CUTI BERSALIN DAN TUNJANGAN KEMATIAN
CUTI BERSALIN DAN
TUNJANGAN KEMATIAN
Intisari:
Bahwa cuti melahirkan yang belum
selesai/belum diambil/belum gugur yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang
bersangkutan bukanlah merupakan Uang Penggantian Hak yang harus dibayarkan
pengusaha. Artinya, tidak ada istilah uang penggantian hak sisa cuti melahirkan
karena pekerja meninggal dunia saat menjalani cuti tersebut.
Namun, selama pekerja perempuan
itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh. Lalu
bagaimana jika ia meninggal dunia saat menjalani masa cuti melahirkan?
Dalam hal ini, ahli warisnya
berhak atas sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan dengan 2 (dua)
kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang masa kerja, dan uang penggantian hak.
Kemudian jika pekerja yang meninggal dunia tersebut merupakan peserta Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan, maka ia mendapatkan uang Jaminan Kematian dan Jaminan
Hari Tua juga.
Dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) uang cuti ini dikenal
dengan sebutan Uang Penggantian Hak (“UPH”), namun uang ini muncul dalam hal
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”)
UPH meliputi:[1]
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum
gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh
dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang
pesangon dan/atau UPMK bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Jadi, kami luruskan bahwa cuti
melahirkan yang belum selesai/belum diambil/belum gugur yang dimiliki oleh
pekerja perempuan yang bersangkutan bukanlah merupakan UPH. Artinya, tidak ada
istilah uang penggantian hak cuti melahirkan.
Aturan Cuti Hamil dan Melahirkan
Hak cuti hamil dan melahirkan
adalah hak yang timbul dan diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja
perempuan yang memenuhi syarat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Kasim
dalam artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan, selama pekerja
menjalani hak cuti hamil dan melahirkan tersebut tidak memutus hubungan kerja,
maka cuti tersebut tidak menghilangkan dan mengurangi masa kerja.
Pengaturan mengenai cuti hamil
dan melahirkan ini terdapat dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan:
(1)
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2)
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dari aturan di atas terlihat
bahwa jumlah waktu cuti hamil dan melahirkan ini adalah 3 bulan (kurang lebih
90 hari), yakni 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan.
Terkait dengan upah bagi perkeja
yang cuti hamil dan melahirkan, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak
cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh.
Hak-Hak Karyawan yang Meninggal
Karyawan yang meninggal dunia dan
ahli warisnya juga berhak atas:
1. Sejumlah uang
Sejumlah uang sebagaimana diatur
dalam Pasal 166 UU Ketenagakerjaan, yaitu:
Dalam hal hubungan kerja berakhir
karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah
uang yang besar perhitungannya sama dengan dengan 2 (dua) kali uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang masa kerja sesuai
ketentun Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
2. Jaminan Kematian
Selain itu, jika pekerja yang
meninggal dunia dalam hubungan kerja tersebut merupakan peserta Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, maka menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (“PP
44/2015”) mendapatkan Jaminan Kematian Jaminan Kematian (“JKM”), yaitu manfaat
uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia
bukan akibat kecelakaan kerja.
Manfaat JKM dibayarkan kepada
ahli waris Peserta, apabila Peserta meninggal dunia dalam masa aktif, terdiri
atas:
a. santunan sekaligus Rp 16.200.000,00 ;
b. santunan berkala 24 x Rp200.000,00 =
Rp4.800.000,00 yang dibayar sekaligus;
c. biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00; dan
d. beasiswa pendidikan anak diberikan kepada
setiap Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja dan telah
memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun. Beasiswa pendidikan tesebut
diberikan sebanyak Rp 12.000.000,00 untuk setiap Peserta.
3. Jaminan Hari Tua
Selain mendapatkan manfaat
jaminan kematian pekerja meninggal dunia yang merupakan peserta Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan juga mendapatkan Jaminan Hari Tua.
Mengenai Jaminan Hari Tua ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Hari Tua (“PP 46/2015”) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (“PP
60/2015”) dan lebih rinci diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari
Tua (“Permenaker 19/2015”).
JHT adalah manfaat uang tunai
yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal
dunia, atau mengalami cacat total tetap.
Manfaat JHT adalah berupa uang
tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau
mengalami cacat total tetap. Besarnya manfaat JHT adalah sebesar nilai
akumulasi seluruh iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang
tercatat dalam rekening perorangan Peserta. Manfaat JHT ini dibayar secara
sekaligus.
Namun, selama pekerja perempuan
itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh. Selain itu,
sebagai pekerja jika meninggal dunia berhak atas sejumlah hak yang kami
jelaskan di atas.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Hari Tua;
4. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19
Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari
Tua.
Adakah larangan hamil bagi
pekerja perempuan di dalam Undang-undang?
UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak memberikan
kewenangan kepada pengusaha atau perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang
memuat ketentuan larangan menikah maupun larangan hamil selama masa kontrak
kerja atau selama masa tertentu dalam perjanjian kerja.
Ketentuan ini tedapat pada Pasal
153 ayat 1 huruf e UU No.13/2003 yang berbunyi : Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil,
melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Pemutusan hubungan kerja
yang dilakukan karena pekerja hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan sesuai Pasal 153 ayat 2 UU
No.13/2003.
Bagaimana apabila ada perjanjian
kerja yang mengharuskan pekerja perempuan mengundurkan diri ketika hamil?
Pada prinsipnya, perusahaan tidak
dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri
karena Anda hamil. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa kehamilan
bukanlah alasan yang sah berdasarkan hukum/Undang-Undang untuk digunakan
sebagai alasan memberhentikan pekerja, meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya.
Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena
pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja
(pasal 154 huruf b UU No.13/2003). Oleh
karena itu. perjanjian yang memuat klausal pekerja akan diputus hubungan kerjanya
karena hamil tidak beralasan hukum dan dianggap batal demi hukum.
Jadi, meskipun dalam perjanjian
kerja tertulis bahwa pekerja dilarang hamil sebelum waktu tertentu, namun
karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada
dan hak asasi manusia (perempuan), maka secara hukum perusahaan tidak dapat
memutus hubungan kerja karyawan yang bersangkutan.
Bagaimana peraturan mengenai cuti
hamil/cuti melahirkan menurut Undang-Undang?
Pengaturan mengenai cuti hamil
ini diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni
sebagai berikut :
Pekerja perempuan berhak
memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja perempuan berhak
memperoleh cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan atau jika diakumulasi menjadi 3 bulan.
Bagaimana peraturan mengenai cuti
keguguran menurut Undang-Undang?
Dalam pasal 82 ayat 2 menyatakan
bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau
bidan yang menangani kasus keguguran Anda.
Bagaimana cara pengajuan cuti
hamil/melahirkan?
Seorang pekerja perempuan berhak
atas cuti hamil/melahirkan dan manfaat bersalin. Pekerja tersebut dapat memberikan
pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada manajemen yang mengatakan bahwa
dia akan melahirkan anaknya dalam waktu 1,5 bulan. Dan setelah menerima surat
pemberitahuan tersebut, maka manajemen harus memberikan cuti di hari
selanjutnya.
Seorang pekerja perempuan yang
telah melahirkan anaknya harus
memberikan pemberitahuan kepada perusahaan tentang kelahiran anaknya dalam
waktu tujuh hari setelah melahirkan.
Anda juga perlu memberikan bukti kelahiran anak Anda kepada manajemen
dalam waktu enam bulan setelah melahirkan. Bukti ini dapat berupa fotocopy
surat kelahiran dari rumah sakit atau akte kelahiran.
Bagaimana apabila kelahiran
terjadi lebih awal sebelum pekerja perempuan tersebut sempat mengurus hak cuti
melahirkannya?
Pada praktiknya, pekerja
perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa
mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja
tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum
mengurus hak cuti melahirkannya.
Apabila kelahiran terjadi lebih
awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya
menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti
bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Pengusaha dapat mengatur
pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati
pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik
sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau
kurang lebih 90 hari kalender.
Walaupun sebenarnya pekerja
perempuan dapat menentukan kapan cuti tersebut diambil, misalkan pekerja
perempuan boleh memilih cuti selama 1 bulan sebelum melahirkan dan 2 bulan
sesudah melahirkan sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan.
Perusahaan – perusahaan di Indonesia memberikan kebebasan tenaga kerja untuk
bebas memilih waktu cuti, asalkan ada rekomendasi dari dokter/bidan dan
informasi waktu cuti kepada perusahaan.
Apakah perusahaan tetap
memberikan gaji selama pekerja perempuan menjalani cuti hamil/melahirkan
tersebut?
Selama 3 bulan cuti
hamil/melahirkan tersebut, perusahaan tetap wajib memberikah hak upah penuh,
artinya perusahaan tetap member gaji pada pekerja perempuan yang hamil meskipun
mereka sedang menjalani cuti hamil/melahirkan.
Apakah biaya melahirkan bagi
pekerja perempuan ditanggung oleh perusahaan?
Pasal 4 ayat 1 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 2 ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan bahwa :
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau
lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- sebulan, wajib
mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang
diselenggarakan oleh badan penyelenggara (yakni, PT Persero Jamsostek).
Sesuai Pasal 6 UU No. 3/1992 dan
Pasal 2 ayat (1) PP No. 14/1993, lingkup program jaminan sosial tenaga kerja
saat ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni:
jaminan kecelakaan kerja (JKK)
jaminan kematian (JK)
jaminan hari tua (JHT)
jaminan pemeliharaan kesehatan
(JPK)
Dalam hal ini, jaminan bagi
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan termasuk dalam JPK yang
menjadi hak pekerja. Cakupan program JPK ini termasuk Pelayanan Persalinan,
yakni pertolongan persalinan yang diberikan kepada pekerja perempuan
berkeluarga atau istri pekerja peserta program JPK maksimum sampai dengan
persalinan ke-3. Besar bantuan biaya persalinan normal setinggi-tinginya
ditetapkan Rp 500.000.
Apakah perusahaan menanggung
biaya persalinan bagi istri seorang karyawan?
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, bahwa pekerja berhak atas jaminan sosial diantaranya program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK), cakupan program JPK termasuk Pelayanan Persalinan
yang diberikan kepada pekerja perempuan berkeluarga atau istri pekerja peserta
program JPK.
Jadi, jika Anda telah
diikutsertakan pada program JPK pada PT Persero Jamsostek,maka istri Anda berhak memperoleh bantuan biaya
persalinan dari PT PerseroJamsostek. Atau, jika perusahaan mengikutsertakan
Anda pada asuransi kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari JPK yang
diberikan PT Persero Jamsostek, maka biaya persalinan dapat ditanggung oleh
perusahaan asuransi tersebut. Meskipun, pada praktiknya, biaya yang ditanggung
bisa berbeda-beda, bergantung pada asuransi kesehatan yang diikuti perusahaan
Anda.
Apakah seorang pekerja yang
istrinya melahirkan atau mengalami keguguran mendapatkan hak cuti?
Ya, pekerja yang istrinya
melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti kerja selama 2 hari
dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja.
Apa saja bentuk perlindungan bagi
pekerja perempuan selama masa kehamilan?
Menurut Pasal 76 ayat 2 UU
No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja
perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00.
Pasal 3 Konvensi ILO No.183 tahun
2000 mengatur lebih lanjut bahwa pemerintah dan pengusaha sepatutnya mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa pekerja perempuan hamil tidak
diwajibkan melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan anak
dalam kandungan. Mempekerjakan seorang wanita pada pekerjaannya yang mengganggu
kesehatannya atau kesehatan anaknya, sebagaimana yang ditentukan oleh pihak
berwenang, harus dilarang selama masa kehamilan dan sampai sekurang-kurangnya
tiga bulan setelah melahirkan dan lebih lama bila wanita itu merawat anaknya.
Apa kata Undang-Undang mengenai
hak bagi pekerja perempuan di masa menyusui anaknya?
Pasal 83 UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa : pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja.
Dalam penjelasan Pasal 83
tersebut diatur bahwa maksud dari kesempatan sepatutnya tersebut adalah lamanya
waktu yang diberikan kepada pekerja perempuan untuk menyusui bayinya dengan
memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama. Ketentuan Pasal 83 tersebut dapat diartikan sebagai kesempatan untuk
memerah ASI bagi pekerja perempuan pada waktu kerja.
Pasal 10 Konvensi ILO No.183
tahun 2000 mengatur lebih lanjut bahwa seorang pekerja perempuan harus diberi
hak untuk satu atau lebih jeda diantara waktu kerja atau pengurangan jam kerja
setiap harinya untuk menyusui bayinya, dan jeda waktu atau pengurangan jam
kerja ini dihitung sebagai waktu kerja, sehingga pekerja perempuan tetap berhak
atas pengupahan. Namun, hal tersebut tidak diatur dalam UUNo.13/2003.
Lebih lanjut Pasal 128 UU No.36
tahun 2009 tentang Kesehatan mennyatakan bahwa semua pihak harus mendukung
pekerja perempuan untuk menyusui dengan menyediakan waktu dan fasilitas khusus,
baik di tempat kerja maupun di tempat umum. Fasilitas khusus tersebut hendaknya
diartikan oleh pengusaha untuk menyediakan ruang khusus menyusui atau memerah
ASI beserta tempat penyimpanannya. Sesuai dengan rekomendasi World Health
Organization, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun.
Apa benar pekerja perempuan
mendapatkan hak cuti menstruasi?
Percaya atau tidak, jawabannya
adalah benar. Sesuai dengan UU no. 13
tahun 2003 pasal 81 pekerja perempuan yang dalam masa menstruasi merasakan
sakit dan memberitahukannya kepada manajemen perusahaan, maka dia tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa menstruasinya. Implementasi hak
ini ada yang dipersulit di beberapa perusahaan yang meminta surat keterangan
dokter untuk mendapat cuti menstruasi, ketika faktanya jarang bahkan mungkin
hamper tidak ada perempuan yang pergi konsultasi ke dokter karena menstruasi.
Uang Duka Tewas (UDT)
Uang Duka Tewas merupakan satu
paket dengan Jaminan Kecelakaan Kerja lainnya sesuai PP 70/2015.
Uang Duka Tewas ini dibayarkan
oleh PT Taspen bersamaan dengan komponen lain dari Jaminan Kecelakaan Kerja.
Uang duka tewas diberikan kepada
ahli waris dari pegawai yang bersangkutan setelah ia meninggal dunia dan
dinyatakan tewas oleh pejabat pembina kepegawaian.
Adapun urut-urutan ahli waris
penerima uang duka tewas adalah:
PNS/ASN yang tewas dan
meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima
adalah istri yang sah atau suami yang
sah;
PNS/ASN yang tewas dan tidak
meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima
adalah Anak; atau
PNS/ASN yang tewas dan tidak
meninggalkan istri yang sah, suami yang sah atau Anak, ahli waris yang menerima
adalah Orang Tua.
Pengertian Tewas
Seperti yang sudah saya katakan
di atas, ada perbedaan pengertian antara tewas dan wafat. Menurut PP 70 Tahun
2015 yang menggantikan PP 12 Tahun 1981, pengertian tewas adalah:
Meninggal dunia dalam dan karena
menjalankan tugas kewajibannya; atau
Meninggal dunia dalam keadaan
yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematian itu disamakan dengan
meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya; atau
Meninggal dunia karena perbuatan
anasir yang tidak bertanggung jawab ataupun sebagai akibat tindakan terhadap
anasir itu;
Penetapan tewas dilakukan oleh
pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan kriteria yang diatur dengan Peraturan
Kepala BKN.
Penetapan Tewas silakan baca
lebih lanjut Kriteria dan Prosedur Penetapan Tewas.
Sedangkan wafat adalah
meninggalnya PNS di luar 3 poin kriteria di atas.
Besaran Uang Duka Tewas
Besaran Uang Duka Tewas bagi
PNS/ASN yang meninggal dan dinyatakan tewas adalah sebesar 6 kali gaji
terakhir, dan pembayarannya dilakukan dengan cara ahli waris mengajukan klaim
ke PT Taspen bersamaan dengan Fasilitas Jaminan Kecelakaan Kerja lainnya.
Bagi PNS yang Tewas, Selain UDT
Dapat Apa Lagi?
Uang Duka Tewas adalah salah satu
manfaat dari Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Seperti pernah saya tuliskan
sebelumnya mengenai JKK dan JKM bagi ASN, bahwa manfaat JKK terdiri atas:
perawatan;
santunan; dan
tunjangan cacat.
Bagi PNS yang meninggal dan
memenuhi kriteria tewas, maka kepada ahli waris tersebut diberikan santunan
(manfaat JKK poin kedua) berupa:
1. Santunan Kematian Kerja
Bagi PNS atau PPPK yang
dinyatakan tewas, maka ahli warisnya akan diberikan Santunan Kematian Kerja
sebesar 60% x 80 x gaji terakhir PNS/PPPK sebelum meninggal. Gaji di sini
adalah gaji pokok.
Atau jika ingin diringkas,
Santuan Kematian Kerja = 48 x gaji pokok terakhir.
Nilai ini jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan pegawai yang wafat, yang hanya diberikan santunan sekaligus
sebesar Rp15.000.000,-.
Urutan ahli waris yang berhak
menerima santunan kematian kerja sama dengan urutan ahli waris yang berhak
menerima UDT di atas.
2. Uang Duka Tewas
Ahli waris akan mendapatkan UDT
seperti keterangan di atas.
3. Biaya Pemakaman
Biaya pemakaman diberikan kepada
ahli waris PNS/PPPK yang tewas untuk menggantikan biaya atas:
peti jenazah dan perlengkapannya;
tanah pemakaman dan biaya di
tempat pemakaman.
Biaya pemakaman diberikan sebesar
Rp10.000.000,- dan dibayarkan satu kali. Berbeda dengan PNS/PPPK yang wafat,
hanya mendapatkan biaya pemakaman sebesar Rp7.500.000,-.
Adapun urutan ahli waris yang
berhak atas biaya pemakaman adalah:
Peserta yang tewas dan
meninggalkan istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima
adalah istri yang sah atau suami yang sah dari Peserta;
Peserta yang tewas dan tidak meninggalkan
istri yang sah atau suami yang sah, ahli waris yang menerima adalah Anak;
Peserta yang tewas dan tidak
meninggalkan istri yang sah, suami yang sah, atau Anak, ahli waris yang
menerima adalah Orang Tua; atau
Peserta yang tewas tidak
meninggalkan istri yang sah, suami yang sah, Anak, atau Orang Tua, ahli waris
yang menerima adalah ahli waris lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Bantuan Beasiswa
Bantuan Beasiswa diberikan kepada
1 orang anak saja dari PNS/PPPK yang tewas, dengan besaran sebagai berikut:
SD sederajat: Rp45.000.000,-;
SMP sederajat: Rp35.000.000,-;
SMA sederajat: Rp25.000.000,-;
Kuliah: Rp15.000.000,-.
Jika dibandingkan dengan PNS yang
wafat, nilainya lebih besar karena beasiswa bagi PNS yang wafat hanya sebesar
Rp15.000.000,- tanpa melihat tingkat pendidikan anak.
Bantuan Beasiswa diberikan dengan
syarat anak tersebut:
masih sekolah/kuliah;
berusia paling tinggi 25 tahun;
belum pernah menikah; dan
belum bekerja.
Uang Duka Wafat (UDW)
Uang Duka Wafat dibayarkan kepada
ahli waris dengan besaran 3 x gaji terakhir PNS/ASN yang meninggal. Sama dengan
UDT, UDW juga dibayarkan oleh PT Taspen setelah ahli waris mengajukan klaim ke
PT Taspen.
Uang Duka Wafat (UDW) diberikan
satu paket bersamaan dengan Jaminan Kematian (JKM) lainnya sesuai PP 70/2015
yaitu santunan sekaligus, biaya pemakaman, dan bantuan beasiswa (beasiswa hanya
diberikan bagi peserta yang kepesertaannya minimal sudah 3 tahun).
Demikian tadi Informasi Uang Duka
Tewas dan Uang Duka Wafat berdasarkan peraturan terbaru yaitu PP 70/2015.
Dengan adanya PP 70/2015 tersebut, UDW dan UDT tidak lagi dibayarkan oleh KPPN,
tapi dibayarkan oleh PT Taspen satu paket dengan layanan JKK dan JKM bagi ASN.
Comments
Post a Comment