CUTI BERSALIN DAN TUNJANGAN KEMATIAN


CUTI BERSALIN DAN TUNJANGAN KEMATIAN
Intisari:
Bahwa cuti melahirkan yang belum selesai/belum diambil/belum gugur yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang bersangkutan bukanlah merupakan Uang Penggantian Hak yang harus dibayarkan pengusaha. Artinya, tidak ada istilah uang penggantian hak sisa cuti melahirkan karena pekerja meninggal dunia saat menjalani cuti tersebut.
Namun, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh. Lalu bagaimana jika ia meninggal dunia saat menjalani masa cuti melahirkan?
Dalam hal ini, ahli warisnya berhak atas sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan dengan 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang masa kerja, dan uang penggantian hak. Kemudian jika pekerja yang meninggal dunia tersebut merupakan peserta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, maka ia mendapatkan uang Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua juga.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) uang cuti ini dikenal dengan sebutan Uang Penggantian Hak (“UPH”), namun uang ini muncul dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”)

UPH meliputi:[1]
a.   cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.   biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau UPMK bagi yang memenuhi syarat;
d.   hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Jadi, kami luruskan bahwa cuti melahirkan yang belum selesai/belum diambil/belum gugur yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang bersangkutan bukanlah merupakan UPH. Artinya, tidak ada istilah uang penggantian hak cuti melahirkan.
Aturan Cuti Hamil dan Melahirkan
Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang timbul dan diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja perempuan yang memenuhi syarat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan, selama pekerja menjalani hak cuti hamil dan melahirkan tersebut tidak memutus hubungan kerja, maka cuti tersebut tidak menghilangkan dan mengurangi masa kerja.
Pengaturan mengenai cuti hamil dan melahirkan ini terdapat dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan:
 (1)   Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
 (2)    Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Dari aturan di atas terlihat bahwa jumlah waktu cuti hamil dan melahirkan ini adalah 3 bulan (kurang lebih 90 hari), yakni 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
Terkait dengan upah bagi perkeja yang cuti hamil dan melahirkan, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh.

Hak-Hak Karyawan yang Meninggal
Karyawan yang meninggal dunia dan ahli warisnya juga berhak atas:
1.   Sejumlah uang
Sejumlah uang sebagaimana diatur dalam Pasal 166 UU Ketenagakerjaan, yaitu:
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan dengan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang masa kerja sesuai ketentun Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2.   Jaminan Kematian
Selain itu, jika pekerja yang meninggal dunia dalam hubungan kerja tersebut merupakan peserta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, maka menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (“PP 44/2015”) mendapatkan Jaminan Kematian Jaminan Kematian (“JKM”), yaitu manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja.

Manfaat JKM dibayarkan kepada ahli waris Peserta, apabila Peserta meninggal dunia dalam masa aktif, terdiri atas:
a.   santunan sekaligus Rp 16.200.000,00 ;
b.   santunan berkala 24 x Rp200.000,00 = Rp4.800.000,00  yang dibayar sekaligus;

c.   biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00; dan
d.  beasiswa pendidikan anak diberikan kepada setiap Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja dan telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun. Beasiswa pendidikan tesebut diberikan sebanyak Rp 12.000.000,00 untuk setiap Peserta.

3.   Jaminan Hari Tua
Selain mendapatkan manfaat jaminan kematian pekerja meninggal dunia yang merupakan peserta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga mendapatkan Jaminan Hari Tua.
Mengenai Jaminan Hari Tua ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (“PP 46/2015”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (“PP 60/2015”) dan lebih rinci diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (“Permenaker 19/2015”).
JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
Manfaat JHT adalah berupa uang tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Besarnya manfaat JHT adalah sebesar nilai akumulasi seluruh iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang tercatat dalam rekening perorangan Peserta. Manfaat JHT ini dibayar secara sekaligus.

Namun, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh. Selain itu, sebagai pekerja jika meninggal dunia berhak atas sejumlah hak yang kami jelaskan di atas.



Dasar hukum:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.   Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian;
3.   Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua;
4.   Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Adakah larangan hamil bagi pekerja perempuan di dalam Undang-undang?

UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan  tidak memberikan kewenangan kepada pengusaha atau perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang memuat ketentuan larangan menikah maupun larangan hamil selama masa kontrak kerja atau selama masa tertentu dalam perjanjian kerja.
Ketentuan ini tedapat pada Pasal 153 ayat 1 huruf e UU No.13/2003 yang berbunyi : Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan sesuai Pasal 153 ayat 2 UU No.13/2003.
Bagaimana apabila ada perjanjian kerja yang mengharuskan pekerja perempuan mengundurkan diri ketika hamil?
Pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri  karena Anda hamil. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa kehamilan bukanlah alasan yang sah berdasarkan hukum/Undang-Undang untuk digunakan sebagai alasan memberhentikan pekerja, meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya. Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja (pasal 154 huruf b UU No.13/2003).  Oleh karena itu. perjanjian yang memuat klausal pekerja akan diputus hubungan kerjanya karena hamil tidak beralasan hukum dan dianggap batal demi hukum.
Jadi, meskipun dalam perjanjian kerja tertulis bahwa pekerja dilarang hamil sebelum waktu tertentu, namun karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan hak asasi manusia (perempuan), maka secara hukum perusahaan tidak dapat memutus hubungan kerja karyawan yang bersangkutan.

Bagaimana peraturan mengenai cuti hamil/cuti melahirkan menurut Undang-Undang?
Pengaturan mengenai cuti hamil ini diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :
Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja perempuan berhak memperoleh cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan atau jika diakumulasi menjadi 3 bulan.

Bagaimana peraturan mengenai cuti keguguran menurut Undang-Undang?
Dalam pasal 82 ayat 2 menyatakan bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan yang menangani kasus keguguran Anda.

Bagaimana cara pengajuan cuti hamil/melahirkan?
Seorang pekerja perempuan berhak atas cuti hamil/melahirkan dan manfaat bersalin. Pekerja tersebut dapat memberikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada manajemen yang mengatakan bahwa dia akan melahirkan anaknya dalam waktu 1,5 bulan. Dan setelah menerima surat pemberitahuan tersebut, maka manajemen harus memberikan cuti di hari selanjutnya.
Seorang pekerja perempuan yang telah melahirkan  anaknya harus memberikan pemberitahuan kepada perusahaan tentang kelahiran anaknya dalam waktu tujuh hari setelah melahirkan.  Anda juga perlu memberikan bukti kelahiran anak Anda kepada manajemen dalam waktu enam bulan setelah melahirkan. Bukti ini dapat berupa fotocopy surat kelahiran dari rumah sakit atau akte kelahiran.

Bagaimana apabila kelahiran terjadi lebih awal sebelum pekerja perempuan tersebut sempat mengurus hak cuti melahirkannya?
Pada praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya.
Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Pengusaha dapat mengatur pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender.

Walaupun sebenarnya pekerja perempuan dapat menentukan kapan cuti tersebut diambil, misalkan pekerja perempuan boleh memilih cuti selama 1 bulan sebelum melahirkan dan 2 bulan sesudah melahirkan sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan. Perusahaan – perusahaan di Indonesia memberikan kebebasan tenaga kerja untuk bebas memilih waktu cuti, asalkan ada rekomendasi dari dokter/bidan dan informasi waktu cuti kepada perusahaan.

Apakah perusahaan tetap memberikan gaji selama pekerja perempuan menjalani cuti hamil/melahirkan tersebut?
Selama 3 bulan cuti hamil/melahirkan tersebut, perusahaan tetap wajib memberikah hak upah penuh, artinya perusahaan tetap member gaji pada pekerja perempuan yang hamil meskipun mereka sedang menjalani cuti hamil/melahirkan.

Apakah biaya melahirkan bagi pekerja perempuan ditanggung oleh perusahaan?
Pasal  4 ayat 1 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 2 ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan bahwa : Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara (yakni, PT Persero Jamsostek).

Sesuai Pasal 6 UU No. 3/1992 dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 14/1993, lingkup program jaminan sosial tenaga kerja saat ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni:
jaminan kecelakaan kerja (JKK)
jaminan kematian (JK)
jaminan hari tua (JHT)
jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK)
Dalam hal ini, jaminan bagi pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan termasuk dalam JPK yang menjadi hak pekerja. Cakupan program JPK ini termasuk Pelayanan Persalinan, yakni pertolongan persalinan yang diberikan kepada pekerja perempuan berkeluarga atau istri pekerja peserta program JPK maksimum sampai dengan persalinan ke-3. Besar bantuan biaya persalinan normal setinggi-tinginya ditetapkan Rp 500.000.



Apakah perusahaan menanggung biaya persalinan bagi istri seorang karyawan?
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pekerja berhak atas jaminan sosial diantaranya program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), cakupan program JPK termasuk Pelayanan Persalinan yang diberikan kepada pekerja perempuan berkeluarga atau istri pekerja peserta program JPK.
Jadi, jika Anda telah diikutsertakan pada program JPK pada PT Persero Jamsostek,maka  istri Anda berhak memperoleh bantuan biaya persalinan dari PT PerseroJamsostek. Atau, jika perusahaan mengikutsertakan Anda pada asuransi kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari JPK yang diberikan PT Persero Jamsostek, maka biaya persalinan dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi tersebut. Meskipun, pada praktiknya, biaya yang ditanggung bisa berbeda-beda, bergantung pada asuransi kesehatan yang diikuti perusahaan Anda.

Apakah seorang pekerja yang istrinya melahirkan atau mengalami keguguran mendapatkan hak cuti?
Ya, pekerja yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti kerja selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja.

Apa saja bentuk perlindungan bagi pekerja perempuan selama masa kehamilan?
Menurut Pasal 76 ayat 2 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Pasal 3 Konvensi ILO No.183 tahun 2000 mengatur lebih lanjut bahwa pemerintah dan pengusaha sepatutnya mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa pekerja perempuan hamil tidak diwajibkan melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan anak dalam kandungan. Mempekerjakan seorang wanita pada pekerjaannya yang mengganggu kesehatannya atau kesehatan anaknya, sebagaimana yang ditentukan oleh pihak berwenang, harus dilarang selama masa kehamilan dan sampai sekurang-kurangnya tiga bulan setelah melahirkan dan lebih lama bila wanita itu merawat anaknya.

Apa kata Undang-Undang mengenai hak bagi pekerja perempuan di masa menyusui anaknya?
Pasal 83 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa : pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Dalam penjelasan Pasal 83 tersebut diatur bahwa maksud dari kesempatan sepatutnya tersebut adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan Pasal 83 tersebut dapat diartikan sebagai kesempatan untuk memerah ASI bagi pekerja perempuan pada waktu kerja.
Pasal 10 Konvensi ILO No.183 tahun 2000 mengatur lebih lanjut bahwa seorang pekerja perempuan harus diberi hak untuk satu atau lebih jeda diantara waktu kerja atau pengurangan jam kerja setiap harinya untuk menyusui bayinya, dan jeda waktu atau pengurangan jam kerja ini dihitung sebagai waktu kerja, sehingga pekerja perempuan tetap berhak atas pengupahan. Namun, hal tersebut tidak diatur dalam UUNo.13/2003.
Lebih lanjut Pasal 128 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan mennyatakan bahwa semua pihak harus mendukung pekerja perempuan untuk menyusui dengan menyediakan waktu dan fasilitas khusus, baik di tempat kerja maupun di tempat umum. Fasilitas khusus tersebut hendaknya diartikan oleh pengusaha untuk menyediakan ruang khusus menyusui atau memerah ASI beserta tempat penyimpanannya. Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun.

Apa benar pekerja perempuan mendapatkan hak cuti menstruasi?
Percaya atau tidak, jawabannya adalah benar.  Sesuai dengan UU no. 13 tahun 2003 pasal 81 pekerja perempuan yang dalam masa menstruasi merasakan sakit dan memberitahukannya kepada manajemen perusahaan, maka dia tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa menstruasinya. Implementasi hak ini ada yang dipersulit di beberapa perusahaan yang meminta surat keterangan dokter untuk mendapat cuti menstruasi, ketika faktanya jarang bahkan mungkin hamper tidak ada perempuan yang pergi konsultasi ke dokter karena menstruasi.

Uang Duka Tewas (UDT)
Uang Duka Tewas merupakan satu paket dengan Jaminan Kecelakaan Kerja lainnya sesuai PP 70/2015.
Uang Duka Tewas ini dibayarkan oleh PT Taspen bersamaan dengan komponen lain dari Jaminan Kecelakaan Kerja.
Uang duka tewas diberikan kepada ahli waris dari pegawai yang bersangkutan setelah ia meninggal dunia dan dinyatakan tewas oleh pejabat pembina kepegawaian.

Adapun urut-urutan ahli waris penerima uang duka tewas adalah:
PNS/ASN yang tewas dan meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima adalah istri yang sah atau  suami yang sah;
PNS/ASN yang tewas dan tidak meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima adalah Anak; atau
PNS/ASN yang tewas dan tidak meninggalkan istri yang sah, suami yang sah atau Anak, ahli waris yang menerima adalah Orang Tua.

Pengertian Tewas
Seperti yang sudah saya katakan di atas, ada perbedaan pengertian antara tewas dan wafat. Menurut PP 70 Tahun 2015 yang menggantikan PP 12 Tahun 1981, pengertian tewas adalah:
Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya; atau
Meninggal dunia dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya; atau
Meninggal dunia karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab ataupun sebagai akibat tindakan terhadap anasir itu;

Penetapan tewas dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan kriteria yang diatur dengan Peraturan Kepala BKN.
Penetapan Tewas silakan baca lebih lanjut Kriteria dan Prosedur Penetapan Tewas.
Sedangkan wafat adalah meninggalnya PNS di luar 3 poin kriteria di atas.

Besaran Uang Duka Tewas
Besaran Uang Duka Tewas bagi PNS/ASN yang meninggal dan dinyatakan tewas adalah sebesar 6 kali gaji terakhir, dan pembayarannya dilakukan dengan cara ahli waris mengajukan klaim ke PT Taspen bersamaan dengan Fasilitas Jaminan Kecelakaan Kerja lainnya.
Bagi PNS yang Tewas, Selain UDT Dapat Apa Lagi?
Uang Duka Tewas adalah salah satu manfaat dari Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Seperti pernah saya tuliskan sebelumnya mengenai JKK dan JKM bagi ASN, bahwa manfaat JKK terdiri atas:
perawatan;
santunan; dan
tunjangan cacat.

Bagi PNS yang meninggal dan memenuhi kriteria tewas, maka kepada ahli waris tersebut diberikan santunan (manfaat JKK poin kedua) berupa:

1. Santunan Kematian Kerja
Bagi PNS atau PPPK yang dinyatakan tewas, maka ahli warisnya akan diberikan Santunan Kematian Kerja sebesar 60% x 80 x gaji terakhir PNS/PPPK sebelum meninggal. Gaji di sini adalah gaji pokok.

Atau jika ingin diringkas, Santuan Kematian Kerja = 48 x gaji pokok terakhir.
Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pegawai yang wafat, yang hanya diberikan santunan sekaligus sebesar Rp15.000.000,-.
Urutan ahli waris yang berhak menerima santunan kematian kerja sama dengan urutan ahli waris yang berhak menerima UDT di atas.

2. Uang Duka Tewas
Ahli waris akan mendapatkan UDT seperti keterangan di atas.

3. Biaya Pemakaman
Biaya pemakaman diberikan kepada ahli waris PNS/PPPK yang tewas untuk menggantikan biaya atas:
peti jenazah dan perlengkapannya;
tanah pemakaman dan biaya di tempat pemakaman.
Biaya pemakaman diberikan sebesar Rp10.000.000,- dan dibayarkan satu kali. Berbeda dengan PNS/PPPK yang wafat, hanya mendapatkan biaya pemakaman sebesar Rp7.500.000,-.

Adapun urutan ahli waris yang berhak atas biaya pemakaman adalah:
Peserta yang tewas dan meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima adalah istri yang sah atau suami yang sah dari Peserta;
Peserta yang tewas dan tidak meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima adalah Anak;
Peserta yang tewas dan tidak meninggalkan istri yang sah, suami yang sah, atau Anak, ahli waris yang menerima adalah Orang Tua; atau
Peserta yang tewas tidak meninggalkan istri yang sah, suami yang sah, Anak, atau Orang Tua, ahli waris yang menerima adalah ahli waris lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Bantuan Beasiswa
Bantuan Beasiswa diberikan kepada 1 orang anak saja dari PNS/PPPK yang tewas, dengan besaran sebagai berikut:
SD sederajat: Rp45.000.000,-;
SMP sederajat: Rp35.000.000,-;
SMA sederajat: Rp25.000.000,-;
Kuliah: Rp15.000.000,-.

Jika dibandingkan dengan PNS yang wafat, nilainya lebih besar karena beasiswa bagi PNS yang wafat hanya sebesar Rp15.000.000,- tanpa melihat tingkat pendidikan anak.
Bantuan Beasiswa diberikan dengan syarat anak tersebut:
masih sekolah/kuliah;
berusia paling tinggi 25 tahun;
belum pernah menikah; dan
belum bekerja.

Uang Duka Wafat (UDW)
Uang Duka Wafat dibayarkan kepada ahli waris dengan besaran 3 x gaji terakhir PNS/ASN yang meninggal. Sama dengan UDT, UDW juga dibayarkan oleh PT Taspen setelah ahli waris mengajukan klaim ke PT Taspen.
Uang Duka Wafat (UDW) diberikan satu paket bersamaan dengan Jaminan Kematian (JKM) lainnya sesuai PP 70/2015 yaitu santunan sekaligus, biaya pemakaman, dan bantuan beasiswa (beasiswa hanya diberikan bagi peserta yang kepesertaannya minimal sudah 3 tahun).
Demikian tadi Informasi Uang Duka Tewas dan Uang Duka Wafat berdasarkan peraturan terbaru yaitu PP 70/2015. Dengan adanya PP 70/2015 tersebut, UDW dan UDT tidak lagi dibayarkan oleh KPPN, tapi dibayarkan oleh PT Taspen satu paket dengan layanan JKK dan JKM bagi ASN.


Comments

Popular posts from this blog

SKENARIO PENERIMAAN TAMU DENGAN PERJANJIAN

Naskah Drama Siti Nurbaya dalam Bahasa Minang

CONTOH DIALOG RAPAT 6 ORANG TENTANG PRODUK BARU