ini
dimulai Johnny Andrean dari nol. Artinya, beliau sendirilah yang menjadi
pendiri sekaligus pionir pembentukannya sejak awal.
Bisnis awal Johnny Andrean adalah
salon. Salon itu dibuat pertama kali pada tahun 1980-an di bagian ujung Jakarta
Utara. Usaha salon dipilihnya karena bekal skill yang diajarkan oleh ibunya.
Membuat salon baru pada zaman itu tentunya bukan hal mudah. Ada lika-liku
tersendiri yang menjadi batu sandungan bagi Johnny Andrean.
Masalah yang pernah dialaminya
adalah cara mempertahankan para pekerja di bidang hair stylish agar tidak
pindah ke salon lain. Hal ini sangat penting karena tidak mudah untuk
mempertahankan pekerja jika persaingan di satu bidang sangat ketat. Selain itu,
terdapat pula masalah yang sangat besar yakni krisis moneter tahun 1998.
Penjarahan terjadi di 19 titik cabang salon Johnny Andrean pada bulan Mei 1998
sehingga banyak kerugian yang diperolehnya. Namun, ia selalu optimis dan
membangun kembali bisnisnya hingga sukses.
Kesuksesan BreadTalk
Setelah Johnny Andrean Salon
sukses berjalan, beliau membuka franchise di bidang kuliner yaitu BreadTalk.
Perusahaan roti asal Singapura tersebut dipilihnya karena rasa dan peminat yang
tinggi, sehingga bukan tidak mungkin BreadTalk akan menjadi primadona roti
Indonesia. Usaha tersebut dimulai sejak bulan Maret 2003 pada gerai pertama di
Mall Kepala Gading, Jakarta.
Berbagai inovasi dikerjakan oleh
pria sukses ini. Karena dapur pembuatan roti didesain tampak dari bagian
display, maka pengunjung bisa menilai tingkat kebersihan dan kecanggihan
teknologi pembuatannya sehingga semakin yakin untuk membeli produk makanan
tersebut. Selain itu, kualitas juga selalu dijaga oleh Johnny Andrean dari segi
rasa, aroma dan kebersihan. Inovasi inilah yang menjadi sorotan para pengunjung
hingga omzet gerainya selalu meningkat.
J.CO Donuts & Coffee Yang
Mendunia
Setelah belajar dari bisnis
waralaba BreadTalk, Johnny Andrean merasa ingin mengembangkan sendiri bisnis di
bidang kuliner. Namun, berbeda dengan BreadTalk yang dibeli dari perusahaan
lain, J.CO Donuts & Coffee benar-benar asli rintisannya. Setelah melakukan
berbagai riset dan keilmuannya di bidang membuat roti yang diperoleh sebelum
membuka gerai BreadTalk, Johnny Andrean akhirnya memutuskan untuk membuka J.CO
Donuts & Coffee dengan gerai pertama pada tahun 2005.
Hingga saat ini, jumlah gerai
J.CO Donuts & Coffee di Indonesia sudah mencapai lebih dari 100 gerai.
Padahal, jumlah tersebut belum termasuk gerai yang dibuka di negara tetangga
yaitu Malaysia, Singapura, China, serta Filipina. Bukan tidak mungkin
perusahaan donat yang telah merambah negara tetangga itu akan mengambil hati
konsumen di dunia.
Sifat Yang Patut Dicontoh Dari
Johnny Andrean
Dibalik kesuksesan Johnny
Andrean, pasti banyak sifat yang patut dicontoh. Pasalnya, putra tanah air ini
tidak mungkin bisa sukses begitu saja tanpa memiliki keistimewaan. Dari
sifat-sifat di bawah inilah yang beliau mampu ukir sebagai karier yang berbeda
dengan orang lain. Agaknya, semua orang perlu menjadikan sifat-sifat tersebut
sebagai bentuk motivasi untuk bergerak semakin maju.
Sifat 1: Pekerja Keras
Sifat Johnny Andrean sebagai
seorang pekerja keras jelas bukan main-main. Untuk mempelajari apakah bisnis
donat dengan sistem franchise cocok diterapkan di Indonesia, beliau sampai
melakukan riset dengan metode survei di beberapa negara yaitu Amerika Serikat,
Australia, Jepang, serta beberapa negara-negara Eropa. Hasilnya adalah negatif.
Dalam artian, ada beberapa hal yang membuat hasil donat tidak memuaskan
sehingga belum cocok digunakan untuk bisnis franchise di Indonesia.
Sifat 2: Pantang Menyerah
Setelah Johnny Andrean Salon
mengalami penjarahan pada tahun 1998, tekad Johnny Andrean dalam membangun
kembali bisnisnya tidak pernah pudar. Perjuangannya terjawab pada tahun 2003.
Saat akhirnya, bisnis tersebut bisa semakin menanjak hingga beliau bisa
merambah dunia usaha lain.Tetapi, waktu 5 tahun bukanlah waktu yang cepat. Terutama
untuk membangun kembali puing-puing harapan yang belum bisa dijamin
keberhasilannya.
Hingga saat ini, banyak orang
yang masih ragu untuk meniru tindakan beliau. Beberapa korban krisis moneter
ada yang menjadi pekerja biasa, atau bahkan menganggur. Tidak sedikit pula yang
mengakhiri karier usahanya dan memilih menjadi seorang kriminal sampai berujung
di sel tahanan. Semua hal itu merupakan bukti nyata bahwa menjadi seseorang
yang pantang menyerah bukan urusan mudah. Hanya orang bermental kuat seperti Johnny
Andrean yang bisa menjalaninya.
Sifat 3: Pandai Membaca Situasi
Dari tiga jenis usaha Johnny
Andrean yang berbeda baik dari model maupun bidangnya, dapat disimpulkan bahwa
beliau adalah serang pebisnis andal yang memiliki intuisi baik. Kemampuannya dalam
membaca situasi sangat membantu dalam proses menganalisis produk apa yang
diinginkan masyarakat Indonesia serta bagaimana cara yang paling cocok
diterapkan pada pasar negara ini. Oleh karena itu, kepiawaiannya banyak menuai
pujian dari pebisnis-pebisnis lain yang kerap menjalankan kerjasama di berbagai
bidang dengan Johnny Andrean.
Sifat 4: Nekat Yang Berdasar
Meskipun memiliki banyak
penghalang, tetapi Johnny Andrean selalu mengambil keputusan yang cukup
“nekat”. Keputusan out of the box pertamanya adalah membuat salon di tanah
perantauan, Jakarta. Sebagai putra daerah, tentu hal ini sangat berisiko
terutama jika bertemu orang yang salah. Tetapi Johnny Andrean tidak membuat
keputusan itu tanpa berpikir panjang. Karena sudah mempertimbangkan dengan survei
analitiknya, maka segala kesulitan masih dalam taraf dapat dilaluinya.
Pada saat bisnis salonnya
berkembang, Johnny Andrean tidak ingin memakai ilmunya untuk pribadi. Beliau
ingin menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dengan cara membuat sekolah yang
mendidik para calon hairstylist dengan nama Johnny Andrean School &
Training. Selain untuk direkrut sebagai pekerja di galeri-galeri Johnny Andrean
Salon yang jumlahnya ratusan, para lulusan juga diharap dapat membuka salon
sendiri dan bisa lebih mandiri.
Sifat 5: Berpikir Logis dan Tidak
“Asal Main Mimpi”
Mimpi besar selalu mendatangi
orang-orang sukses. Begitu pula dengan Johnny Andrean. Mimpi besarnya untuk
menjadi pebisnis andal tidak hanya sekali dua kali diungkapkan. Namun, mimpi
adalah tetap mimpi jika seseorang tidak terbangun untuk meraihnya. Berkat mimpi
besar dan logika tinggi, beliau mampu merengkuh berbagai keutamaan yang belum
bisa dicapai banyak orang.
Intinya, memulai sesuatu dari nol
butuh perjuangan 100% agar bisa mencapai puncak. Sebuah usaha yang
setengah-setengah hanya akan menghasilkan rasa lelah dan kegagalan. Karena saat
ini, jumlah saingan bisnis semakin banyak dan kreatif, maka pengembangan diri
serta motivasi internal memang tidak dapat lagi diganggu gugat. Seperti kata
pepatah: “Pantang pulang sebelum dapat uang”, mungkin nilai ini juga yang
digenggam erat oleh Johnny Andrean.
Sifat 6: Tekun Belajar
Meskipun sudah memiliki ilmu di
bidang kecantikan, Johnny Andrean tidak langsung puas dan berhenti belajar.
Sembari tetap berbagi ilmu di sekolah kecantikannya, beliau memperdalam ilmu
cara membuat roti yang enak sebelum kemudian memutuskan untuk membeli waralaba
BreadTalk. Tidak tanggung-tanggung, beliau sampai mengejar resep rahasia
tersebut ke Singapura.
Dari perjuangannya untuk memperdalam
seluk beluk pengolahan roti tersebut, sangat wajar jika kemudian Johnny Andrean
memetik kesuksesan. Tidak hanya sepadan dengan perjuangannya, tetapi hal ini
juga merupakan salah satu keberuntungan dalam dukungan keluarganya yang
suportif.
Sifat 7: Cakap Dalam Menjalin
Hubungan
Tidak hanya ramah, sosok Johnny
Andrean memang dikenal cakap dan bisa menjalin hubungan baik dengan rekan
bisnis. Jika kenyamanan sudah terjalin dengan baik, maka selanjutnya hubungan
bisnis bisa berkembang menjadi hubungan pertemanan atau kekeluargaan. Itulah
yang menjadi sisi positif dari Johnny Andrean. Dengan kecakapannya pulalah
banyak orang yang tidak segan untuk berbagi ilmu, tips dan membantunya pada
riset-riset di berbagai negara.
Sifat 8: Setia
Bersama sang istri dan anaknya,
Johnny Andrean mengajarkan bagaimana seseorang bisa sukses jika menjaga
kesetiaan terhadap usahanya. Tidak hanya itu, keuletan dan inovasinya yang
terus berkembang juga mampu mengeksplorasi potensi dirinya menjadi lebih maju.
Kesetiaan pada bisnis dibuktikan saat Johnny Andrean tidak meninggalkan
salonnya setelah terkena tragedi penjarahan.
Bukti kesetiaan lainnya adalah
saat membuka BreadTalk, Johnny Andrean memberikan inovasi apapun seperti
transparansi cara pembuatan pada pengunjung agar tingkat kepercayaan mereka.
Bahkan, untuk bisnis J.Co Donuts & Coffee, beliau juga sudah sangat setia
dengan tetap melakukan riset di berbagai negara dengan harapan bisa mewujudkan
bisnis ketiganya tersebut.
Sifat Positif Selalu Membuahkan
Kesuksesan
Dari kisah tentang Johnny Andrean
dan kesuksesannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap baik dan usaha keras
tidak pernah mengkhianati hasil. Oleh karena itu, setiap orang harus
menggunakan prinsip ini di berbagai bidang. Adakalanya, beberapa orang sukses
dengan melakukan kecurangan. Tetapi kesuksesan yang sebenarnya adalah saat
kesuksesan tersebut diperoleh secara jujur dengan tidak merugikan orang lain.
Justru setelah sukses, harus ada lebih banyak orang yang ditolong baik dengan
tenaga maupun ilmu.
Comments
Post a Comment