Daftar Usaha Kuliner yang Sukses


Rangga Umara (Lele – Lela)
Bagi beberapa orang, memutuskan untuk berhenti dari sebuah perusahaan saat posisinya sudah nyaman mungkin adalah sebuah hal yang menakutkan. Bagaimana tidak, sulitnya mencari kerja ditambah dengan iklim industri dan bisnis yang tak menentu di negeri ini jelas membuat orang sebisa mungkin akan coba bertahan di sebuah perusahaan. Kalau pun ingin berhenti, ia akan mencoba sebisa mungkin  mendapatkan penggantinya, baru ia berani resign.
Dan inilah cerita umum yang masih banyak terjadi pada kebanyakan pekerja di Indonesia. Namun bagi Rangga Umara, keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah nyaman justru merupakan sebuah harapan dan kesempatan besar untuk memulai hidup lebih baik lagi.
Sesaat sebelum keputusan berhenti itu, Rangga sudah mempersiapkan beberapa hal untuk membuka usaha makanan. Memang kabar berita tentang PHK dari perusahaan sudah membuat dirinya mau tidak mau harus siap sedia. Meski belum pasti bahwa ia akan kena PHK, namun keadaan perusahaan yang tidak sehat membuatnya nekat untuk berhenti dari posisi manager.
Rumah makan Lele Lala adalah bisnis yang kemudian digeluti oleh Rangga Umara setelah berhenti dari perusahaan. Kini Rumah makan Lele Lela telah menjadi kuliner ternama di Indonesia yang juga mulai mengibarkan benderanya di luar negeri. Dengan omzet yang kini mencapai milyaran rupiah, bagaimana sebenarnya Rangga Umara merintis dan menjalankan Lele Lela? Berikut Ulasannya.
Kisah Rangga Umara Merintis Bisnis Kuliner Lele Lela
Kesuksesan Lele Lela sekarang tidak dibangun hanya dalam waktu semalaman oleh Rangga Umara. Jatuh bangun telah mewarnai perjalanan Rangga membangun Rumah Makan Lele Lela. Saat merintis Lele Lela, Rangga memulainya dengan modal 3 juta rupiah. Modal itu pun ia kumpulkan dengan susah payah dari hasil menjual jam tangan, handphone, parfum, dan alat penggetar perut yang ada di rumah. Dengan menggandeng temannya yang pintar meracik bumbu, Rangga memulai Lele Lela tahun 2007 dari pinggir jalan di daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Nama Lele Lela sendiri sudah dipakainya sejak gerai pertama didirikan. Kata Lela dipakai Rangga dengan maksud agar nama ini selalu memberikannya sebuah harapan dan doa, sebab kata ini memiliki akronim ‘lebih laku atau lebih laris’. Ide nya membuka kuliner lele bermula dari pengamatannya dari warung pecel lele kaki lima yang memiliki kualitas yang kurang baik. Dari sinilah Rangga ingin mengangkat kuliner lele agar lebih berkelas.

Rangga Umara Bergerak Lebih Professional
Dari gerai pertamanya di Pondok Bambu, jualannya tidak terlalu menguntungkan. Bahkan di bulan-bulan ketiga dan kelima keuntungannya malah terus merosot bahkan minus hingga membuat dirinya harus berhutang. Alih-alih mendapatkan untung, Rangga bersama istri dan satu anaknya justru diharuskan pergi dari kontrakan karena Rangga sudah tidak bisa lagi membayar konrakan.

Namun keadaan yang sulit ini tak membuat dirinya putus asa, sarjana Informatika dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung ini lalu memutuskan untuk membuat Lele Lela lebih professional. Maka, dengan uang seadanya, Rangga kemudian menyewa tempat pada sebuah warung sepi di kawasan yang lebih strategis.
Dengan sistem kerjasama dengan sistem setoran satu juta per bulan, Rangga memulai Lele LeIa dengan konsep yang lebih modern dan menarik. Hasilnya sangat memuaskan, dalam satu bulan pertamanya di tempat baru ini, Lele Lela mampu langsung meraup untung 3 juta rupiah per bulan dan angkanya terus bergerak naik seiring pertambahan gerai Lele Lela.
Sukses dan Menulis Buku
Kini, pria kelahiran tahun 1979 itu telah memiliki lebih dari 42 cabang Lele Lela se-Indonesia dan satu cabang di malaysia dengan omset yang diperkirakan telah mencapai Rp 4,8 milyar per bulan. Lele Lela juga membuka kemitraan dengan beberapa aturan yang sudah ditentukan.
Dari kesuksesan ini, Rangga Umara membuka rahasianya yang ternyata dimulai dari tulisan-tulisannya tentang obsesi, ambisi, dan impian yang ingin diraihnya dulu. Untuk berbagi ilmu, maka kemudian Rangga kembali menyusun dan merangkai tulisan-tulisan tadi menjadi sebuah buku yang diberi judul dream book. Melalui buku yang inspiratif ini Rangga ingin mengumpulkan semangat dan menarik energi positif dari siapapun yang ingin berhasil mencapai impiannya masing-masing.

Agus Pramono (Ayam Bakar Mas Mono)
Menjadi office boy, tukang gorengan dan sales adalah sederet pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab dipanggil Mas Mono ini. Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak disangka meledak di pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang dengan omset puluhan juta per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta rupiah.
Cukup sulit membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
Putus kerja tapi hidup harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti hidup dengan menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh lahan, karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari, saya beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai berjualan 5 ekor ayam perhari.
Wangi kepulan asap dari ayam bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke hari, pelanggannya makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu menghabiskan 80 ekor ayam per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah terindah. Saya serasa punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi. Alhamdulillah saya dikasih lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu seterusnya hingga mampu menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380 potong. Dengan kondisi tempat masih di kaki lima itu sebuah pencapaian yang luar biasa!” Ungkapnya.

Bencana Penggusuran
Naas bagi Mas Mono, disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana penggusuran pun melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu saya benar-benar kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama, bisnis penjualan saya tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana dengan nasib 6 karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-tanya lokasi ke setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan menunjukkan tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang bernama Novieta ini.
Di Tebet, kebingungan pun belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru, lokasi yang tidak strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi bisnisnya. Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar pelanggan kembali ramai.
Tak jarang iapun mengajak bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi barunya. Hasilnya, pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya, pelanggan pun terus berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya bisa menyewa tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan hingga makan pun harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak terlalu jauh,” ujar suami dari Nunung ini.
Rupanya ujian belum selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan bisnisnya itu, flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan merajalelanya flu burung, spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya terus belajar untuk syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini telah mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.

20 Cabang, Ribuan Ekor per Hari
Setelah hampir 10 tahun berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang didirikannya kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar dibeberapa wilayah di Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat, Cileduk, dan daerah lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa menghabiskan sekitar 150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi tradisional modern. Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini market leader di dunia kuliner,” harapnya.
Mengenai omset, jangan ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga 8 jutaan. Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya seperti bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya mengambil segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi siapapun. Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup murah, hanya 13 ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400 karyawan ini.
Bahkan bisnis ayam bakar yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam waktu singkat, iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke berbagai daerah bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya fokuskan untuk menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi ke berbagai wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual ayam sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.

Santoni (Bumbu Desa)
Setelah sukes mendirikan resto Kampung Sampireun, Arief Wangsadita tergerak untuk mendirikan restoran dengan menu makanan Sunda. Alasannya, cita rasa makanan Sunda bisa diterima masyarakat Indonesia. Maka, pada 2004 pun berdiri gerai pertama Restoran Bumbu Desa di Bandung. Sejak itu, pertumbuhannya terus melaju, hingga ekspansi ke Malaysia dan siap-siap membuka outlet di Melbourne (Australia) dan Vancouver (Kanada). Bagaimana lika-liku Arief Wangsadita mendirikan Bumbu Desa? Semua dituturkan Arief kepada Mochamad Januar Rizki:
Bagaimana latar belakang berdirinya Bumbu Desa pada 18 September 2004?
Latar belakangnya, saya melihat banyak makanan Sunda belum dikonsumsi secara komersial. Sifatnya masih sekadar di meja-meja keluarga. Padahal, banyak menu makanan Sunda yang sudah ada sejak dulu masih dikonsumsi hingga generasi muda sekarang. Karena belum dikomersialkan secara masif, sehingga ada kesempatan restoran Sunda ini yang menyediakan makanan lokal dan banyak orang suka untuk dikomesialkan.
Ini berawal dari pendapat subjektif saya. Masakan Sunda memiliki taste yang bisa diterima di Indonesia. Selain itu, gestur atau gaya bahasa tubuh orang Sunda juga dinilai memiliki kelebihan sopan santun, misalnya saat menjamu tamu yang masuk ada salam dalam bahasa Sunda wilejeung sumping.
Saya bukan orang yang berpengalaman di bidang bisnis kuliner, saya dulu bergerak di bidang bisnis perhotelan. Sebelum Bumbu Desa, saya membuat Kampung Sampireun. Pada saat awal Bumbu Desa ini berdiri adalah hasil pemikiran kolektif dari orang-orang yang berada di lingkar saya, seperti istri hingga ibu. Saya bertindak sebagai pengambil keputusan. Kami juga menggunakan advisor dari konsultan. Pusat pertama berdiri berada di Jalan Riau, Gerai Laswi, Bandung pada tahun 2004.
Produk-produk budaya sunda keseharian tersebut saya kombinasikan, dari gaya bicara hingga masakan. Kami juga memadukan budaya pedesaan, seperti petani dan sawah dalam restoran dalam bentuk gambar-gambar. Kebetulan pada tahun 2004, saat Bumbu Desa berdiri, hal-hal seperti ini masih dianggap baru. Dan, saya pikir Bumbu Desa dengan menu makanan Sundanya mampu diterima di mana pun.

Jadi yang membedakan Bumbu Desa dengan lainnya, kami mem-packaging restoran dengan cara menampilkan budaya Sundaya tidak sekadar makanan saja tapi juga uncontemporer seperti tempat yang bersih. Tahun-tahun awal perkembangan Bumbu Desa pesat sekali, kami buka cabang di Surabaya pada 2005. Di Surabaya kami mampu bersaing dengan restoran- restoran oriental atau chinesse food yang juga lagi booming. Kami sampai sekarang masih eksis di sana.

Bumbu Desa (tegak)
Siapa target pasar yang dibidik? Berapa rata-rata harga per menu? Rata-rata pengunjunga per harinya?
Sasarannya Bumbu Desa rata-rata yang datang adalah kelas menengah. Tapi orang yang banyak duit pun juga datang. Untuk harga per menu sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Rata-rata pengunjug per outlet-nya bervariasi ada yang 100 orang per hari hingga 400 orang. Untuk cabang-cabang di Malaysia, biasanya bisa mencapai 100 ribu. Selain pengunjung, pelanggan kami juga banyak dari katering. Hampir sama jumlahnya.
Untuk menggerakkan bisnis kuliner, diperlukan tenaga yang ahli seperti juru masak hingga pramusaji. Bagaimana awal-awal Anda memenuhi kebutuhan SDM tersebut?
Kami SDM kebanyakan dari daerah-daerah sekitar Parahyangan timur, Garut, Tasik, Ciamis. Kami mendapatkan ahli-ahli masak bukan dari lulusan pendidikan formal. Tapi dari pembantu- pembantu rumah dari desa. Cara kerja mereka masih cara kerja rumah tangga. Dikasih meja enggak bisa kerja seperti itu, tetapi mereka kerja sambil duduk di lantai.
Kami memilih juru masak dari desa karena bicara kuliner semua asal muasalnya dari desa. Tujuannya, saya ingin desa itu punya arti buat kita. Jadi, berasal dari desa bukan sekadar dari genetika tapi juga makanannya. Ini juga yang membuat saya menamakan restoran ini Bumbu Desa. Kini karyawan Bumbu Desa mencapai hampir 5 ribu orang dari awalnya hanya 67 orang. Sedangkan Chef sendiri total ada seribu orang termasuk yang sudah keluar dari awalnya hanya delapan orang. Kini satu outlet ada sekitar 12 orang chef.

Bagaimana perkembagan Bumbu Desa dari awal berdiri hingga sekarang ini?
Tahun pertama, kami hanya punya dua outlet, Laswi dan Pasir Kaliki. Lalu tahun kedua, kami menambah sekitar 15 outlet. Untuk Jakarta ada 17 outlet. Untuk luar negeri, kami memiliki cabang di Malaysia sebanyak 6 outlet. Saat ini jumlah keseluruhan outlet kami ada 78 outlet. Pada tahun 2014 ini kami berencana membuka cabang di Vancouver, Kanada dan Melbourne, Australia. Mudah-mudahan tahun ini mulai running. Sudah ada yang menawarkan untuk membuka di London, Paris dan New York. Investornya juga sudah ada. Namun tempatnya kurang bagus sesuai dengan yang saya inginkan. Kami masih mencari lokasi yang bagus. Kami harus jelas dulu lokasinya di sana di mana. Kami tidak mau karena lokasinya. Selain sebagai portofolio Bumbu Desa, kami tidak ingin asal-asalan membawa nama Indonesia di luar negeri.

Untuk pertumbuhan omzet, Bumbu Desa dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Pertumbuhan per tahun kurang lebih mencapai 30 persen tiap tahun. Pertumbuhan cukup signifikan pada tahun 2010. Tahun itu merupakan booming-nya bisnis kuliner. Bumbu Desa saat itu membuka 12 cabang.
Saya juga pernah diajak oleh Dirut suatu BUMN untuk presentasi di depan karyawannya yang mau pensiun, seratus orang yang hadir ingin investasi di Bumbu Desa. Bisa dibayangkan untuk franchise fee-nya saja sekitar Rp 400 – Rp 500 juta. Kalikan saja 50 orang. Saya bisa mendapat Rp 40 miliar. Tapi bukan itu yang saya mau. Karena tidak semua orang yang mau mengelola langsung.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tiap harinya, Bumbu Desa melakukan pembinaan kepada penyuplai. Seperti para suplier ayam, ikan. Kami juga melakukan kerja sama dengan yayasan rumah yatim yang anak-anaknya bisa melakukan praktik kerja di Bumbu Desa.

Bagaimana mengelola agar bisnis resto ini bisa berkesinambungan?
Untuk pengertian berwirausaha adalah tindakan yang komprehensif dari beberapa hal. Paling utama adalah relationship dengan karyawan. Saya sampaikan kepada karyawan, Bumbu Desa seperti sekolah atau universitas. Jadi, jika para karyawan sudah punya kemampuan dan ingin keluar dari Bumbu Desa, mereka harus lebih tinggi jabatannya ketika bekerja di Bumbu Desa. Menurut saya, itu bukan berarti karyawan tidak memiliki loyalitas tetapi membantu langkah mereka untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik.
Kami dalam membuka frandchise tidak sembarangan, tapi kami pilih orang-orang yang konsern, fokus dan pegang sendiri. Yang penting bagi kami adalah relationship bukan sekadar uang. Saudara bertambah tapi tidak ada konflik.
Saya enggak takut dicontoh oleh siapa pun. Semua resep saya berikan kepada yang lainnya. Tidak ada yang kami simpan kepada partner. Bumbu desa juga bisa dikatakan satu-satunya restoran yang tidak punya link dengan sebuah alat IT, terhadap cashier dengan kantor pusat untuk mengontrol penjualan outlet lain. Dulu hampir digunakan, tapi menurut saya tidak perlu. Yang saya inginkan menjalankan bisnis berlandaskan kejujuran. Daripada untuk IT, saya lebih suka pelatihan-pelatihan untuk para karyawan. Itu yang lebih saya suka. Saya tidak takut rugi, karena saya percaya 100 persen kepada para partner. Sampai saat ini belum ada konflik.

Untuk bahan baku bagaimana pemenuhan kebutuhan bahan baku?
Ibaratnya Bumbu Desa adalah inti plasma. Pemasok bahan baku adalah plasma-plasmanya. Jadi semua hasil produksi dipasok ke kami. Ada juga yang tidak bisa seperti itu, seperti beras.

Selama 10 tahun berjalan, bagaimana kendala yang dialami?

Untuk pemenuhan SDM relatif lancar, namun perkembangan bisnis kuliner semakin kencang. Pilihan-pilihan kuliner semakin beragam. Dari situ, kami harus berkompetisi terus. Oleh karena itu, kami harus berinovasi.

Bagaimana alasan Bumbu Desa sendiri dalam pemilihan lokasi baru?
Untuk luar negeri, tidak mesti banyak penduduk Indonesia di negara tersebut. Namun berdasarkan kota tersebut adalah megapolitan. Misalnya, Vancouver saat ini merupakan kota yang majemuk maka itu kami juga buka di sana. Untuk wilayah Indonesia, kami juga berencana membuka di wilayah timur Indonesia seperti, Mataram, Ambon, Flores dan Labuhan Bajo. Kami memilih karena lokasi tersebut bisa diterima masyarakat dan startegis.

Sukyanti Nugroho (Es Teler 77)
Bicara soal jajanan es, mungkin Sukyatno Nugroho patut dianggap sebagai penjual jajanan es paling sukses di Indonesia. Bagaimana tidak, melalui waralaba Es Teler 77 miliknya ia sukses menjadi salah satu pengusaha sukses di Indonesia.
Memang tidak banyak yang mengenal mengenal sosok dari Sukyatno Nugroho ini. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 3 Agustus 1948 ini sewaktu kecil dikenal tidak terlalu cerdas di sekolah.
Ia malah pernah dua kali tidak naik kelas saat bersekolah. Bahkan teman-temannya menggap ia bodoh. Masa sekolahnya pun ia selesaikan hanya sampai jenjang SMP saja.
Karena tidak terlalu suka bersekolah, ayahnya Hoo Ie Kheng kemudian mengirim Sukyatno Nugroho ke rumah pamannya di Jakarta. Tinggal bersama dengan pamannya, Sukyatno diajari berdagang. Segala macam profesi pernah dijalani oleh Sukyatno agar bisa bertahan hidup di ibukota.
Mulai dari berjualan sisir, kancing baju hingga alat elektronik. Selama menjadi salesman, disitulah ia bertemu dengan istrinya yaitu Yenny Setia Widjaja yang ketika itu juga berdagang alat elektronik. Pernikahannya ia langsungkan pada tanggal 28 seotember 1971.
Ia juga pernah menjadi calo surat izin mengemudi, tengkulak jual beli tanah hingga menjadi pemborong pembangunan perumahan. Sewaktu menjadi pemborong, ia kena sial. Rumah yang ia bangun atas pesanan dari departemen pemerintahan hampir selesai, sialnya ia hampir dikeroyok orang sebab tanah dari bangunan yang ia dirikan masih dalam tahap sengketa.
Akhirnya ia menanggung kerugian dan berhutang banyak, jatuh miskin bahkan ia tidak sanggup untuk membayar biaya sekolah anaknya. Dari situ, ia kemudian mencoba membuka usaha salon kecil-kecilan.
Namun tak lama kemudian, Sukyatno Nugroho mulai mencoba berbisnis jajanan es teler yang kemudian mengubah nasibnya kelak. Berbekal modal usaha 1 juta rupiah dan resep es teler dari ibu mertuanya, Murniati Widjaja hasil memenangkan lomba majalah Gadis, Sukyatno mencoba peruntungannya di bisnis kuliner ini.
Es Teler diciptkan oleh oleh Tukiman Darmowijono. Es Teler terdiri dari minuman es yang berisi campuran alpukat, kelapa muda, nangka dan santan kelapa ditambah sirup sebagai pemanisnya. Sukyatno memberi nama jajanan es telernya dengan nama Es Teler 77. Angka 77 bagi Sukyatno adalah angka keberuntungan.
Sukyatno mulai menjual dagangan es telernya pada tanggal 7 juli 1982. Dagangannya ia gelar di emperan pusat perbelanjaan Duta Merlin, Harmoni di wilayah Jakarta pusat dari pagi hingga malam hari.
Selama beberapa tahun ia menjajakan es nya di pinggir jalan dan berpindah-pindah tempat, tak jarang ia juga kena razia penertiban petugas.
Lambat laun, usaha es telernya mulai menunjukan peningkatan penjualan. Sehingga ia kemudian nekat mewaralabakan es teler 77 dagangannya pada tahun 1987.
Sukyatno sebenarnya tidak terlalu mengerti mengenai sistem waralaba, mulai dari bagi hasil hingga posisinya sebagai pemilik usaha. Ia hanya mengetahui mengenai waralaba dari artikel berbahasa Inggris yang ia baca. Meskipun ia hanya tamatan SMP saja, namun ia sedikit mengerti bagan dan skema dari sistem waralaba seperti KFC maupun McDonald yang ketika itu baru masuk di Indonesia.
Dari pedagang es di emperan jalan hingga menjadi jajanan es kaum elit. Itulah yang membuat Sukyatno yakin akan pilihannya mewaralabakan es teler 77 miliknya. Awal mula ia mewaralabakan es telernya, ia selalu selalu mengalami kerugian tiap hari, naum itulah Sukyatno, pantang menyerah akan usahanya.
Biografi dan Profil Sukyatno Nugroho - Kisah Inspiratif Pemlilik Waralaba Es Teler 77
Dari tahun ke tahun semenjak ia mewaralabakan es telernya, gerai usahanya terus bertambah mulai dari Solo hingga Semarang dan kemudian mencapai ratusan gerai Es Teler 77.
Ia pun mematok harga es telernya lebih mahal dan memindahkan gerainya ke dalam pusat perbelanjaan seperti di mall maupun plaza.
Ia kemudian berani membuka gerai di gedung Wisma BNI yang megah di wilayah Sudirman, Jakarta. Tempat-tempat yang prestisius itulah yang membuat image dari Es Teler 77 dikenal luas di masyarakat. Ia juga terkadang membuat berbagai kegiatan sosial yang menurutnya ‘heboh’, sehingga turut menaikkan pamor es teler 77 miliknya.
Sejak saat itu waralaba Es Teler 77 nya mulai menjamur di berbagai kota besar di Indonesia bahkan ia juga memiliki cabang di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, hingga Australia dengan jumlah karyawan sebanyak 3000 orang.
Bisnisnya yang sukses besar membuat Sukyatno Nugroho sangat terkenal. Sejak itu ia mulai menjadi pembicara mengenai bisnis waralaba di berbagai Universitas. Usahanya tersebut ia serahkan kepada anak-anaknya. Ia lebih memilih untuk bekerja di belakang layar saja.

Sukyatno Widjojo wafat pada tanggal 11 desember 2007. Ia kemudian menyerahkan usaha waralabanya yang sudah berjumlah 300 outlet di Indonesia dan empat negara lain di luar negeri kepada anak-anaknya. Banyak masyarakat menyampaikan bela sungkawa bahkan dari presiden Abdurrahman Wahid kala itu.

Riezka Rahmatiana, Pemilik CV. Ezka Giga Pratama (Pisang Ijo JustMine): Melangkah dari paling bawah
Meski ditentang orang tuanya, di olok-olok rekan kuliahnya, bahkan sempat ditipu rekan bisnisnya. Riezka Rahmatiana pantang menyerah dan terus berusaha, inovasi dan kemitraan menjadi kunci suksesnya untuk mengembangkan bisnis “Saya bermimpi bangsa ini bangkit bersama sehingga kemiskinan tak ada lagi.” Katanya.
SIAPA BILANG BISNIS harus dimulai dengan modal besar? Riezka Rahmatiana, 23 tahun, telah membuktikannya. Ia memulai usahanya hanya dengan mengandalkan uang jajannya sebagai modal awal, sekitar Rp 150.000. “Saya memulainya dari paling bawah, dengan berjualan pulsa elektronik,” ujar gadis berdarah India kelahiran Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 21 Maret 1986 ini.
Target pasarnya adalah rekan-rekan kuliahnya sendiri. Ternyata peminat pulsanya begitu banyak. “Tak sampai dua jam, deposit pulsa saya sudah habis,” katanya. Hasil penjualan ini langsung diputarkannya untuk membeli deposit kembali, sehingga lama kelamaan jumlah depositnya ternus bertambah. Bahkan ia bisa membuka outlet pulsa elektronik, fisik, dan kartu perdana yang diberinya nama Ezka Cell, di Jl. Raflesia H7, Perumahan Antapani, Bandung.
Kali ini target pasarnya adalah orang-orang yang satu komplek perumahan dengannya. Lagi-lagi hasilnya mengejutkan, omzetnya d‘alam sebulan bisa mencapai Rp 9.600.000. Sadar akan besarnya potensi bisnis pulsa ini Riezka pun berani mengibarkan bendera usaha. Pada 26 Maret 2007 ia mendirikan bendera CV Ezka Giga Pratama, perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan dan jasa. Dari berdagang pulsa ia ‘naik pangkat’ dipercaya menjadi master pulsa yangmengelola server pulsa elektronik yang membawahi sejumlah agen dan outlet-outlet kecil.
Pelan tapi pasti bisnisnya terus merayap naik. Satu per satu bidang usaha dirambahnya. Karena tempat usaha pulsanya yang berada di komplek ramai didatangi konsumen salah seorang rekan bisnisnya mengajak bekerja sama di bidang laundry & dry clean dengan pola bagi hasil. Pada awalnya ia sempat ragu apakah jasa ini dibutuhkan, mengingat umumnya tiap rumah telah memiliki pembantu rumah tangga. Namun setelah mengamati sejumlah gerai laundry & dry clean di kompleks perumahan lainnya, ia mem­beranikan diri masuk ke sektor ini. Maka, tahun itu, Riezka membuka gerai Prima Laundry. Di luar dugaan, “Di bulan pertama saya bisa mendapat bagian bersih Rp 2 juta,” katanya.
Dari berdagang pulsa ia ‘naik pangkat’ dipercaya menjadi mas­ter pulsa yang mengelola serves pulsa elektronik yang membawahi sejumlah agen dan outlet-outlet kecil.


Pada tahun berikutnya, Maret 2008, Riezka kembali melebarkan usahanya dengan mencoba merambah ke usaha makanan dan minuman. Menurut buku-buku yang dibacanya, margin keuntungan di usaha ma­kanan dan minuman bisa mencapai 50% lebih. Maka ia pun menyewa ruang di Food Court & Cafe di daerah Cihampelas, Bandung, dan mem­buka kafe D’Green House. Di sins ia menyajikan aneka macam makanan dan minuman. Sayang, usaha ini kandas karena omzet sangat minim.

MENGEMBANGKAN PRODUK DENGAN INOVASI
Rizka tahu jika ingin sukses ia harus bisa menampilkan produk yang berbeda dengan yang dijual orang lain, harga yang sesuai dengan segmen yang dibidik, serta memilih lokasi yang tepat, serta melaku­kan promosi untuk memperkenalkan produknya. Dengan kata lain, ia harus menerapkan empat bauran pemasaran (4P) yang disebutkan Philip Kottler: Product, Price, Place, dan Promotion.

BIODATA
RIEZKA RAHMATIANA
Mataram, 26 Maret 1986
Email: riezkarahmatiana@gmail.com
PENDIDIKAN:
2004 –Sekarang Mahasiswa Fakultas Komunikasi, Universitas Padjajaran Bandung
NAMA USAHA:
CV. Ezka Giga Pratama
(JustMine Pisang Ijo, Ezka Cell & Laundry) Alamat: Ruko MTC Blok C-6
Telp: 0818 642699, 022 92300888
PENGHARGAAN:
2008 Finalis Wirausaha Muda Mandiri kategod Mahasiswa Diploma dan Sarjana
LAIN-LAIN
2007 News Editor PT Radio Garuda Bandung
2007 Distributor of Tiens Group
2005 Announcer Radio Mora FM



“Saya melakukan inovasi produk dan mencari lokasi baru,” katanya. Kali ini ia menyajikan menu tradisional, yaitu tahu Sumedang dan sop urat, resep favorit ibunya. Untuk itu ia menyewa gerai di Jl. Cihanjuang, Bandung, yang dinamainya Dapur Kuring, yang berasosiasi dengan masakan tradisional rumahan. Untuk modal awal Riezka cukup mempersiapkan bahan baku dan peralatan, senilai sekitar Rp. 6 juta. Tempatnya disewa dengan pola bagi hasil, 25% untuk pemilik tempat dan 75% untuk Riezka.
Kali ini Dewi Fortuna menghampirinya. Tahu Sumedang dan sop urat laris manis disukai pelanggan dan pesanan. Apalagi sop uratnya, yang bisa dikatakan tak memiliki pesaing. Lokasinya yang di kawasan wisata membuat peminatnya bukan hanya dari kawasan Bandung dan sekitarnya, namun juga dari luar kota, seperti Jakarta, Bogor, Purwakarta. Para pelanggan yang puas ini pun menjadi evangelist yang dengan sukarela mempromosikan gerai makannya.
Agar semakin memikat perhatian konsumen, Riezka sengapi meletakkan tempat menggoreng tahunya di luar ruangan sehingga konsumen dapat melihat cars pembuatannya. Aromanya yang hariiiii mampu membujuk konsumen mampir ke gerai Dapur Kuring. “Alhadulillah, penggemarnya terus bertambah,” katanya.

FOKUS DI BISNIS MAKANAN DAN MINUMAN
Tampaknya Riezka sangat serius menekuni bisnis makanan dan minuman (food & beverage). Namun untuk bisa tampil bersaing dengan banyak sekali pemain di sektor ini, pelaku industri ini harus tel. us-menerus menggelar inovasi dan meluncurkan produk baru, serta mengemasnya secara menarik. Dan itulah yang dilakukan mahasiswa Jurusan Komunikasi Pemasaran Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung ini.
Awal 2009 ini, misalnya, ia meluncurkan produk baru Pisang Ijo “JustMine”. Produk ini dikembangkannya dari makanan tradisional khas Makassar terbuat dari bahan dasar pisang raja yang dibalut dengan tepung beras, dan diberi warna hijau alami dari daun suji. Di tangan Riezka, pisang ijo ini diberi cita rasa baru dengan berbagai varian rasa, yaitu fla cokelat, vanila, stoberi, durian dan rasa orisinal pisangijo khas Makassar. Lagi-lagi produk jajan pasar kreasi baru Riezka ini disukai para pencinta kuliner. “Sebelum dipasarkan, saya memberi­kan sampel produk Pisang Ijo kepada teman-teman, rekan bisnis, dan keluarga. Ketika di awal mereka mengatakan rasanya kurang enak, Riezka dan timnya mencoba lagi sampai semua mengangguk puas. “Syukur akhirnya kami bisa menghasilkan produk yang optimal dan disukai banyak orang,” katanya.

MENGEMBANGKAN USAHA LEWAT KEMITRAAN
Sambutan konsumen yang sangat bagus membuat permintaan kerja sama dan waralaba berdatangan. Riezka pun menyambut ajakan ini. “Jika bisa membantu orang lain sambil sekaligus mengembangkan usaha sendiri, kenapa tidak?” pikirnya. Untuk franchise, ia menawar­kan satu paket booth lengkap Justmine Pisang Ijo seharga Rp 6,5 juta. Paket ini meliputi sistem penjualan dengan SOP (standard operating procedure) agar kualitas produknya tetap dijaga, training karyawan, dan perlengkapan penjualan. “Tapi untuk periode promosi sampai bu­lan Juli, saya jual hanya dengan harga Rp 5,5 juta,” katanya.
Melihat gaga bisnisnya, ada beberapa hal yang menarik pada pengusaha belia ini. Riezka memulai bisnisnya dengan modal yang relatif kecil, dengan menjual produk yang banyak dibutuhkan orang sehingga risiko kegagalan lebih kecil.
Hal kedua, setiap kali mengembangkan bisnisnya, Riezka selalu menerapkan sistem kemitraan. la membuka diri untuk menggandeng mitra bisnis untuk bersama-sama memadukan kekuatan guna mengem­bangkan usaha. Riezka mengaku sangat ingin menularkan semangat berwirausaha kepada semua orang sejak dini. “Saya bermimpi bangsit ini bangkit bersama sehingga kemiskinan tak ada lagi,” katanya.
Dengan strategi kemitraan ini, Riezka juga bisa memiliki waktu lebih banyak. Faktanya, sambil terus mengembangkan usahanya, ia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang baik. “IPK saya tidak pernah kurang dari 3,” ujarnya sambil tersenyum. Orang tuanya yang dulu menentang usahanya, kini berbalik mendukung dan menyemangatinya.
Dengan kejelian membaca peluang pasar dan mengembangkan inovasi produk, Rizka mampu mengembangkan bisnisnya dengan relatif cepat. Dalam tempo tak sampai dua tahun, Ezka Giga Pratama yang didirikannya dengan modal awal sangat minimal ini kini telah memiliki aset sekitar Rp 500 juta – ibaratnya dari kilobyte menjadi giga. Berkat sistem franchise dan jaringan kemitraan yang dibangunnya, jangkauan usahanya juga terus membesar dan beranak-pinak.

JATUH BANGUN MENGHADAPI TANTANGAN
Jika kini terlihat perjalanan usaha Riezka berlangsung begitu mulus dan pesat, jangan menyangka ia tak pernah menghadapi rintangan. Tantangan pertama justru berasal dari lingkar dalam keluarganya sendiri. Orangtua Riezka menentang keinginan anak pertama mereka ini untuk mengembangkan potensi sebagai wirausaha dan memintanya agar fokus kepada kuliahnya.
Namun si sulung bersikukuh pada pendiriannya. Ia ingin menjadi pengusaha, sehingga memiliki keleluasaan mengelola waktu dan pendapatan sendiri. “Saya ingin mempunyai kebebasan waktu, tidak terikat dengan pekerjaan atau bos di kantor,” katanya.
Maka sambil kuliah, pada 2006-2007, Riez­ka mencoba berusaha dengan menjadi distributor dari Tiens Group, perusahaan multilevel marketing produk makanan kesehatan. Dengan tekun ia menawarkan dagangannya kepada teman-teman kuliahnya. Hasilnya? “Lebih ba­nyak penolakan dan ejekan ketimbang dibeli,” ujarnya.



Pada tahun 2007 Riezka pernah ditipu mitra bisnisnya sendiri, yang membawa kabur barang dagangan ber­nilai puluhan juta yang diambilnya dari Riezka.
Tantangan rupanya tak cukup sampai di situ. Pada tahun 2007 Riezka pernah ditipu mitra bisnisnya sendiri, yang membawa kabur barang dagangan bernilai puluhan juta yang diambilnya dari Riezka. “Untuk menutup kewajiban pembayaran seluruh tabungan saya ludes. Bahkan saya masih harus berutang kesana-kemari,” katanya. Hingga kini, mitra bisnisnya raib dan tak mempertanggungjawabkan kewa­jibannya. Sementara Riezka kehilangan kepercayaan dari teman­-temannya, bahkan mengalami hinaan yang menyakitkan, dari down­line-nya.
Toh mantan penyiar Radio Mora FM (2005) dan redaktur berita Radio Garuda (2007), keduanya di Bandung, ini pantang menyerah. Ia kembali bangkit dan siap melata dari anak tangga terbawah, dengan menjajakan pulsa tadi. Lalu sedikit demi sedikit mengumpulkan mo­dal untuk berbisnis kembali. Hasilnya, Riezka kini bisa menegakkan kepada dan membuktikan bahwa jika ada kemauan, selalu ada jalan mencapai keberhasilan. Ia juga telah membuktikan, jika dilakukan bersama-sama, tak ada kata tidak bisa.

Victor Giovan Raihan: Pengusaha Sukses Kembangkan Bisnis Minuman Sejak Usia Remaja
Menjadi seorang pengusaha sukses tidak memandang usia seseorang.  Sukses berbisnis adalah milik semua orang yang mempunyai tekad, seberapapun usia mereka. Dan sebagai contoh, berikut ini ialah kisah sukses berwirausaha dari seorang dengan usia yang masih sangat belia.
Victor Giovan Raihan, seorang pengusaha remaja yang berhasil menjalankan sebuah bisnis sejak usia 18 tahun. Potret pengusaha yang patut ditiru dan kita jadikan contoh. Victor Giovan Raihan pemuda asal Malang ini berhasil menjalankan bisnis yang ia mulai sejak ia remaja.
Banyak liku – liku bisnisnya sampai ia berhasil mendapatkan kesuksesan. Simak kisah suksesnya berikut ini.
Victor Giovan Raihan Membangun Bisnis Sejak Usia Remaja
Victor Giovan Raihan yang kala itu masih berusia remaja yaitu 18 tahun iseng membuat racikan minuman dari teh dan susu fermentasi. Siapa sangka racikan minuman yang dibuat Victor Giovan Raihan banyak disukai oleh teman – temannya.
Dengan respon dari pasar yang sangat baik, otak bisnis nya mulai bekerja dari sini. Selang beberapa waktu  kemudian Raihan memutuskan untuk lebih serius dan fokus mengelola teh racikannya. Mulai dari meracik, menata outlet sampai memberi brand pada bisnis minuman cepat sajinya.
Melihat Potensi Bisnis Minuman Cepat Saji
Raihan sendiri sebenarnya memiliki beberapa macam bisnis minuman cepat saji. Namun yang menjadi andalannya saat ini adalah paket minuman cepat saji yang ia beri nama “Teh Kempot”. Kenapa ia memutuskan terjun berbisnis dengan mengambil pasar minuman cepat saji, menurutnya prospek bisnis minuman cepat sajai ke depan akan semakin besar.

Hal ini menurutnya karena masyarakat saat ini semakin hari semakin menunjukkan keinginan untuk serba cepat dan instan. Nah, salah satu yang yang bisa mendukung mobilitas masyarakat tersebut adalah minuman cepat saji. Karena minuman model seperti ini selain praktis juga bisa didapatkan di mana saja.
Dalam meracik ramuan teh cepat saji ini, Raihan mengandalkan racikannya sendiri. Ia membeli daun teh setengah matang dari pemasok langganannya, kemudian ia kelola sendiri dan kemudian ia mix dengan yoghurt atau susu fermentasi. Ada banyak pilihan rasa yang ditawarkan dari minuman racikan Raihan, ada rasa strowberi, rasa cokelat, juga ada rasa lemon.

Kesuksesan Bisnis Minuman Victor Giovan Raihan
Dengan modal awal 3 juta rupiah, terhitung saat ini bisnis yang dikelola Victor Giovan sangat sukses dan berkembang dengan pesat. Saat ini menurut Victor, per outlet dari teh cepat sajinya mampu menghasilkan antara 2 juta sampai 3 juta per bulan.
Kini, anak sulung dari dua bersaudara ini mampu mengembangkan bisnis nya dengan mempunyai 10 gerai yang ia tangani secara langsung dan 17 outlet yang dikelola oleh para rekan bisnisnya. Rekan bisnis nya tersebar di berbagai sudut di Kota Malang dan ada beberapa juga di Palembang dan Jakarta. Untuk bisa menjadi rekan bisnisnya, Victor mematok harga 3,5 juta rupiah dengan mendapatkan satu paket gerobak dan 100 cup gelas kemasan beserta alat masaknya sekalian.
Untuk saat ini, kapasitas produksinya bisa menghabiskan 20 kg daun teh kering yang bisa dibuat menjadi 70 gelas dan 4 kg gula per harinya per outlet. Ke depan ia ingin melebarkan sayap bisnis nya dengan membuk mitra baru di kota – kota besar seperti di Surabaya atau juga di Sidoarjo. Segelas teh yang ia jual dihargai 2.000 sampai 2.500 rupiah per kemasan 250 ml.
Perkembangan Bisnis Victor Giovan Raihan
Saat ini Victor Raihan berhasil memberi lapangan kerja untuk 50 orang karyawan. Sebenarnya selain teh yoghurt, Victor juga mengelola bisnis bakso. Menurut nya, keuntungan yang berhasil ia dapatkan dari teh kemas ini mencapai 350 persen. Sebuah bisnis yang sangat menjanjikan menurutnya jika dibandingkan dengan bisnis bakso yang “hanya” mendapatkan keuntungan mencapai 100 persen.
Sebuah kisah yang sangat menginspirasi yang patut kita jadikan contoh. Jangan terpaku pada usia untuk memulai sebuah usaha atau bisnis, segera realisasikan rencana dan ide Anda dalam berbisnis. Jangan khawatirkan apapun, yang penting semuanya dikonsepkan dengan baik dan dituangkan dalam master plan bisnis yang sistematis.

Reza Nurhilman, Sang Presiden Keripik Pedas Maicih
Tak pernah terbayangkan oleh Reza Nurhilman jika perkenalannya dengan seorang nenek tiga tahun lalu menjadi awal kesuksesannya berbisnis. Pemuda 23 tahun ini menceritakan bagaimana ia bisa menemukan resep keripik singkong "setan" Maicih, yang kini menjadi perbincangan hangat di dunia maya dan tenar di kalangan anak muda Bandung.
Sekitar 2008, Reza diajak oleh seorang temannya ke daerah Cimahi dan mencicipi keripik buatan si nenek yang enggan ia sebutkan namanya. "Saya cicipin keripiknya dan memang enak," kata Reza atau biasa disebut Axl, Presiden Keripik Maicih, saat berbincang dengan Tempo di salah satu kafe di Bandung.
Saat itu bungsu dari tiga bersaudara ini masih bekerja serabutan. Sesekali ia mengikuti pelatihan motivasi sumber daya manusia. Ia belum terpikir akan menggeluti bisnis itu. Baru pada Juni tahun 2009, Axl kembali mengunjungi rumah nenek itu. Ia melihat si nenek hanya membuat keripik pada saat-saat tertentu dan pemasarannya amat terbatas. Terlintas dalam pikirannya untuk membangun usaha menjual keripik.
"Saya menanyakan resep keripik buatannya dan nenek tidak keberatan saya juga membuat keripik dengan resep sama," ia menjelaskan.
Dengan bermodal Rp 15 juta, Axl mulai memproduksi keripik yang diberi merek Maicih sebanyak 50 bungkus per hari. Ia membuat perbedaan tingkat kepedasan dari level 1 hingga level 5. "Saya mulai ngider memasarkan keripik dengan memberikan sampel ke teman, saudara, memanfaatkan Twitter dan Facebook," katanya.
Pada 11 Februari 2010, di Paris Van Java Mall, Bandung, digelar acara trademark market. Kesempatan ini digunakan Axl untuk meluaskan pasar keripik Maicih. Ia merasa terbantu oleh berlangsungnya acara itu. Pasarnya bertambah. "Artis dan para pejabat jadi tahu dan penasaran dengan keripik Maicih," katanya.
Nama Maicih, kata mahasiswa Manajemen Universitas Maranatha Bandung ini, diambil dari istilah dompet kecil yang suka dipakai ibu-ibu. Nama ini juga mengundang rasa penasaran konsumen karena terdengar nyeleneh. Pemasarannya dibantu oleh teman-temannya di sekolah menengah atas dan saudaranya. Walhasil, peminat keripik Maicih mulai banyak. "Awalnya karena penasaran dengan nama Maicih-nya," ucapnya.
Dalam sebulan, respons atas keripik itu mulai bermunculan. Kebanyakan mengomentari penyedap rasa yang amat dominan. "Saya langsung memperbaikinya karena enggak mau kehilangan pelanggan," ujarnya. Axl juga mulai mengenal selera pelanggan. "Lebih banyak yang suka keripik dengan kepedasan dari level 3 sampai 5," katanya. "Ada juga yang level 10, sangat pedas, tapi itu limited edition, gak diproduksi setiap hari."
Dalam menjalankan usahanya, Axl menerapkan prinsip totalitas, loyalitas, dan sinergi. Ia berharap kepercayaan pelanggan terjaga dan kekompakan tim pemasaran tetap berlangsung. Loyalitas terhadap keripik Maicih ini mendorong mereka membentuk satu komunitas yang bernama Icihers. Komunitas ini kebanyakan perempuan. Mereka amat aktif menyebarkan informasi tentang keripik Maicih.

Axl mengucapkan rasa terima kasihnya kepada kolega, saudara, dan para Icihers yang telah loyal memasarkan keripiknya. "Sehingga semakin banyak orang yang 'tericih-icih' (istilah ketagihan keripik Maicih)," ujarnya.
Namun bukan berarti perjalanan bisnis Axl selalu berjalan mulus. Pada November tahun 2010, keripik Maicih tidak diproduksi akibat kurangnya alat penggorengan yang masih memakai tungku. "Pelanggan makin banyak tapi kapasitas penggorengan kurang," kata dia. Selama sebulan ia harus memperbaiki tunggu itu.
Saat ini dalam sehari ia bisa memproduksi 2.000 bungkus. "Selalu habis," ujar Axl. Ia berencana akan menambah jumlah produksi mencapai 10 ribu bungkus per hari. Axl, yang berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu, tak menyangka usahanya bakal sesukses ini. Saat ini omzet penjualan keripik Maicih dalam sehari mencapai Rp 22 juta dan dalam sebulan bisa mencapai 7 milyar. Harga keripik dibanderol antara Rp 11 ribu dan Rp 15 ribu untuk luar Bandung.
Pelanggan di luar Bandung juga bisa memesan Maicih melalui sistem online di ngiderngiler.com. Dalam waktu dekat, Axl juga akan membuat wardrobe Maicih berupa kaus dan merchandise. "Saya ingin Maicih menjadi ciri khas Jajanan Bandung," kata dia.

RIZKA WAHYU ROMADHONA,- Pemilik LAPIS BOGOR SANGKURIANG
Oleh karena sudah diniatkan ingin memiliki usaha, tak ada rasa kapok dalam diri Rizka untuk berbisnis lagi. Pilihannya berbisnis kue didasarkan pada kenyataan bahwa Bogor, tempat tinggalnya selama ini, dikenal sebagai kota pariwisata. Tiap akhir pekan selalu macet oleh wisatawan. Dari situ Rizka berfikir, jika ia bisa menjaring 10 persen saja dari wisatawan itu untuk membeli produknya, hasilnya sudah sangat lumayan. Ia pun sengaja memilih talas sebagai bahan dasarnya, karena kota Bogor juga identik dengan talas. Maka tak ada salahnya untuk memanfaatkannya. Dengan pengolahan yang baik, talas pun bisa dijadikan makanan yang modern. Terlebih selama ini belum ada yang mengolah talas menjadi kue lapis, hanya sebatas keripik dan gorengan saja.
Sebetulnya, Rizka yang merupakan alumni Tehnik Elektro ITS Surabaya ini tidak terlalu pandai membuat kue.  Satu-satunya kue yang mampu ia buat hanyalah kue lapis Bogor ini. Itu pun setelah terlebih dahulu belajar dari ibunya yang kebetulan memang suka membuat kue rumahan. Setelah itu, ia memodifikasinya sendiri. Sekitar sebulan lamanya ia belajar, seminggu bisa sampai tiga kali ia terus mencoba-coba membuat kue modifikasi dari talas.
Pertama kali ia membuat kue, hasilnya bantat. Terkadang juga terlalu manis. Awalnya hanya kerabat dekat yang diminta untuk mencicipi. Ia pun selalu memperbaiki kuenya berdasarkan saran dari para kerabatnya itu. Setelah itu, gantian para tetangganya yang diminta untuk mencicipi. Ternyata menurut mereka hasilnya enak, bahkan mereka juga mulai memesan. Sejak itulah, Rizka dan suaminya mulai serius berjualan kue lapis talas Bogor.


Rizka memulai bisnisnya ini dengan modal yang sangat terbatas, hanya Rp 500 ribu, yang merupakan sisa dari bisnis baksonya. Uang itu ia belikan bahan baku dan alat pengukus. Ia menggunakan tepung talas yang dibelinya dari toko langganan di pasar yang harganya sangat murah. Oleh karena dikerjakan sendiri bersama suaminya, awalnya produksi dimulai dari pukul 06.00 hingga pukul 04.00 keesokan harinya.
Setelah mendapat pesanan dari para tetangganya, Rizka lalu mulai menawarkan kuenya ke teman-teman kampus, keluarga lain, kelompok pengajian, dan komunitas lain, seperti komunitas entrepreneur. Lalu ia juga mencoba masuk ke instansi pemerintah. Ketika berhasil masuk ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ia mendapat respons yang sangat baik, bahkan ditawari menjadi mitra binaan. Dari situ ia sering diajak pameran dan mendapat berbagai pelatihan.
Rizka pun juga mencoba masuk ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, karena di kemasan kue lapisnya tercantum slogan “Visit Bogor”. Ternyata respons-nya juga positif. Ia lalu dikenalkan ke Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota dan Kabupaten Bogor, yang langsung memfasilitasi penjualan produknya. Ketika PHRI mengadakan sebuah acara, ia selalu diundang untuk ikut meramaikan. Misalnya, ketika ada diklat di sebuah hotel selama tiga hari, ia diundang di hari terakhir untuk berjualan dengan sistem bagi hasil.
Semula Rizka hanya menawarkan satu varian kue lapis, yakni lapis Bogor talas. Tapi saat ini sudah ada lapis Bogor keju, lapis Bogor brownies talas, dan lapis Bogor green tea. Dalam proses produksinya pun saat ini ia juga berusaha meminimalisir sentuhan tangan. Jadi hampir semua proses menggunakan mesin, termasuk mengolah krim lapisannya.
Saat ia mengikuti berbagai pameran untuk menjual produknya, respons yang diterima dari masyarakat juga sangat positif. Awalnya, ia hanya menggunakan kemasan plastik mika warna cokelat yang ditempeli stiker. Namun setelah mengikuti beberapa pelatihan, ia baru menyadari bahwa kemasan yang menarik juga sangat penting. Akhirnya, ia pun mulai mengganti kemasannya dengan menggunakan boks. Hasilnya, orang jadi makin tertarik dan lonjakan penjualannya pun semakin lumayan.
Awalnya, per hari hanya dua boks yang terjual, lalu perlahan mulai meningkat hingga mencapai 50-100 boks per hari. Rizka pun mulai berani membuka outlet di Jalan Baru (Jalan Soleh Iskandar), Bogor di Desember 2011. Empat bulan kemudian, ia membuka outlet lagi di Jalan Pajajaran dan di Puncak pada Desember 2012. Sekarang ia juga sudah punya pabrik sendiri di daerah Tanah Baru, Bogor. Kini kue yang bisa terjual sudah di atas 2000 boks per harinya, dengan harga Rp 25-30 ribu per boks.
Rizka tentu saja tak bisa melupakan peran media yang membuat usahanya bisa berkembang dengan pesat seperti saat ini. Tadinya, outlet yang teletak di Jalan Baru dibagi menjadi dua ruangan. Satu untuk produksi, dan satunya lagi berfungsi sebagai toko. Namun lama kelamaan tempatnya sudah tak mencukupi lagi karena jumlah pembeli dan produksi makin banyak. Saat membuka outlet di Jalan Pajajaran, akhirnya produksi sempat dipindahkan ke sana dengan memanfaatkan ruang di lantai basement yang kebetulan tersedia. Dan lagi-lagi, tempatnya tidak mencukupi. Akhirnya ia pun membangun pabrik khusus di daerah Tanah Baru. Meski hanya seluas 400 m2, namun sanggup memenuhi kebutuhan produksinya.


Ciri khas lapis Bogor buatannya adalah tentu saja dari bahannya yang menggunakan talas, teskturnya juga sangat lembut, dan rasanya tak terlalu manis. Biasanya kue lapis Bogor buatannya sering dijadikan oleh-oleh, arisan, rapat, atau untuk dikonsumsi sendiri.
Dalam menjalankan usaha, tentu saja ada beberapa kendala yang kerap ditemui Rizka. Mulai dari saat memulai usaha dengan kendala modal yang terbatas, maka untuk penjualannya pun juga masih sangat terbatas, karena tak langsung bisa membuka outlet. Bersama suaminya ia pun harus bergerilya dari satu kantor ke kantor lain untuk memasarkan kuenya. Kendala lain yang terjadi saat ini terletak pada sumber daya manusia dan ketersediaan mesin pengukus. Mesin yang dimilikinya saat awal merintis usaha sudah tidak memadai lagi jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan produksi sekarang.
Rizka pun segera mengatasinya dengan menambah 15 mesin tambahan lagi dengan kapasitas 96 loyang per mesin untuk sekali pengukusan. Sekarang ini, kue yang diproduksinya memang cepat sekali habis, meskipun dalam sehari, beberapa kali dikirim dari pabrik. Dua minggu sebelum lebaran, pembeli bisa antre sejak pukul 06.00 sampai sepanjang 200 meter, meskipun outlet baru dibuka pukul 07.00. Agar pembeli tetap tertib, Rizka pun sekarang menerapkan sistem nomor antrian.
Semula Rizka memang tidak pernah membatasi orang yang ingin membeli kue di outletnya. Namun ia mendapatkan kenyataan banyak orang yang sekali beli sekaligus dalam jumlah banyak, yang membuat kuenya langsung habis dalam waktu satu jam sejak dikirim dari pabrik. Sehingga banyak pembeli berikutnya yang tidak kebagian, terutama wisatawan yang datang dari luar kota di akhir pekan. Tentu saja hal ini sangat mengecewakan mereka.
Ternyata, pun orang yang membeli dalam jumlah banyak itu lalu menjualnya kembali dengan mobil di tempat parkir depan outletnya. Maka oleh karena itu, sejak September 2012 ia membatasi jumlah pembelian, maksimal hanya lima boks per orang. Ini juga sekaligus untuk mengurangi orang yang menjual lagi kue lapisnya, sehingga lebih banyak orang yang kebagian.
Orang-orang yang menjual kuenya lagi di luar, tentu saja dapat memberikan pengaruh yang kurang baik untuk usahanya. Mereka tentu saja akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, sehingga orang lain pun jadi malas beli. Selain itu, kue yang dijual di luar juga tidak bisa dijamin kualitasnya, karena bisa saja terkena debu atau sudah berumur beberapa hari. Padahal kue lapis Bogor buatannya ini tidak menggunakan pengawet, sehingga rentan terhadap panas. Jika biasanya masa kadaluarsanya empat hari, bisa jadi akhirnya cuma dua hari karena dijual di tempat yang terkena sinar matahari.
Soal masalah kadaluarsa, Rizka mengaku pernah mendapatkan komplain dari pembeli. Ada pembeli yang setelah kue dibawa ke luar dari tokonya dalam kondisi panas, lupa dikeluarkan dari dalam mobil. Akhirnya, dalam dua hari saja kuenya langsung berjamur. Pernah juga ada orang yang komplain terhadap kualitas kuenya, padahal ia membelinya di luar outlet resmi.


Selain menjual langsung melalui outlet, Rizka juga mempunyai strategi pemasaran lain yang ia gunakan untuk meluaskan penjualan produknya. Yakni dengan memanfaatkan jejaring media sosial, melalui akun Facebook Lapis Bogor dan Twitter @LapisBogor. Dulunya, ia juga pernah memakai sistem layan antar. Pernah ada seorang ibu hamil di Bandung yang ngidam ingin makan kue lapisnya. Akhirnya ia kirimkan. Namun sampai sana ternyata kuenya berantakan. Sejak itu, layanan itu pun dihentikan, dan lebih memilih fokus menjual di Bogor saja.
Rizka juga tidak ingin mewaralabakan usahanya, meskipun banyak sekali yang menawarkan. Ia tetap ingin mengelola sendiri usahanya. Saat ini karyawannya sudah sekitar 100 orang. Bila dulu hanya ia dan suaminya yang mengelola, sekarang sang suami hanya mengurusi operasional, sementara ia mengurusi manajemennya.
Usaha yang digeluti Rizka ini juga telah membuahkan penghargaan, antara lain pada Wirausaha Muda Mandiri 2012 untuk regional Jabodetabek dan Wanita Wirausaha Mandiri 2013 dari sebuah majalah wanita. Selain itu ia juga sering diminta pihak Istana Negara di Bogor dan Cipanas untuk mengisi berbagai acara. Ketika ibu Ani Yudhoyono berulang tahun beberapa waktu yang lalu, kuenya sempat dijadikan sebagai souvenir. Selebritis pun banyak juga yang membeli kue di outletnya. Mereka umumnya tahu dari media dan sosial media. 
Rencana berikutnya, Rizka ingin membuka outlet yang sekaligus menyatu dengan rumah makan. Di dalam rumah makan itu nantinya akan diisi dengan iringan alunan musik tradisional Sunda. Ia aka mengajak kerja sama dengan seorang budayawan Bogor untuk mewujudkan idenya ini.
Bila melihat ke belakang, Rizka tentu saja tidak pernah membayangkan usahanya ini akan sukses cepat. Namun yang jelas, dari usahanya yang berjalan bagus ini, rumahnya tidak jadi disegel oleh pihak bank, walau sudah sempat dipasangi pengumuman ‘akan dijual’.

Rezha Noviana, Bandung Foodtruck
Tak hanya untuk urusan kuliner, Bandung juga tersohor dengan beragam komunitasnya. Komunitas Foodtruck Bandung menjadi salah satu komunitas yang menggabungkan kedua unsur tersebut.
Foodtruck sendiri dalam bahasa Indonesia berarti dapur berjalan. Jika pada umumnya orang berjualan dilakukan di tempat yang menetap, seperti restoran, kedai, kafe, maka tidak demikian dengan yang dilakukan di komunitas ini. Para pengusaha kuliner di komunitas menjalankan usahanya dengan menggunakan mobil telah dimodifikasi secara khusus untuk aktivitas berjualan. Sehingga semua aktivitas mulai dari menjajakan makanan hingga memasak dilakukan di dalam kendaraan.
Komunitas ini sendiri resmi berdiri pada 3 Maret 2014. Komunitas menjadi wadah bagi para pengusaha kuliner di Kota Bandung.
"Awalnya kami masih melakukan aktivitas berjualan masing masing. Kami ketemu pas acara pertama Braga Culinery Night January 2014 dan kami belum saling kenal. Dari situ kemudian kami mulai sering ketemu dan mulai tercetus ide untuk mendirikan komunitas Bandung Foodtruck hingga akhirnya berdiri 3 Maret 2014," ujar Ketua Komunitas Bandung Foodtruck Rezha Noviana.

Awalnya anggota di komunitas masih beberapa, karena memang pengusaha kuliner yang bergerak di bidang ini masih jarang. Namun seiring berjalannya waktu ternyata banyak juga pengusaha kuliner 'foodtruck' di Kota Bandung dan akhirnya bergabung. Saat ini tercatat ada sekitar 30 anggota di komunitas ini.
Dalam menjalankan aktivitas berdagangnya, orang-orang di komunitas selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain alias nomaden. Barang tentu kendaraan roda empat mereka dijadikan sebagai lapak-lapak berjualan.
Untuk menarik para pengunjung mereka memodifikasi kendaran mereka seunik mungkin. Paduan warna warni yang meriah menjadi ciri khas mereka. Namun uniknya masing masing memiliki karakteristik khas masing masing.
Masing-masing anggota komunitas menawarkan beraneka mulai dari makanan tradisonal hingga modern. Sebut saja cireng, kue cubit, ketan, susu murni dan beragam produk lain.
Untuk mempermudah pembeli mengetahui produk yang dijual, mobil-mobil mereka dilengkapi dengan papan nama yang menjadi ciri khas. Nama-nama itu seperti Wildwings, Dim Sum Soe, Bobogi drinks & dessert, Bakso Balap, Cuppa Joe Coffe, Breadpit Corner, Cireng Galing Nyi Sinden dan lainnya.
Masing masing anggota punya ciri khasnya masing-masing dan produk yang ditawarkan juga berbeda beda., kata Rezha.
Komunitas Bandung Foodtruck sering diundang ke berbagai acara tentunya untuk berdagang. Undangan tak hanya datang dari Bandung tetapi juga hingga ke luar kota seperti Karawang, Cirebon, Jakarta hingga ke Tegal.
"Jadi kalo ada acara kami sering konvoi, jalan bareng. Justru serunya di situ kalau ada acara. Dan di sini meski kami jualan, rasa kekeluargaannya itu terasa sekali," ucap Rezha.
Untuk memudahkan para pecinta kuliner menemukan keberadaan mereka, komunitas ini memiliki akun media sosial. Masyarakat dapat melacak keberadaan mereka di akun media sosial. Untuk twitter akun @BDGfoodtruck dan untuk instagram bdgfoodtruck.

Ferry Tristianto, Ownernya Floating Market, Tahu Lembang, dan Rumah Strawberry
Salah satu cara untuk meraih kesuksesan dalam berbisnis adalah harus bisa menciptakan pasar. Prinsip inilah yang dipegang oleh Perry Tristianto dalam menjalani kariernya sebagai wirausaha dan mengantarkannya menikmati kesuksesan sebagai pebisnis.
Mulanya, lelaki kelahiran 57 tahun silam ini tak pernah menyangka bisa menjadi pengusaha sukses. Hal ini dikarenakan ia memulai karier sebagai karyawan di sebuah perusahaan rekaman. Karier menjadi pengusaha ia pilih saat dirinya memutuskan mundur dari perusahaan rekaman tersebut, pada tahun 1988. Padahal, saat itu Perry menjabat sebagai Presiden Direktur Alpine Record.
Setelah tak memiliki pekerjaan, Perry memilih berbisnis kaos dengan jaringan yang dimilikinya, antara lain C-59. Ia kemudian menjual kaos-kaos tersebut di toko kaset se-Indonesia yang telah mengenal dirinya. "Dulu belum ada kaos yang dijual di toko kaset.
Maka saya jual kaos disana. Hal ini saya lakukan sebagai salah satu cara untuk menciptakan pasar. Karena, kita akan sukses apabila bisa menciptakan pasar, bukan memasuki pasar," kata dia. Tak hanya menjual kaos di toko kaset, Perry juga mencoba peruntungannya dengan menjual kaos di parkiran Rindu Alam, Bogor sekitar 1988-1990.
Sebelum menjajakan produknya, Perry terlebih dahulu melakukan riset kecil-kecilan, membaca selera pasar agar produknya laris manis di pasaran. Saat itu, masyarakat Jakarta lebih banyak menggandrungi musik Jazz, Perry pun memilih memproduksi kaos bernuansa Jazz. Tak ayal, kaos produksi Perry pun digemari oleh masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut. Meski demikian, rasa malu juga pernah menghinggapi Perry. Untuk menutupi rasa malu dalam berdagang, ia kerap mengajak pembantunya saat berdagang di pinggir jalan. "Saya dulunya Presiden Direktur pasti ada rasa malu. Namun, saya memiliki banyak strategi untuk mengatasi rasa malu," ungkapnya. Tak hanya menjual kaos di pinggir jalan dan toko kaset, ayah dua anak ini juga mengembangkan bisnis pakaian di luar kota, seperti Bekasi, Depok, dan Cimone.
Ia memilih menyewa rumah di Perumnas sebagai tempatnya berdagang. Kaos yang dijajakan Perry pun sangat beragam, mulai dari baju kantor, baju tidur, hingga pakaian sehari-hari. "Saya memiliki 14 tempat dan target pasar saya adalah masyarakat di perumahan. Ini pasar yang menarik waktu itu karena masyarakat sekitar sangat nyaman berbelanja di toko saya. Target pasar saya adalah mereka yang memakai sandal jepit dan berbaju daster. Kalau saya buka di mall, ongkosnya mahal dan kenyamanan mereka dalam berbelanja berkurang," papar dia. Hebatnya, dalam menjalankan bisnis tersebut, Perry mengaku tak pernah mengeluarkan modal banyak. Ia mendapatkan kepercayaan dari supplier. Oleh karena itu, yang paling penting bagi dirinya adalah menjaga kepercayaan supplier. "Modal awal usaha memang ada, sekitar Rp 2 juta.
Ibu saya yang pinjam dari BCA," ungkap dia. Menyulap kawasan Dalam meraih kesuksesannya, pria lulusan Stanford College, Singapura ini selalu berupaya membuka dan menciptakan pasar. Ia tak pernah memasuki pasar. Pasalnya, keuntungan yang diperoleh dari menciptakan pasar akan lebih besar ketimbang memasuki pasar. "Saya lebih senang menciptakan pasar, karena harga sangat tergantung oleh kita sebagai konseptor, sebagai pencipta.
Kalau memasuki pasar, maka kita harus mengikuti harga yang berlaku di pasar," ucap Perry. Tak hanya itu, ia juga bisa mengubah jalanan yang semula sepi menjadi jalanan ramai. Hal ini dilakukannya demi untuk menciptakan pasar. "Jangan pernah berjualan di tempat yang sama atau sudah ramai," ucap dia. Perry berhasil mengubah jalan Sukajadi yang sepi menjadi ramai dengan jualan factory outlet. Setelah jalan Sukajadi ramai, ia pindah ke jalan Dago.
Lalu, pindah lagi ke jalan Riau pasca Dago ramai pengunjung. Ia juga sukses menyulap kawasan Geger Kalong hingga Lembang di Bandung menjadi tempat yang ramai. Ia mampu mendirikan Kampung Bakso, Rumah Sosis, Tahu Susu Lembang, Floating Market, dan Farm House. "Padahal dulunya kalau bersantap kuliner di Bandung hanya ada di daerah Dago ke atas," kata Perry. Perry mengungkapkan produksi tahu Susu Lembang buatannya ini sukses digandrungi masyarakat karena produknya terbilang unik.
Perry hanya mencampurkan proses pembuatan tahu dengan susu yang dihasilkan di Lembang. Harga jual tahu susu juga lebih tinggi, sebesar Rp 2.500 per buah. Memerhatikan packaging Selain Tahu Susu Lembang, Perry juga sukses memperkenalkan Tahu Mentega. Padahal, proses pembuatannya sama dengan yang dilakukan saat membuat tahu sutera. "Saya hanya mengganti nama produknya saja menjadi Tahu Mentega dari Tahu Sutera.
Hasilnya, Tahu Mentega laris di pasaran," cerita Perry. Bisnis Perry berhasil karena ia lebih banyak menyasar wisatawan yang datang ke Bandung. Hal ini dilakukan karena spending wisatawan jauh lebih besar ketimbang warga lokal. "Packaging dalam berbisnis juga adalah hal yang penting. Seperti Rumah Sosis, misalnya. Packaging-nya adalah rumah.
Sedangkan sosis adalah hal yang sudah umum. Jeli dalam hal menciptakan pasar, menciptakan brand dan juga menciptakan packaging yang menarik, ini yang saya lakukan sampai sekarang," jelas Perrry. Selain itu, packaging yang sukses dilakukan Perry adalah saat membuat House of Strawberry di Cihanjuang, Bandung.
Ia mengusung konsep memetik strawberry sendiri dengan harga Rp 45 ribu per kilogram (kg). Padahal, strawberry dijual di pasar seharga Rp 15 ribu per kg. Konsep yang diusung Perry ini ternyata laris. Setiap akhir pekan, banyak keluarga yang meluangkan waktu untuk memetik strawberry.

Reza Nurhilman, Kripik Maicih
Belasan tahun yang lalu, bisnis di Indonesia dapat dikatakan sulit. Kebanyakan orang masih  lebih memilih untuk menjadi pekerja daripada memiliki bisnis sendiri. Hal tersebut karena kekhawatiran gulung tikar pada usahanya. Jangankan anak muda, bahkan orang dewasa pun masih kesulitan mengelola bisnisnya.
Belasan tahun yang lalu bisa dikatakan peluang bisnis di Indonesia tidak sebaik sekarang. Hal inilah yang menjadikan kebanyakan orang sekarang bersemangat untuk memilih berbisnis.
Banyak orang Indonesia, utamanya anak muda yang lebih memilih bersaing dalam dunia bisnis daripada bekerja di kantoran.
Perkembangan teknologi pun menjadi sarana yang menggiurkan bagi penggila bisnis. Apalagi dengan adanya media sosial yang dengan mudah mereka dapat mengiklankan produknya.
Dengan modal niat, kemauan, dan juga kerja keras menjadikan bisnis orang-orang berkembang pesat. Seperti yang kini dirasakan oleh Reza Nurhilman, pendiri Maicih yang merupakan perusahaan keripik singkong pedas terbesar di Indonesia.

Perjalanan Reza Nurhilman Sebelum Menjadi Presiden Maicih
Reza Nurhilman adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia lahir pada tanggal 29 september 1987 di Bandung. Pria yang akrab disapa dengan sebutan AXL ini dibesarkan oleh orang tua angkatnya di Cimahi.
Reza menjadi seorang yang begitu mandiri, pantang menyerah, dan pekerja keras dalam berbagai hal karena tak diisi dengan figur ayah sejak ia masih anak-anak.
Masa-masa SMA merupakan masa yang amat berharga bagi diri reza. Masa permulaan sapaan AXL melekat pada dirinya.
Sebutan AXL dari reza bermula dari kecintaannya terhadap vokalis Gun ‘n Rose, yaitu Axl Rose. Ia mengenal band tersebut dan kemudian bergabung dengan kelompok pencinta musik Gun ‘n Rose.
Pada masa SMA hingga usai lulus, Reza mengalami banyak perguncangan. Perguncangan yang ia alami bermula dari tahun 2005 hingga 2009.
Reza yang tidak langsung melanjutkan kuliah karena biaya yang kurang mencukupi, menjadikannya sosok yang mandiri. Ia memutuskan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang guna melanjutkan pendidikannya.
Reza berjuang begitu keras mengumpulkan modal untuk memulai usaha. Beberapa diantaranya adalah menawarkan berbagai macam produk-produk elektronik.
Ia menawarkan ke banyak orang yang ia temui, utamanya teman-teman dan orang-orang yang ia kenal.
Inilah masa dimana ia memasuki kerasnya pergaulan, hingga proses yang ia jalani menjadikan ia sebagai sosok yang begitu luar biasa.
Reza berubah menjadi seorang yang memiliki visi besar dalam hidupnya, ia pun mulai berani untuk memiliki impian tinggi.

Asal Mula Nama dan Penemuan Keripik Maicih
Awal mulanya, Reza diajak oleh temannya ke Cimahi dan mencicipi keripik lada pedas yang dibuat oleh salah seorang nenek. Saat mencicipinya, Reza merasakan sesuatu yang berbeda dari keripik buatan nenek tersebut.
Ia menganggap keripik itu enak dan kemudian mulai menyukainya. Namun sayangnya, keripik buatan nenek tersebut tidak dipasarkan dan hanya diproduksi ketika ada momen tertentu saja.
Karena itu kemudian Reza berinisiatif untuk membuatnya sendiri. Ia mulai menggeluti keripik yang dibuat oleh nenek yang dikenalnya di Cimahi tersebut. Dengan optimis, ia menanyakan resep kepada sang nenek.
Dan beruntungnya, sang nenek pembuat keripik tidak keberatan untuk beragi resep keripik lada pedasnya pada Reza.
Bahkan sang nenek membiarkan Reza untuk memroduksi dan menjual keripik yang sama dengan resep yang diberinya. Inilah awal mula keripik Maicih diproduksi oleh Reza.

Tidak ada arti yang begitu dalam dari nama Maicih untuk keripik produksi pria yang kerap dipanggil dengan sebutan AXL ini.
Nama keripik ini ada hubungannya dengan nenek pembuatnya, karena nenek ini terkenal dengan ke-icihannya dengan selalu memakai ciput di kepalanya.
Ia menamainya dengan Maicih lantaran nama tersebut nyeleneh dan mudah untuk dilafalkan dan dihafalkan.

Perjalanan Keripik Maicih Reza Nurhilman
Dengan awal modal 15 juta dari hasil kerja keras yang ia kumpulkan, Reza AXL memulai usaha keripik lada pedasnya. Pada tahun 2010, ia bekerjasama dengan produsen keripik pedas di Cimahi.
Pria kelahiran Bandung ini mulai memproduksi Maicih hingga sebanyak 50 bungkus per harinya.
Pada saat itu ia memproduksi keripik singkong pedas dengan beberapa varian level kepedasan 1-5. Tak hanya itu, ia juga memproduksi bakso goreng untuk ia jajakan.
Reza menjual dan memasarkan keripik pedas dan bakso gorengnya ini dengan cara berkeliling. Selain itu, ia juga memasarkannya dengan memanfaatkan akun sosial media dengan hashtag #maicih.
Semakin lama, keripik singkong pedas produksi Reza AXL ini semakin berkembang dan dikenal oleh masyarakat. Bahkan keripik pedas kebanggaannya ini menjadi camilan wajib yang enak.
Dengan semakin banyaknya peminat yang dimilikinya, akhirnya Reza menaikkan level dari 1-5 menjadi 1-10. Ternyata cara reza ini berhasil meningkatkan kapasitas produksi keripik pedas Maicihnya hingga 2000 bungkus per harinya.
Dengan usianya yang dapat dikatakan masih muda pada saat itu, ia berhasil meraup untuk yang lumayan banyak dari usahanya.
Keripik Maicih menghasilkan omset 800 hingga 900 juta per bulan. Jika diestimasikan, maka pendapatan Reza per harinya adalah sebesar 30 juta rupiah per hari.
Pada bulan Juni tahun 2010, perusahaan berbasis UKM (Usaha Kecil Menengah) didirikan dengan nama CV. 29 Synergi.
Perusahaan ini kemudian berkembang dan dikenal masyarakat dengan merek dagang “Maicih” pada bulan Februari tahun 2011. Pada saat itu diliput oleh salah satu acara di stasiun TV di program Realita Bingkai Berita.
Senjata utama yang Reza dan tim gunakan untuk pemasarannya adalah melalui akun twitter resmi dari perusahaannya yang diberi nama @infomaicih.
Pada tahun 2011 pula Reza Nurhilman mengubah CV menjadi PT sebagai payung hukumnya, dan diberi nama PT. Maicih Inti Sinergi. Untuk menghindari pemalsuan produk Maicih, maka logo Maicih pun dipatenkan hak ciptanya.
Strategi Pemasaran Keripik Maicih
Pemasaran Maicih yang begitu cepat booming tidak terlepas dari strategi promosi penjualan yang dijalankan oleh Reza Nurhilman. Ia memanfaatkan akun-akun media sosialnya seperti twitter dan facebook untuk memasarkan dan meraup keuntungan dari produknya.
Dengan menggunakan jejaring sosial ini ia memberitahu konsumen dimana lokasi keberadaan para jenderal (agen) keripik pedasnya untuk menjajakan produknya.
Selain itu, ada pula cara unik yang Reza lakukan untuk memasarkan keripik Maicihnya. Salah satu cara kreatifnya yang membuat konsumen tertarik adalah dengan jargon khusus ketika berkomunikasi melewati media sosial.
Khusus untuk pelanggan, mereka akan disapa dengan sebutan ‘Cucu’ dan istilah bagi produsen keripiknya adalah ‘Emak’.
Reza AXL juga memberikan sebutan bagi para agen penjualan atau reseller keripik pedasnya yaitu ‘Jenderal’.  Para jenderal Maicih melakukan pemasaran dengan cara direct selling.
Untuk penggemar keripik pedas maicihnya, ia beri sebutan ‘Ichiers’. Untuk perusahaannya, ia beri sebutan ‘Republik Maicih’. Dan untuk menggambarkan bahwa pelanggan suka dan ketagihan dengan keripiknya, adalah dengan sebutan ‘Tericih-icih’.

Keberhasilan dan Pencapaian Reza Nurhilman
Kunci kesuksesan yang diraup oleh Reza ALX terletak pada bagaimana ia dapat berfikir secara ‘Out of the Box’.
Hal ini terbukti dengan usaha yang dijalaninya sekarang menjadi bahan perbincangan anak muda yang penasaran akan rasa keripiknya.
Para jenderal Maicih dibebaskan untuk berinovasi dalam pemasarannya. Sebelum dinobatkan menjadi jenderal, ternyata ada ada wawancara yang harus dilewati  di Bandung.
Setelah itu jika lulus akan ada materi seputar team work, character building, soft skill, dan sebagainya yang dinamakan Axl Academy (Akademi Jenderal Maicih).
Dengan itu dapat dinilai bahwa Reza tak hanya mementingkan penjualannya, tetapi juga kualitas sumber daya manusianya.
Karena ada begitu banyak kompetitor dengan varian level yang sama, Reza dan tim kemudian menciptakan varian yang baru.
Selain itu, Republik Maicih juga aktif menjadi pembicara dalam seminar dan juga workshop, menjadi narasumber di berbagai media cetak maupun online, dan lain sebagainya.

Keberhasilan reza dengan keripik kebanggaannya, membuahkan karya. Reza ALX menulis sebuah buku berjudul ‘Revolusi Pedas Sang Presiden Maicih’.
Buku tersebut ia dedikasikan untuk orang-orang yang berambisi untuk sukses. Ia berharap dapat menginspirasi anak Indonesia untuk berjuang dalam meraih impian.

Bapak Sjukur (alm.) dan Ny. Sumiwiludjeng, Pasangan Pendiri Brownies Amkamu
Dari Coba-Coba, Hasilnya Luar Biasa
Jika berpesiar ke Bandung, tak lengkap rasanya jika tidak mencoba Brownies Kukus Amanda. Makanan legit nan empuk itu ternyata hasil karya wanita Jombang, Sumiwiludjeng (69). Dijual secara sederhana, malah membuat usaha keluarga ini, menggurita hingga memiliki 19 outlet dan empat pabrik dengan produksi lebih dari lima ribu bungkus per hari.
SEBELUM mengenal Sumiwiludjeng, banyak yang mengira nama Amanda diambil dari nama si empunya usaha. Padahal, Amanda merupakan sebuah singkatan dari "Anak Mantu Damai". Itulah harapan Sumiwiludjeng terhadap keempat anak lelakinya, Joko Ervianto, Andi Darmansyah , Sugeng Cahyono, dan Rizka Kurniawan, yang dari kecil selalu hidup rukun.
Agar memudahkan pembeli, nama Amanda itu kemudian diembel-embeli dengan trademark brownies kukus. Disebut brownies, karena bentuk fisiknya memang hampir sama dengan brownies. Warnanya cokelat pekat dan bahan bakunya juga terbuat dari cokelat. Sedangkan kata kukus ditambahkan karena proses pematangannya dengan dikukus, selain untuk membedakannya dengan brownies biasa yang dipanggang (oven).
Beragam cerita unik meluncur dari mulut Sumiwiludjeng ketika Jawa Pos memintanya menjabarkan pengalaman orang yang sekilas nampak bersahaja ini dalam membangun bisnis.''Saya di sini (Bandung, red) hanya ikut suami tugas,'' kata wanita kelahiran Jombang, Jawa Timur, 1 Agustus 1940 itu saat ditemui di Kantor Pusat Brownies Amanda di daerah Margahayu, Bandung Sabtu (13/2).
Pilihan tinggal di Kota Kembang itu sebetulnya bukan murni kehendak Nyonya Sumi, panggilan akrab Sumiwiludjeng. Namun, dia mengikuti penugasan sang suami, Syukur, yang kini sudah pensiun dari pekerjaan sebagai pegawai PT Pos Indonesia yang kerap dipindah tugaskan.
Awalnya, sang kepala keluarga tugas di Bogor selama tujuh tahun. ''Itu setelah setelah lulus Akademi Pos, Telepon, dan Telegram (APTT) dan menikah pada 1964. Setelah itu pindah ke Bandung, Magelang, dan saat akan pensiun kembali lagi dinas di Bandung,'' kata anak pertama dari delapan bersaudara ini.
Di setiap kota yang ditinggali wanita yang memiliki hobi berkebun itu, dia bersama keluarga selalu berusaha membuka home industry yang memproduksi kue. ''Usaha kue ini saya dirikan sebenarnya agar bekal ilmu yang saya peroleh dari sekolah jurusan tata boga tidak sia-sia. Tetapi karena tinggalnya tidak pernah lama, maka (usaha) tak bisa besar. Setiap mau besar, eh bapak dimutasi,'' kenang nenek enam cucu itu.

Sampai tahun 2.000, menjelang masa pensiun, sang suami dipindah tugaskan ke Bandung lagi, keluarga pun diboyong serta. ''Di situ saya kepikiran untuk mulai coba-coba membuka usaha kue sambil mengisi masa pensiun. Untuk promosi, pada setiap pesanan kue kotak saya selipkan sepotong brownies kukus dengan resep khusus temuan saya,'' jelas penyuka rujak cingur ini.
Nyonya Sumi menjelaskan, jika dimasak dengan dikukus, tekstur brownies menjadi lebih lembut dibanding dimasak dengan cara yang lazim digunakan orang kebanyakan, yakni dipanggang (dioven). ''Awalnya saya hanya ingin menciptakan kue yang bisa dikonsumsi semua kalangan dan seluruh tingkatan umur karena empuk dan enak. Ternyata responsnya luar biasa,'' tutur ibu yang malah tak ingin keturunannya ada yang bernama Amanda itu.
Saat itu, enam orang karyawan di dapur rumahnya yang berukuran 3x6 meter sampai kuwalahan memenuhi pesanan yang mengalir deras. Pada 2002, empat anak laki-lakinya menggagas ide untuk menyewa lapak bekas warung nasi berukuran 5x6 meter di dekat rumah.
Di tempat baru, antrean pembeli malah bertambah panjang, berjubel sampai menghambat laju angkot. Setiap hari, tak kurang dari 500 kardus brownies terjual. Baru setahun kemudian, Nyonya Sumi memberanikan diri membuka satu cabang dibuka di pusat kota Bandung. Itu untuk memecah konsentrasi pembeli. Sejak itu, bisnis brownies Nyonya Sumi yang sebelumnya hanya coba-coba itu malah terus merekah. Kini, ada 19 outlet di seluruh Indonesia dan empat pabrik di Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Medan, dengan karyawan 470 orang.
Pabrik-pabrik itu menyuplai kebutuhan untuk outlet di kota-kota yang jarak tempuhnya sekitar empat jam dari lokasi produksi. Sebab, brownies hanya bertahan empat hari.
Kini, cita-citanya Nyonya Sumi saat memberi nama Amanda, agar anak mantunya tetap damai, pun menjadi kenyataan. Kini, bersama suami, Nyonya Sumi menikmati masa tuanya dengan bahagia.

Pak Buyung, Martabak San Fransisco
Martabak yang bisa jadi paling terkenal di Nusantara ini adalah Martabak San Francisco. Martabak yang di klaim oleh pemiliknya sebagai martabak asli kreasi dari Bandung. Hal itu tidak bisa dibantah jika kita mengikuti rentang sejarah martabak ini dari awal hingga saat sekarang. Konon memang awal mula terciptanya martabak itu berawal dari daerah Jawa Tengah. Perlu dicatat, jenis martabak yang kita kenal ada 2 yaitu martabak manis dan martabak telor. Untuk martabak telor boleh kita katakan bahwa makanan ini merupakan kreasi makanan dari India, tidak demikian dengan martabak manis, martabak jenis ini asli tercipta dari Nusantara. Beberapa catatan sejarah berikut ini mungkin membantu menguatkan asumsi tadi.
Waktu kita tarik mundur ke Bandung tahun 60-an. Tepatnya tahun 1965, Bapak Bong Kap Djun alias Pak Adjun seorang perantau asli Bangka memulai usahanya dengan menjual martabak. Lokasi pertama dia menjual martabak ini adalah di depan kantor PLN, Jl. Asia Afrika, Bandung. Awal mulanya martabak ini disebut kue ekonomi. Disebut demikian karena proses pembuatan dan hasilnya yang sangat sederhana, kue ini hanya berbentuk bulat dengan ditaburi gula pasir dan kacang di atasnya. Penyajiannyapun sangat sederhana, dengan dibungkus kertas koran saja. Dikarenakan sudah ada 3 orang yang berjualan kue ekonomi, Pak Adjun berpindah lokasi berdagang ke Jl. Gatot Subroto, Katapang Bandung dan memulai semua kreasinya di sini.Warna Nusantara
Terilhami oleh lagu Scott McKenzie yang berjudul “San Francisco,” pada tahun 1967 kue ekonomi ini berubah nama menjadi Martabak San Francisco. Dengan memakai nama ini si kue ekonomi yang alakadarnya berubah menjadi kudapan yang mahal. Tentu saja berubah dari rasa, penampilan hingga penyajiannya. Atas kreatifitas Pak Adjun yang memasukan bahan-bahan seperti mentega, keju, coklat dan kacang, martabak ini benar-benar berubah menjadi seperti martabak yang kita nikmati sekarang. Bahkan di tahun 80-an Martabak San Fransisco berhasil membuat kreasi martabak tipker alias tipis kering. Jenis martabak ini berbentuk seperti yang kita kenal dengan sebutan “crepes.” Alat memasaknya pun berubah dari menggunakan arang hingga akhirnya membuat kompor dengan bahan bakar gas hasil inovasi sendiri. Kompor-kompor jenis ini yang umumnya dipakai oleh penjual-penjual martabak hingga sekarang. Kemasanpun berubah dengan menggunakan box kardus.
Untuk mengimbangi martabaknya yang manis, pada tahun 1973 Pak Sugianto / Iyang menciptakan martabak asin yang notabene merupakan pengembangan dari makanan india. Pengembangan ini dengan berupa memasukan cincang daging kedalamnya. Karena pada waktu itu berjualan pempek juga, kadang-kadang kuah pempek yang mudah basi itu ditawarkan ke pelanggan-pelanggannya agar tidak mubazir. Ternyata si kuah pempek ini sangat diminati oleh pelanggannya untuk dinikmati dengan martabak asin walaupun ciri khas dari Martabak Asin San Francisco adalah saos dan acarnya. Nah disinilah sejarah martabak telor dengan kuah model pempek berawal. Khusus untuk ini sejarahnya bersambungan dengan munculnya istilah “Martabak Bangka.” Istilah ini dimunculkan pertama kali oleh saudara-saudara Pak Adjun yang asli Bangka. Seperti pada umumnya, Pak Adjun mempekerjakan sanak keluarganya untuk berusaha martabak ini, ketika mereka sudah bisa berdikari akhirnya membuat usaha sendiri dengan menamakan dirinya Martabak Bangka. Salah satu ciri khas martabak ini adalah menggunakan kuah pempek sebagai pelengkap martabak asin. Bahkan mantan-mantan karyawan Pak Adjun yang berasal dari Jawa kembali ke daerahnya berjualan martabak dengan menggunakan istilah “Martabak Bandung / Martabak Bangka”. Akhirnya menyebarlah si martabak ini ke mana-mana.Warna Nusantara
Pada tahun 1970 lokasi Martabak San Fransisco berpindah ke Jl. Burangrang tepatnya Bakso Malang Enggal sekarang. Tempat ini menjadi model pujasera modern saat ini. Pada waktu itu Pak Adjun mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk membuka usaha di sana dalam rangka mengisi kekosongan tempat. Tempat ini menjadi pujasera pertama di Bandung bahkan di Indonesia. Dikarenakan hanya Martabak San Francisco yang memiliki kreasi dan enak, maka usaha martabak ini semakin ramai. Hingga akhirnya si martabak terkenal hingga ke luar kota dengan nama yang berbeda-beda. Di Semarang martabak ini terkenal dengan nama Kue Bandung, di Surabaya terkenal dengan nama martabak terang bulan.Warna Nusantara
Sempat berpindah tempat lagi ke Jl. Karapitan, kemudian Jl. Lodaya tepatnya Ayam Goreng Soeharti hingga akhirnya di awal 90-an Martabak San Francisco berlokasi di Jl. Burangrang No. 42, posisinya hingga sekarang. Hingga saat ini terus berkreasi dengan menu-menu baru salah-satunya Martabak Green Tea, Martabak Cungky Bar, Martabak Tiramisu dan lainnya. Untuk harga tentu saja sepadan dengan bahan-bahan yang digunakan. Untuk bahan ini Pak Buyung, salah satu anak Pak Adjun yang meneruskan usahanya selalu menggunakan bahan nomor 1. Seperti salah satu contohnya adalah gula yang digunakan rendah kalori. Untuk dus yang digunakan pun adalah dus yang aman bagi kesehatan bahkan si dus ini kuat dipanaskan di dalam microwave. Tinta yang ada dalam dus juga terbuat dari bahan soya jadi kalaupun luntur, akan aman dikonsumsi. Jadi jangan aneh jika hingga saat ini kita harus mengantri nomor jika ingin membeli martabak ini.
Pada saat ini Martabak San Francisco dikembangkan dengan konsep waralaba oleh Pak Buyung. Konsep waralaba ini sudah dikembangkan dari tahun 2011 hingga saat ini sudah membuka tempat di Depok, BSD, Bintaro, Cibubur, Kelapa Gading hingga Pakanbaru. Khusus untuk waralaba ini memang dibuka khusus untuk daerah di luar Bandung. Selain itu ada brand yang lebih ekonomis dengan nama “Kue Bandung Mr. Buyung.” Sudah berkonsep lebih modern namun tetap Pak Buyung selalu ingat akan akar rumputnya dan catatan sejarah dari martabak ini beliau abadikan di gerainya dan di box-box kemasan martabak. Mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah.
Demikian cerita singkat tentang martabak ini. Walaupun sebelumnya sudah ada, namun untuk martabak modern seperti sekarang ini merupakan hasil inovasi dan berkembang di kota Bandung. Bisa kita bilang juga bahwa Bapak Bong Kap Djun dengan Martabak San Francisco-nya adalah Bapak Martabak Modern di Nusantara.

Asep Syafrudin, Sate Hadori
Asep Syafrudin (kanan) sedang mengawasi karyawannya membuat sate. Asep sukses mengembangkan rumah Makan Sate Hadori hingga dikenal luas masyarakat.
Mempertahankan manajemen tradisional dan pemasaran dari mulut ke mulut menjadi kunci Asep Syafrudin membesarkan usaha rumah makan sate milik keluarga.Ditangan Asep,rumah makan Sate Hadori semakin berkembang dengan terus membuka cabang.
rumah makan Sate Hadori berdiri sejak zaman Belanda di Kota Bandung, Jawa Barat. Sempat berpindah-pindah, rumah makan ini kemudian menetap di kawasan Terminal Stasiun Hall. Hingga kini sate ini terus digemari pencinta kuliner tanah Air, bahkan mancanegara. Meski sudah terkenal, Asep tetap bekerja keras dalam mengelola bisnis ini. Menariknya, pria yang kini dikenal sebagai Asep Hadori ini sempat enggan untuk menangani bisnis makanan tersebut. “Begitu dapat ijazah,saya pamit kepada kedua orang tua untuk melamar kerja di tempat lain,” tuturnya.
Berharap mendapat izin, ayahnya justru mempertanyakan.“ Mengharapkan apa kerja di tempat lain? Di sini juga kamu dapat uang dan ada nilai plusnya, yakni membahagiakan orang tua,”kata sarjana hukum lulusan Universitas Islam Nusantara ini. Sejak itu,Asep bertekad menekuni pekerjaan di rumah makan milik keluarganya.Dia kembali memotong daging, menusuknya satu per satu, mengolah bumbu khas, membakar, hingga menyajikan kepada pelanggan. Namun, lantaran banyaknya anggota keluarga,anak keenam dari tujuh bersaudara ini lebih sering mendapat tugas di bagian pemasaran.
Bukan promosi melalui billboard, flyer,atau jejaring sosial yang sedang tren saat ini,Asep memilih menggunakan cara tradisional untuk menambah pelanggan. “Hingga sekarang saya masih menggunakan konsep mouth-to-mouth. Orang-orang yang saya kenal di mana pun saya beri tahu tempat ini. Selain itu, tanpa diminta, para pelanggan juga menyebarkan perihal Sate Hadori ini,” ujar suami dari Dewi Purnama ini. Pemasaran dari mulut ke mulut ternyata efektif. Sate Hadori semakin kukuh sebagai makanan favorit di tengah maraknya varian kuliner di Kota Bandung.
Selain pemasaran dan promosi secara tradisional, ketenaran Sate Hadori tidak lepas dari ide perluasan jaringan yang dikembangkan Asep. Dengan bantuan permodalan dari Bank BRI, Asep membuka sejumlah cabang Sate Hadori di Kota Bandung.“Huruf R di tengah BRI itu berarti rakyat, saya sangat tertarik bekerja sama dengan mereka agar ide membuka cabang Hadori terlaksana,”katanya. Cabang Sate Hadori pun berdiri antara lain di Jalan Sersan Bajuri, Ir H Juanda, Cihampelas, dan Cibiru.
“Memang awalnya cabang sulit berkembang karena orang-orang masih memburu Sate Hadori di pusat, yakni di Stasiun Bandung. Tapi dalam rentang satu hingga dua bulan, cabang mulai kewalahan melayani permintaan,”kata dia. Menurut dia,setiap hari tak kurang dari 2.000 tusuk sate dari daging domba, kambing, dan ayam segar diborong pembeli. Asep mengakui harga per tusuk Rp2.700, lebih mahal dibandingkan sate yang dijual di tempat lain,tetapi soal rasa dia menjamin kelezatannya.
Hadori mengatakan, selain mendapatkan pinjaman modal, kemitraan dengan Bank BRI juga menjadikan dia dapat membuka jaringan yang lebih luas. “Rencananya BRI akan mensponsori saya agar membina usaha kecil menengah (UKM) se-Kota Bandung,”ujarnya. Ketua Kuliner Boga Kota BandunginiberharapBRIdapat memberikan lebih banyak dukungan agar rencana pengembangan cabang di tiap kota dapat terwujud. Asep mengakui permodalan dari Bank BRI sangat menguntungkan, terlebih memperolehnya cukup mudah.
Dari kerja sama ini, rumah makan Sate Hadori semakin dikenal luas masyarakat. Maida, 27,salah satu pelanggan rumah makan Sate Hadori, mengakui kelezatan sate tersebut.“Bumbu kecap yang ditaburi potongan cabai dan irisan bawang merah ternyata menggunakan saus inggris,rasa mentolnya itu yang aku favoritkan.” Sate Hadori juga menjadi jujugan sejumlah artis, pengusaha, dan pejabat negara. “Yang paling berkesan saat band legendaris God Bless datang menikmati sate kami,” ungkap Asep. Dia menyebutkan, penyanyi Rhoma Irama, Wali Kota Bandung Dada Rosada termasuk pelanggan setianya.
“ Bahkan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf kami dengar selalu mempromosikan di tiap pidatonya di daerah lain,” kata ayah dua anak ini tersenyum bangga. Sate Hadori juga telah lama menjadi jamuan tamu-tamu Istana Kepresidenan, Bogor, setiap 17 Agustus.Bahkan,Sate Hadori pernah menjadi jamuan utama bagi Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. Tidak hanya di dalam negeri, kelezatan Sate Hadori juga terdengar hingga ke luar negeri.Sate Hadori sejak lama menjadi daya tarik para wisatawan asing,terutama asal Singapura dan Malaysia.
“Begitu turun dari Bandara Husein Sastranegara, taksi-taksi sering diminta langsung mencari Sate Hadori dekat Stasiun Bandung,” ujarnya. Asep bahkan pernah diundang Wali Kota Suwon,Korea Selatan, pada 2011 lalu untuk tampil di festival makanan terenak se-Asia. Menurut dia, Hadori disejajarkan dengan kebab Turki, sushi Jepang,dan makanan lain asal Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
“Yang dipanggil dari Indonesia bukanlah sate, tetapi Hadorinya,” kenang Asep. Di Negeri Ginseng itu, terjadi antrean pengunjung hingga ratusan meter untuk dapat menikmati Sate Hadori. “Sayangnya sepekan di sana banyak sekali yang komplain, bukan soal rasa, tapi karena tidak kebagian merasakan,” kelakar dia. Menurut pengusaha sukses ini, tidak ada yang istimewa dalam mengembangkan bisnis kuliner ini.Dia mengaku hanya mempertahankan manajemen tradisional dan kekeluargaan meskipun karyawannya kini berjumlah 70 orang.
“Meski memasuki era modern, kami tidak punya kasir, tetapi kepuasan yang dirasakan tamu menjadikan mereka jujur membayar,”paparnya. Selain kesederhanaan, dia juga menganut filosofi “tamu adalah raja” di rumah makan Sate Hadori. “Maka tamu diperlakukan sangat spesial,makanan yang diberikan adalah yang terbaik dan enak menurut kita. Kalau tidak enak, tidak akan diberi,”tegas dia.
Asep optimistis bisnisnya terus akan berkembang.“Dengan bantuan Bank BRI, saya merencanakan Sate Hadori dapat dipasarkan di tiap kota di Indonesia,bahkan ke beberapa negara untuk membawa Hadori go international,”pungkas pria yang telah menunaikan haji tiga kali ini. (*/koran Sindo)

Lily Josana, Warung Kopi Purnama
BAGI penikmat kopi, jangan kecewa jika jalan-jalan ke Bandung dan tidak menemukan kedai atau warung kopi seperti di Aceh, Makasar, atau Ambon. Bandung memang bukan kota penghasil kopi meski pun Bandung punya kopi yang legendaris, yaitu Kopi Aroma.
Akan tetapi jangan khawatir, ada satu Warung Kopi sangat legendaris dan layak untuk dijadikan tempat singgah jika jalan-jalan ke Bandung, namanya Warung Kopi Purnama (WKP). Lokasinya ada di kawasan pusat Kota Bandung, tepatnya di Jalan Alkateri No. 22 Bandung.
Hampir setiap pagi atau sore hari warung kopi ramai pengunjung. Saya sendiri kalau sedang berada di tengah kota, baik sedang sendirian, bersama teman-teman atau keluarga sesekali berkunjung ke sini, sekadar untuk menikmati segelas Kopi Susu dan Roti Bakar Srikayanya. Dua menu itu sejak warung ini berdiri memang jadi menu yang paling dicari.
Meski pun warung kopi selalu identik dengan orangtua, Warung Kopi Purnama tidak demikian, bisa dinikmati oleh siapa pun termasuk anak-anak. Terakhir berkunjung ke sana, minggu lalu, saat sedang ada aktivitas di seputar alun-alun Bandung.

Berdiri Sejak 1930
Hebat sekali, apa nggak capai berdiri sejak tahun 1930 hingga tahun 2015? Seloroh hati saya setiap kali memasuki pintu warung kopi purnama yang tidak pernah berubah, tetap mempertahankan bangunan khas kolonial.
Letak Warung Kopi Purnama memang berada di daerah pecinan lama di Bandung, tepatnya di distrik perekonomian yang dibangun pada masa Belanda. Pertokoan di sana hampir semua mempertahankan bangunan lama, kalau pun berubah mungkin sekadar mengganti warna cat atau menambal tembok yang terkelupas.

Begitu masuk ruangan, saya mencari tempat duduk di pojok supaya lebih nyaman menikmati kopi susunya. Ada beberapa orang tua keturunan Tionghoa yang sepertinya sedang santai di pojok lainnya. Aroma Tionghoa Melayu memang sangat kental di ruang depan. Lihat saja jendela besar di samping kiri kanan pintu yang diberi teralis kayu mengingatkan bangunan-bangunan khas melayu.
Kemudian lampu-lampu bulat yang menggantung dari atap, meja, kursi, hingga lemari tempat memajang beberapa cemilan, yang mengelilingi kasir pun terasa sekali aroma melayunya.
Pada dinding-dinding bergantung foto-foto bangunan tempo dulu yang mengingatkan sejarah Kota Bandung. Beberapa kliping liputan media yang difigura hingga beberapa kertasnya sudah memudar dimakan usia.
Beberapa saat kemudian pramusaji menyodorkan daftar menu yang sudah saya hafal betul harga-harganya. Sekarang harganya naik sedikit, tetapi tidak apa-apa demi secangkir Kopi Susu Khas Warung Kopi Purnama.
Saya memesan Kopi Susu dan Roti Kukus Selai Nanas, sementara kedua anak saya memilih Jus Jambu, Cokelat Hangat, dan masing-masing Roti Kukus Selai Cokelat. Sebagai penetral rasa manis, saya pesan Teh Tubruk.

Kopi Bandung Rasa Medan
Warung Kopi Purnama kini dikelola oleh pengusaha generasi ketiga, namanya Lily Josana yang mendapat warisan dari ayahnya, Allen Josana. Warung awalnya didirikan kakek Lily, Young A Tong pada tahun 1990. Saat pertama kali berdiri namanya Ching Sang Shu (Bahasa Khek) yang artinya “Silahkan Mencoba”.
Pertama kali didirikan bukan di Bandung, melainkan di Medan, Sumatra Utara. Pada tahun 1960-an, seiring dengan kebijakan pemerintah pada saat itu, nama warung diganti menjadi Warung Kopi Purnama.
Sempat pindah ke Jakarta selama beberapa tahun, baru kemudian pindah ke Bandung, tepatnya di Jalan Oto Iskandardinata, baru kemudian pindah pecinan lama, tepatnya di Jalan Alkateri no. 22 Bandung hingga sekarang.
Berdasarkan pengalaman sang Kakek, dahulu orang Medan kalau minum kopi pada pagi hari pasti ditemani roti, maka Warung Kopi Purnama pun menyediakan roti kukus selain kopi sebagai menu utama. Lambat laun, pengunjung warung ketagihan dengan Kopi Susu dan Roti Kukus Selai Sirkaya. Jadilah, kedua menu tersebut primadona hingga sekarang.
Rasa kopi susunya memang sangat berbeda, tidak seperti kopi susu pada umumnya yang kadang tidak nge-bland antara kopi dan susunya. Begitu dicoba, sruputan awal rasa pahit dan sepat kopinya cukup terasa. Sruputan berikutnya bikin kita melayang di udara.

Rahasia kenikmatan kopi susu di warung kopi purnama, salah satunya karena kopinya yang digiling sendiri itu langsung dibeli dari Medan. Warung membeli kopi pilihan pada penyedia kopi langganan yang sama sejak warung berdiri.
Biji-biji kopi tersebut kemudian disimpan terlebih dahulu untuk menciptakan aroma yang sangat kuat. Setelah itu biji-biji kopi digiling dengan penggilingan yang sama, yang digunakan sejak jaman dulu kala. Penggilingan dilakukan secara khusus di rumah kediaman Lily. Cara menggiling yang berbeda menjadi rahasia warung hingga sekarang.
Lyli punya resep khusus dalam menyeduh kopi supaya membuat peminumnya ketagihan. Setelah gelas yang berisi bubuk kopi dituang air mendidih, dibiarkan beberapa saat hingga ampasnya mengendap. Setelah ampasnya mengendap, air seduhan tersebut direbus kembali, baru kemudian air rebusan tersebut disajikan.
Sementara rahasia kelezatan Roti Selai Sirkayanya ada pada gula merah yang digunakan. Ini sudah menjadi resep turun temurun. Selain itu, selai Sirkayanya tanpa bahan pengawet. Di kasir dijual juga selai sirkaya yang bisa dibeli untuk oleh-oleh.
Selain Roti Selai Sirkaya, Roti Gulung Telur Sosisnya juga menjadi salah satu favourite pengunjung warung yang buka mulai pukul 06.30 hingga pukul 22.00 ini. Terkadang, pagi-pagi sekali pelanggan sudah antre untuk sarapan di sini. Selain itu, masih banyak menu-menu lain yang bisa dipilih pengunjung.
Oh iya, sekarang ini di bagian belakang yang dahulu taman telah direnovasi dan dijadikan bangunan untuk pengunjung bebas rokok. Pengunjung yang membawa keluarga bisa nyaman makan-makan di sini. Belum lagi sekarang sudah ada wifi sehingga makin betah nongkrong di sini.
Tak terasa, sore mulai menjelang, saya segera menghabiskan sruputan terakhir kopi susu yang saya pesan. Rasanya, tak ingin setetes pun tertinggal di cangkir, walau cangkirnya cangkir biasa, sama seperti cangkir-cangkir di rumah, tidak seperti cangkir-cangkir yang digunakan di café-café kopi modern yang mulai menjamur di Bandung. Selamat minum kopi kawan!

Jodi Janitra, Bober Cafe
Kota Bandung memberikan daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin mengembangkan usaha kafe.
Kuatnya daya tarik Bandung itu dapat dilihat dari hadirnya beragam kafe dengan keunikan masing-masing, untuk mengundang minat segmen pasar mereka yaitu anak muda.
Asosiasi Kafe dan Restoran, AKAR, Kota Bandung pun mencatat hingga saat ini terdapat sekitar 2.000 usaha kafe dan restoran hadir di kota yang menjadi surga belanja tersebut.
Sayangnya, tidak semua bisnis kafe dapat bertahan di kota kembang ini.

Seperti dikatakan CEO Bober Cafe Theo Faybriean, setiap bisnis atau usaha tentu memiliki faktor keberuntungan yang berbeda-beda. Faktor daya tarik atau magnet menjadi hal yang tak bisa diabaikan.
Bober Café, yang salah satu cabangnya berada di Jalan Sumatera, Bandung, termasuk yang memiliki magnet tersendiri.
Kafe ini nampak silih berganti dikunjungi para anak muda, bahkan oleh mereka yang hanya duduk mengobrol dan menikmati segelas kopi hangat.
Bober alias Bojong Koneng Bersatu berawal dari suatu hangout places yang terletak di Jalan Riau 123, Bandung, sejak 2004 lalu.
Di tempat ini, sahabat Theo yang bernama Jodi Janitra (CFO Bober Cafe) menjadi perintis awal Bober dengan modal pas-pasan.
Saat itu, ia mencoba menumpang tempat pada keluarganya yang menjalankan bisnis kue kering.
Setahun berkembang, Bober Cafe menjadi satu-satunya kafe di Bandung yang menyediakan dan menjadi pencetus kepopuleran seesha smoking.
Namun, kesibukan Jodi membuat Bober yang berkembang cukup pesat dalam waktu dua tahun sempat mengalami sales drop.
Padahal, saat itu Bober telah berhasil memiliki karyawan hingga 30 orang.
Pada momen itulah, kehadiran Theo sebagai pemilik saham baru dan menjadi mitra berbisnis Jodi, bagaikan angin segar bagi perjalanan Bober.
"Bermodalkan motivasi, jika memang pohon bisnis ini bisa berbuah kembali maka akan kami syukuri. Namun jika sebaliknya, nothing to lose," kata Theo saat ditemui Bisnis di Bober Tropica.
Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengembalikan nyawa Bober Cafe yang dinilainya sempat hilang.
Menurut Theo, apa yang dilakukannya adalah hanya memotong daun-daun yang terserang hama pada pohon bisnis yang ditanam sahabatnya tersebut.
Dia hanya mencoba meniupkan ruh pada bisnis patungan tersebut dan melakukan sesuatu yang memang dibutuhkan Bober secara khusus pada saat itu.
Teori berbisnis yang coba diterapkan Theo sama seperti pebisnis lainnya yaitu Quality, Service, and Cleanliness atau QSC.
Namun, menurut Theo, tiang keberhasilan dari teori tersebut adalah konsistensi dalam pelaksanaan dan juga faktor keberuntungan yang lebih senang disebutnya x-factor.
X-factor pada Bober Cafe adalah para komunitas.

Profesi Theo yang saat itu sebagai penyiar salah satu stasiun radio di Kota Bandung menjadi faktor pendukung.
Profesi Theo saat itu membuat dirinya mendapat perhatian dari banyak anak muda, khususnya para anggota komunitas, untuk mampir ke Bober Cafe.
"Banyaknya pendengar pada setiap program acara yang saya siarkan di radio menjadi suatu kemudahan untuk mempromosikan Bober," ujar Theo.
Bober benar-benar menjadi tempat hangout asik yang mewadahi kegiatan berbagai komunitas yang ada di Bandung dengan segala fasilitas yang ada seperti panggung dan layar.
Grup band indi diberi kebebasan untuk manggung di tempat tersebut dan menghibur pengunjung.
Begitu pula komunitas para pencinta klub bola dengan ribuan pesertanya yang secara rutin biasa menggelar acara nonton bareng.
Tak hanya itu, Bober juga menjadi kafe yang mengantarkan program stand-up comedy booming dan membuat Kota Bandung jadi barometer bangkitnya program tersebut.
Bekerja sama dengan Raditya Dhika, Bober menghidupkan open mic stand-up comedy yang sebelumnya biasa di lakukan di kafe daerah Kemang, Jakarta, puluhan tahun lalu.
"Saat awal-awal program ini kami hadirkan kembali, tidak ada transaksi bisnis antara Bober dan Raditya Dhika karena injeksi atas visi menghidupkan stand-up comedy ini murni dengan hati alias bukan dengan uang,"
Keberhasilan Theo menjadikan Bober sebagai wadah komunitas ini tidak percuma karena di awal masa transformasinya, Bober berhasil mencatat peningkatan omzet hingga 3 kali lipat.
X-factor atas keberhasilan Bober ini masih terus dipertahankan Theo sebagai resep pengembangan Bober yang tidak dimiliki oleh kafe lainnya, bahkan hingga saat ini.
Pameran lukisan, NGADUIde (Ngobrol Asik Dunia Usaha dan Ide), belajar menulis bersama Pidi Baiq, Komunitas Jazz, termasuk open mic stand-up comedy, dan berbagai kegiatan dari komunitas lainnya masih terus aktif digelar secara rutin di Bober.

Ngopi Doeloe Cafe
Ngopi doeloe adalah perusahaan yang bergerak dibidang jual beli makanan dan minuman. Ngopi doeloe didirikan pada tanggal 26 september 2006 yang pertamakali membuka usahanya yang beralamat di jalan purnawarman no 6-8, latar belakang berdirinya café ngopi doeloe adalah kebangkrutan yang di alami oleh pemilik perusahaan dimana usaha restoran yang dimilikinya sepi pelanggan, dengan modal seadanya dan dengan jumlah karyawan sebanyak empat orang karyawan pihak pemilik membuka awal usahanya dengan konsep awalnya hanya menjual minuman yang berbahan dasar kopi dengan harga yang murah, seiring berjalannya waktu dan makin banyak dikenal oleh banyak orang maka banyak permintaan dari para pelanggan yang mengusulkan agar pihak manajemen menjual beberapa makanan agar pada saat mereka berada di café tidak hanya sekedar minum saja tetapi mereka juga bisa memesan makanan, dengan hanya kapasitas tempat duduk sebanyak tigapuluh tempat duduk manajemen ngopi doeloe mulai kewalahan dalam melayani pelanggan yang kian bertambah, maka dari itu pihak ngopi doeloe mulai memikirkan untuk membuka cabang agar bisa lebih mengembangkan usahanya.
Pada awal februari 2007 ngopi doeloe membuka cabangnya yang ke dua yang terletak di jalan Hasanudin nomor 7, pada saat pembukaan cabang ke dua manajemen ngopi doeloe mulai menjual makanan dan minuman yang lebih beraneka ragam mulai dari makanan pembuka, makanan utama sampai makanan penutup, semakin banyaknya pelanggan yang tau keberadaan ngopi doeloe yang menjual makanan dan minuman yang murah maka cabang ke dua semakin ramai di kunjungi dan pada akhirnya manajemen ngopi doeloe membuka cabang yang ke tiga yang teerletak di jalan Teuku umar nomor 5, dengan banyaknya pelanggan maka bertambah pula keuntungan perusahaan sehingga modal yang dimiliki bertambah kuat da pada akhirnya ngopi doeloe yang pada saat ini dari tahun 2006 sampai 2012 telah memiliki sepuluh cabang perusahaan, dengan memiliki banyak perusahaan tentunya banyak juga menyerap tenaga kerja yang kini jumlah keseluruhan karyawannnya mencapai sekitar tiga ratus orang karyawan.
Berikut daftar cabang ngopi doeloe café
1. Jl Purnawarman No 6-8
2. Jl Hasanudin No 5
3. Jl Teuku Umar No 7
4. Jl Burangrang No 27
5. Jl Ranggamalela No 8_10
6. Jl Dago No 57
7. Kings Shoping Center lantai 3
8. Jl Buah Batu No 146
9. Jl Transyogi cibubur
10. Jl halimun No 2

Ibu Murniati - Es Teller 77
SEJARAH
Siapa yang tak kenal dengan produk es teller 77, ratusan gerainya sudah tersebar di seluruh nusantara. Tidak puas dengan mempertahankan pasar dalam  negeri, kini produk es teller 77 merupakan salah satubisnis franchise makanan yang berhasil merambah pasar internasional. Produknya sudah menjangkau pasar luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia, serta masih akan terus dikembangkan untuk membuka gerai berikutnya di India, Jeddah dan Arab Saudi.
Pada tahun 1981, seorang Ibu bernama Murniati Widjaja memenangkan lomba membuat Es Teler di Jakarta. Bermula dari lomba inilah, timbul sebuah gagasan untuk membuka warung tenda sederhana di pelataran teras sebuah pertokoan (Duta Merlin, sekarang Carrefour Harmony) di kawasan Jakarta Pusat.
Warung sederhana dengan nama Es Teler 77 ini merupakan usaha keluarga yang ditangani langsung oleh Ibu Murniati sendiri bersama suaminya Trisno Budijanto, anak dan mantunya, Yenny Setia Widjaja dan Sukyatno Nugroho.
Pada tahun 1987, Sukyatno Nugroho mewaralabakan Es Teler 77 yang dengan ini merupakan usaha makanan cepat saji asli Indonesia pertama yang menerapkan sistem waralaba.
Mengikuti perkembangan tren gaya hidup, pada tahun 1994, seluruh gerai Es Teler 77 dipindahkan dari kios ke mal dan plasa. Kehadiran Es Teler 77 di arena pusat perbelanjaan modern ini memperluas wawasan kuliner Indonesia, di mana Es Teler 77 memperkenalkan konsep makanan cepat saji (fastfood) yang menyajikan makanan dan minuman jajanan populer Indonesia.
Setelah beberapa tahun kemudian Ibu Murniati Widjaja dan keluarganya mendirikan badan usaha swasta bernama CV ES TELER 77 yang kemudian menjadi dasar bisnis keluarga ini. Perusahaan ini dipimpin oleh Bapak Trisno Budijanto dan dikelolah oleh putra-putrinya. Perusahaan ini kemudian berkembang dengan membuka beberapa cabang ES TELER 77 lainnya di wilayah Jakarta. Meskipun demikian ES TELER 77 sebagai produk lokal Indonesia seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh pihak pemilik tempat atau manajemen gedung yang seringkali lebih mementingkan perusahaan dengan merek-merek asing. Tetapi perusahaan ES TELER 77 tidak pernah menyerah. Sebaliknya mereka lebih bersemangat lagi. Setiap kali mereka harus menutup salah satu restorannya, mereka bertekad untuk membuka lima cabang baru ES TELER 77. Dengan komitmen ini timbul ide untuk menggunakan sistem waralaba atau franchise untuk memperluas jaringan usaha ini.
Pada tahun 1987, cabang ES TELER 77 pertama yang dibuka oleh seorang franchise atau mitra kerja dibuka di Solo, Jawa Tengah. Sejak itu banyak anggota masyarakat dari berbagai kalangan yang tertarik untuk membuka ES TELER 77. Dengan menggunakan sistem franchise ini banyak outlet-outlet baru ES TELER 77 yang dibuka di kota-kota seluruh Indonesia. Sampai di Banda Aceh maupun Sampit pun ES TELER 77 sudah pernah dibuka. Perkembangan ini tentunya tidak mudah tercapai dan banyak hal-hal yang harus dipelajari oleh tim manajemen ES TELER 77. Untungnya, tim manajemen ES TELER 77 yang dipimpin oleh Bapak Sukyatno Nugroho, mantu tertua Ibu Murniati, siap untuk bekerja keras, terus memperbaiki dan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Sampai akhirnya, mereka sendiri pun jadi ahli dalam sistem franchise ini.

Johny Andrean -  J.Co
Seperti apa kisah sukses Johnny Andrean? Mengapa kesuksesannya bisa mencakup tiga usaha besar J.CO Donuts & Coffee, BreadTalk dan Johnny Andrean Salon? Kali ini Finansialku akan membahas kisah sukses Johnny Andrean pendiri J.CO & Coffee Donuts, BreadTalk dan Johnny Andrean Salon.
Merintis Bisnis Salon di Perantauan
Johnny Andrean adalah seorang pengusaha franchise ternama di Indonesia. Tiga perusahaan besar miliknya adalah J.CO Donuts & Coffee, BreadTalk dan Johnny Andrean Salon. Ketiga bisnis ini dimulai Johnny Andrean dari nol. Artinya, beliau sendirilah yang menjadi pendiri sekaligus pionir pembentukannya sejak awal.
Bisnis awal Johnny Andrean adalah salon. Salon itu dibuat pertama kali pada tahun 1980-an di bagian ujung Jakarta Utara. Usaha salon dipilihnya karena bekal skill yang diajarkan oleh ibunya. Membuat salon baru pada zaman itu tentunya bukan hal mudah. Ada lika-liku tersendiri yang menjadi batu sandungan bagi Johnny Andrean.
Masalah yang pernah dialaminya adalah cara mempertahankan para pekerja di bidang hair stylish agar tidak pindah ke salon lain. Hal ini sangat penting karena tidak mudah untuk mempertahankan pekerja jika persaingan di satu bidang sangat ketat. Selain itu, terdapat pula masalah yang sangat besar yakni krisis moneter tahun 1998. Penjarahan terjadi di 19 titik cabang salon Johnny Andrean pada bulan Mei 1998 sehingga banyak kerugian yang diperolehnya. Namun, ia selalu optimis dan membangun kembali bisnisnya hingga sukses.

Kesuksesan BreadTalk
Setelah Johnny Andrean Salon sukses berjalan, beliau membuka franchise di bidang kuliner yaitu BreadTalk. Perusahaan roti asal Singapura tersebut dipilihnya karena rasa dan peminat yang tinggi, sehingga bukan tidak mungkin BreadTalk akan menjadi primadona roti Indonesia. Usaha tersebut dimulai sejak bulan Maret 2003 pada gerai pertama di Mall Kepala Gading, Jakarta.
Berbagai inovasi dikerjakan oleh pria sukses ini. Karena dapur pembuatan roti didesain tampak dari bagian display, maka pengunjung bisa menilai tingkat kebersihan dan kecanggihan teknologi pembuatannya sehingga semakin yakin untuk membeli produk makanan tersebut. Selain itu, kualitas juga selalu dijaga oleh Johnny Andrean dari segi rasa, aroma dan kebersihan. Inovasi inilah yang menjadi sorotan para pengunjung hingga omzet gerainya selalu meningkat.
J.CO Donuts & Coffee Yang Mendunia
Setelah belajar dari bisnis waralaba BreadTalk, Johnny Andrean merasa ingin mengembangkan sendiri bisnis di bidang kuliner. Namun, berbeda dengan BreadTalk yang dibeli dari perusahaan lain, J.CO Donuts & Coffee benar-benar asli rintisannya. Setelah melakukan berbagai riset dan keilmuannya di bidang membuat roti yang diperoleh sebelum membuka gerai BreadTalk, Johnny Andrean akhirnya memutuskan untuk membuka J.CO Donuts & Coffee dengan gerai pertama pada tahun 2005.
Hingga saat ini, jumlah gerai J.CO Donuts & Coffee di Indonesia sudah mencapai lebih dari 100 gerai. Padahal, jumlah tersebut belum termasuk gerai yang dibuka di negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura, China, serta Filipina. Bukan tidak mungkin perusahaan donat yang telah merambah negara tetangga itu akan mengambil hati konsumen di dunia.


Sifat Yang Patut Dicontoh Dari Johnny Andrean
Dibalik kesuksesan Johnny Andrean, pasti banyak sifat yang patut dicontoh. Pasalnya, putra tanah air ini tidak mungkin bisa sukses begitu saja tanpa memiliki keistimewaan. Dari sifat-sifat di bawah inilah yang beliau mampu ukir sebagai karier yang berbeda dengan orang lain. Agaknya, semua orang perlu menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai bentuk motivasi untuk bergerak semakin maju.

Sifat 1: Pekerja Keras
Sifat Johnny Andrean sebagai seorang pekerja keras jelas bukan main-main. Untuk mempelajari apakah bisnis donat dengan sistem franchise cocok diterapkan di Indonesia, beliau sampai melakukan riset dengan metode survei di beberapa negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, serta beberapa negara-negara Eropa. Hasilnya adalah negatif. Dalam artian, ada beberapa hal yang membuat hasil donat tidak memuaskan sehingga belum cocok digunakan untuk bisnis franchise di Indonesia.
Sifat 2: Pantang Menyerah
Setelah Johnny Andrean Salon mengalami penjarahan pada tahun 1998, tekad Johnny Andrean dalam membangun kembali bisnisnya tidak pernah pudar. Perjuangannya terjawab pada tahun 2003. Saat akhirnya, bisnis tersebut bisa semakin menanjak hingga beliau bisa merambah dunia usaha lain.Tetapi, waktu 5 tahun bukanlah waktu yang cepat. Terutama untuk membangun kembali puing-puing harapan yang belum bisa dijamin keberhasilannya.
Hingga saat ini, banyak orang yang masih ragu untuk meniru tindakan beliau. Beberapa korban krisis moneter ada yang menjadi pekerja biasa, atau bahkan menganggur. Tidak sedikit pula yang mengakhiri karier usahanya dan memilih menjadi seorang kriminal sampai berujung di sel tahanan. Semua hal itu merupakan bukti nyata bahwa menjadi seseorang yang pantang menyerah bukan urusan mudah. Hanya orang bermental kuat seperti Johnny Andrean yang bisa menjalaninya.
Sifat 3: Pandai Membaca Situasi
Dari tiga jenis usaha Johnny Andrean yang berbeda baik dari model maupun bidangnya, dapat disimpulkan bahwa beliau adalah serang pebisnis andal yang memiliki intuisi baik. Kemampuannya dalam membaca situasi sangat membantu dalam proses menganalisis produk apa yang diinginkan masyarakat Indonesia serta bagaimana cara yang paling cocok diterapkan pada pasar negara ini. Oleh karena itu, kepiawaiannya banyak menuai pujian dari pebisnis-pebisnis lain yang kerap menjalankan kerjasama di berbagai bidang dengan Johnny Andrean.
Sifat 4: Nekat Yang Berdasar
Meskipun memiliki banyak penghalang, tetapi Johnny Andrean selalu mengambil keputusan yang cukup “nekat”. Keputusan out of the box pertamanya adalah membuat salon di tanah perantauan, Jakarta. Sebagai putra daerah, tentu hal ini sangat berisiko terutama jika bertemu orang yang salah. Tetapi Johnny Andrean tidak membuat keputusan itu tanpa berpikir panjang. Karena sudah mempertimbangkan dengan survei analitiknya, maka segala kesulitan masih dalam taraf dapat dilaluinya.

Pada saat bisnis salonnya berkembang, Johnny Andrean tidak ingin memakai ilmunya untuk pribadi. Beliau ingin menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dengan cara membuat sekolah yang mendidik para calon hairstylist dengan nama Johnny Andrean School & Training. Selain untuk direkrut sebagai pekerja di galeri-galeri Johnny Andrean Salon yang jumlahnya ratusan, para lulusan juga diharap dapat membuka salon sendiri dan bisa lebih mandiri.
Sifat 5: Berpikir Logis dan Tidak “Asal Main Mimpi”
Mimpi besar selalu mendatangi orang-orang sukses. Begitu pula dengan Johnny Andrean. Mimpi besarnya untuk menjadi pebisnis andal tidak hanya sekali dua kali diungkapkan. Namun, mimpi adalah tetap mimpi jika seseorang tidak terbangun untuk meraihnya. Berkat mimpi besar dan logika tinggi, beliau mampu merengkuh berbagai keutamaan yang belum bisa dicapai banyak orang.
Intinya, memulai sesuatu dari nol butuh perjuangan 100% agar bisa mencapai puncak. Sebuah usaha yang setengah-setengah hanya akan menghasilkan rasa lelah dan kegagalan. Karena saat ini, jumlah saingan bisnis semakin banyak dan kreatif, maka pengembangan diri serta motivasi internal memang tidak dapat lagi diganggu gugat. Seperti kata pepatah: “Pantang pulang sebelum dapat uang”, mungkin nilai ini juga yang digenggam erat oleh Johnny Andrean.
Sifat 6: Tekun Belajar
Meskipun sudah memiliki ilmu di bidang kecantikan, Johnny Andrean tidak langsung puas dan berhenti belajar. Sembari tetap berbagi ilmu di sekolah kecantikannya, beliau memperdalam ilmu cara membuat roti yang enak sebelum kemudian memutuskan untuk membeli waralaba BreadTalk. Tidak tanggung-tanggung, beliau sampai mengejar resep rahasia tersebut ke Singapura.
Dari perjuangannya untuk memperdalam seluk beluk pengolahan roti tersebut, sangat wajar jika kemudian Johnny Andrean memetik kesuksesan. Tidak hanya sepadan dengan perjuangannya, tetapi hal ini juga merupakan salah satu keberuntungan dalam dukungan keluarganya yang suportif.
Sifat 7: Cakap Dalam Menjalin Hubungan
Tidak hanya ramah, sosok Johnny Andrean memang dikenal cakap dan bisa menjalin hubungan baik dengan rekan bisnis. Jika kenyamanan sudah terjalin dengan baik, maka selanjutnya hubungan bisnis bisa berkembang menjadi hubungan pertemanan atau kekeluargaan. Itulah yang menjadi sisi positif dari Johnny Andrean. Dengan kecakapannya pulalah banyak orang yang tidak segan untuk berbagi ilmu, tips dan membantunya pada riset-riset di berbagai negara.
Sifat 8: Setia
Bersama sang istri dan anaknya, Johnny Andrean mengajarkan bagaimana seseorang bisa sukses jika menjaga kesetiaan terhadap usahanya. Tidak hanya itu, keuletan dan inovasinya yang terus berkembang juga mampu mengeksplorasi potensi dirinya menjadi lebih maju. Kesetiaan pada bisnis dibuktikan saat Johnny Andrean tidak meninggalkan salonnya setelah terkena tragedi penjarahan.

Bukti kesetiaan lainnya adalah saat membuka BreadTalk, Johnny Andrean memberikan inovasi apapun seperti transparansi cara pembuatan pada pengunjung agar tingkat kepercayaan mereka. Bahkan, untuk bisnis J.Co Donuts & Coffee, beliau juga sudah sangat setia dengan tetap melakukan riset di berbagai negara dengan harapan bisa mewujudkan bisnis ketiganya tersebut.
Sifat Positif Selalu Membuahkan Kesuksesan
Dari kisah tentang Johnny Andrean dan kesuksesannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap baik dan usaha keras tidak pernah mengkhianati hasil. Oleh karena itu, setiap orang harus menggunakan prinsip ini di berbagai bidang. Adakalanya, beberapa orang sukses dengan melakukan kecurangan. Tetapi kesuksesan yang sebenarnya adalah saat kesuksesan tersebut diperoleh secara jujur dengan tidak merugikan orang lain. Justru setelah sukses, harus ada lebih banyak orang yang ditolong baik dengan tenaga maupun ilmu.



Comments

Popular posts from this blog

SKENARIO PENERIMAAN TAMU DENGAN PERJANJIAN

Naskah Drama Siti Nurbaya dalam Bahasa Minang

CONTOH DIALOG RAPAT 6 ORANG TENTANG PRODUK BARU